Beranda / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Harga dari Sebuah Perubahan

Share

Harga dari Sebuah Perubahan

Penulis: Mr.IA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-22 11:00:01

Tiga hari. Itulah waktu yang dibutuhkan Nayla untuk membaca dan meresapi isi surat dari Raka. Setiap katanya seperti benang yang perlahan menjahit kembali luka yang nyaris ia tutup rapat. Tapi ia bukan gadis naif yang mudah terpesona oleh kalimat manis. Dunia sudah mengajarinya bahwa kata-kata bisa menjadi jebakan yang manis di awal, lalu pahit di ujungnya.

Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.

Raka tidak datang membawa janji. Ia datang membawa usaha. Dan itu cukup untuk membuat Nayla mengambil satu langkah kecil: datang ke warung kopi tempat mereka pertama kali bertemu.

Pagi itu, Raka baru saja selesai membersihkan meja ketika suara langkah ringan mendekat dari arah luar. Ia tak segera menoleh, terlalu terbiasa berharap dan kecewa.

“Aku suka kopi pahit. Tapi jangan yang terlalu panas,” ujar suara yang sangat ia hafal.

Raka membalikkan badan dengan senyum yang belum sempat ia bentuk sepenuhnya. Nayla berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana dan jeans biru. Tidak ada riasan, tidak ada sepatu hak tinggi. Hanya dirinya sendiri.

“Baik, Mbak. Saya buatin spesial,” balas Raka, berusaha menahan rasa haru.

Mereka duduk di sudut warung, tanpa banyak kata. Seperti dua orang yang baru saja kembali dari medan perang masing-masing, dan butuh waktu untuk bernapas sebelum bicara.

“Aku berhenti,” kata Nayla akhirnya.

Raka menatapnya penuh tanya.

“Aku berhenti dari tempat itu. Sementara, mungkin. Tapi… aku butuh alasan kuat untuk tetap bertahan di keputusan ini.”

Raka menggenggam tangannya di atas meja. “Aku akan jadi alasannya, kalau kamu izinkan.”

Nayla menatap tangan mereka yang saling menggenggam. “Jangan pikir kamu bisa menyelamatkanku, Raka. Aku bukan putri yang butuh pangeran.”

“Aku nggak datang buat menyelamatkan siapa-siapa. Aku datang buat berdiri di sampingmu.”

Sejak hari itu, hubungan mereka perlahan kembali terjalin. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kini segalanya lebih jujur. Nayla tahu siapa Raka sebenarnya. Ia tahu bahwa lelaki yang sedang mencuci gelas di hadapannya bisa saja sedang duduk di ruang direksi lantai tertinggi gedung pencakar langit. Tapi Raka memilih berada di sana, bersamanya.

Kejujuran itu membuat Nayla melunak. Ia mulai bekerja di warung paruh waktu, membantu Raka dan Rino. Tidak banyak yang berubah secara materi, tapi secara batin, Nayla merasa lebih damai.

Meski begitu, tantangan baru justru muncul ketika orang-orang mulai memperhatikan hubungan mereka. Tetangga, pelanggan, bahkan rekan kerja lama Nayla. Mereka mulai berbisik. Mulai bertanya-tanya kenapa wanita yang dulu dikenal “berkelas malam” kini bersanding dengan pria sederhana yang terlalu tampan untuk hidup miskin.

Dan tentu saja, orang pertama yang kembali muncul membawa badai adalah Ayah Raka.

Suatu sore, Raka menerima telepon dari Marisa, sekretaris lamanya.

“Pak Raditya ingin bertemu. Katanya ini terakhir sebelum dia menyerahkan semuanya ke dewan.”

Raka sempat ragu. Tapi bagian dalam dirinya tahu: kalau ia ingin Nayla menjadi bagian dari hidupnya secara utuh, maka masa lalu dan masa depan harus bertemu di satu titik.

Pertemuan itu terjadi di rumah besar keluarga Raditya. Tempat yang dulu menjadi penjara emosional kini terasa lebih dingin dari biasanya.

“Aku tidak akan panjang lebar,” kata ayahnya begitu Raka duduk. “Aku tahu kamu mencintai perempuan itu. Tapi dia bukan orang yang cocok berjalan di sisimu.”

“Kenapa?” tanya Raka tenang.

“Karena masa lalunya. Karena citranya. Karena hidupmu bukan hanya milikmu, tapi milik perusahaan, nama besar, dan seluruh warisan keluargamu.”

Raka menatap mata ayahnya. “Kalau hidupku bukan milikku, lalu kenapa aku dilahirkan dengan nama Raditya? Untuk jadi boneka? Untuk mencintai berdasarkan daftar syarat yang ditentukan orang lain?”

Ayahnya terdiam.

“Aku tidak butuh warisanmu, Ayah. Aku hanya ingin hidup yang bisa aku pilih sendiri. Termasuk memilih Nayla. Dia bukan perempuan sempurna, tapi justru karena itu aku mencintainya. Karena dia hidup dengan luka, tapi tetap bertahan.”

Ayahnya berdiri, menatap keluar jendela.

“Kalau begitu… kamu harus siap kehilangan semuanya. Rumah ini, perusahaan, nama.”

Raka berdiri perlahan, senyumnya datar tapi penuh keteguhan. “Aku sudah lama kehilangan semuanya, Ayah. Tapi Nayla mengajariku cara menemukan kembali diriku.”

Dan dengan itu, Raka meninggalkan rumah masa kecilnya, untuk kedua kalinya.

Kali ini, dengan kepala tegak.

Malamnya, Nayla melihat Raka duduk di depan warung. Ia tampak tenang, meski dari matanya terlihat lelah.

“Dia tolak kamu?” tanya Nayla pelan sambil duduk di sebelahnya.

“Tidak. Aku yang menolak dia,” jawab Raka.

Nayla menatapnya heran.

“Aku nggak minta kamu ninggalin semuanya buat aku, Raka.”

“Aku juga nggak minta kamu ninggalin masa lalumu buat aku. Tapi kita bisa jalan bareng, ninggalin semuanya bareng-bareng.”

“Dan mulai dari nol?” tanya Nayla lirih.

“Dari nol, dari luka, dari nama, dari kopi sachet dan warung kecil ini. Selama sama kamu, aku nggak masalah mulai dari manapun.”

Beberapa minggu kemudian, berita tentang Alvaro Raditya yang menyerahkan hak warisannya ke dewan komisaris menggemparkan dunia bisnis. Tapi Alvaro tidak muncul dalam konferensi pers. Ia tidak berada di kantor. Ia tidak berada di rumah mewah mana pun.

Ia ada di gang kecil, menyeduh kopi untuk pelanggan yang mulai antri.

Dan di balik etalase kaca warung itu, Nayla berdiri sambil tersenyum.

Bukan lagi sebagai wanita yang menyembunyikan luka, tapi sebagai wanita yang sedang belajar menjemput masa depan—dengan lelaki yang mencintainya bukan karena masa lalunya, tapi karena ia memilih bertahan.

Bersambung ke Bab 4…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka Bukan Akhir, Tapi Arah Baru

    Rumah Luka tampak lebih hidup dari biasanya. Sejak Nayla pulang dari forum internasional, relawan berdatangan, permintaan wawancara berdentang seperti pintu yang tak berhenti diketuk. Tapi dari semua itu, ada satu yang membuat Nayla terdiam paling lama: undangan dari Kementerian Sosial untuk menjadikan Rumah Luka sebagai proyek percontohan nasional.“Bayangkan, Nay,” kata Bu Dirjen saat pertemuan tertutup di gedung kementerian. “Program ini bisa diperluas ke 30 kota. Nama kamu akan masuk sejarah sebagai penggerak perubahan.”Nayla hanya tersenyum tipis. Bukan karena ia tidak tersentuh. Tapi karena ia tahu, semakin besar nama yang dibawa, semakin besar pula risiko yang ditanggung.⸻Malam harinya, ia berbincang panjang dengan Raka.“Kalau ini berkembang, aku nggak akan bisa melindungi semua orang di Rumah Luka dari media, gosip, atau bahkan politisasi.”Raka memegang tangannya. “Tapi kamu juga akan menjangkau perempuan yang belum punya suara. Kamu bisa jadi gema untuk mereka.”Nayla te

  • Di Balik Nama dan Luka   Nama yang Dikenal, Luka yang Diterima

    Sorotan lampu panggung itu hangat, tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk membuat bayangan siapa pun yang berdiri di sana tampak utuh. Aula besar di Singapura itu dipenuhi ratusan orang dari berbagai negara. Di spanduk belakang panggung tertulis besar:“Southeast Asia Women’s Forum 2025 — Breaking The Silence”Nama Nayla tertera sebagai salah satu keynote speaker. Tidak lagi sebagai “mantan wanita malam” atau “istri konglomerat misterius.” Tapi sebagai Founder Rumah Luka dan aktivis pemulihan martabat perempuan.Di kursi barisan depan, duduk Raka, ibunya, dan perwakilan Rumah Luka—Ayu, gadis muda yang dulu tak berani menulis namanya di formulir.Nayla mengenakan kebaya modern warna abu-abu lembut. Tidak mencolok, tapi anggun. Ia berdiri di podium, membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat aula sunyi seketika:“Saya tidak pernah bangga dengan masa lalu saya. Tapi saya selalu bersyukur karena ia tidak membunuh saya. Ia membentuk saya.”⸻Dalam lima belas menit, Nayla berbicara t

  • Di Balik Nama dan Luka   Menyusuri Jalan Pulang Tanpa Topeng

    Langit sore menggantung jingga saat kereta perlahan melaju menuju arah timur—menuju sebuah desa kecil di kaki pegunungan, tempat di mana nama Nayla dulu dikubur oleh bisik-bisik tetangga dan cibiran keluarga. Di dalam gerbong kelas eksekutif, Nayla duduk dengan tenang. Di pangkuannya, ada seikat bunga sedap malam dan sebungkus kue bolu pisang yang dibungkus kertas minyak. Oleh-oleh kecil, untuk rumah tua yang pernah disebutnya rumah ibu. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya. Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Keduanya tahu, perjalanan ini bukan sekadar pulang—ini penebusan yang tak pernah diminta siapa-siapa, tapi penting bagi jiwa Nayla sendiri. ⸻ Kampung itu belum banyak berubah. Warung kopi masih di pojok gang. Masjid masih menyiarkan adzan dari pengeras suara yang sama. Hanya satu yang berubah: usia. Anak-anak yang dulu bermain petak umpet kini remaja. Orang-orang tua sudah lebih ringkih, lebih pendiam, tapi tetap menyimpan ingatan yang tajam. Nayla dan Raka berjala

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Jatuhnya Nama, Ada yang Tetap Bertahan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi suasana hati Nayla tidak. Ia baru saja menerima panggilan dari salah satu sahabatnya, Nadia, yang terdengar panik.“Nay… kamu harus lihat TV sekarang!”Nayla menyalakan layar datar di ruang tamu Rumah Luka. Dan di sana, wajahnya terpampang jelas di sebuah program gosip pagi:“Terkuak! Mantan PSK yang Kini Jadi Tokoh Perempuan—Benarkah Semua Cuma Rekayasa?”Di layar, muncul video lama—rekaman saat Nayla masih menjadi “teman malam”—diedit secara kejam dan diberi narasi yang menjatuhkan. Potongan suara, bayangan wajah, bahkan suara tawa kasar dijadikan pengiring.Bukan hanya itu. Salah satu “narasumber anonim” mengklaim bahwa Rumah Luka hanyalah “tempat mencuci dosa dengan cara menjual kesedihan.” Nama Nayla dibakar hidup-hidup di media.⸻Raka segera pulang dari galeri seni. Ia menemukan Nayla duduk diam, memeluk lututnya di sofa. Matanya kosong. Tangannya menggenggam remote, tapi tidak menekan apapun.“Ini perang, Rak,” bisiknya. “Mereka

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka yang Tak Meminta Dimaafkan, Tapi Dimengerti

    Rumah Luka telah berjalan hampir dua bulan. Di hari-hari yang sunyi, tempat itu menjadi pelabuhan kecil bagi mereka yang kehilangan arah. Tapi di hari-hari yang penuh cahaya, tempat itu menjadi mercusuar—menerangi jalan bagi mereka yang ingin bertarung, tapi tak tahu ke mana melangkah.Nayla mulai terbiasa dengan rutinitas barunya: menyeduh teh untuk para penghuni, mengatur jadwal pelatihan, dan menulis jurnal refleksi di malam hari. Ia merasa damai. Tenang. Tapi kedamaian kadang seperti air yang tenang sebelum badai.Pagi itu, sebuah surat tanpa pengirim ditemukan di kotak pos. Kertasnya sudah agak lecek, lipatannya tidak rapi. Nayla membuka pelan-pelan. Di dalamnya hanya ada tiga paragraf, ditulis tangan, dengan huruf miring yang seperti tergesa.Nayla,Aku tahu aku tak pantas menulis ini. Tapi aku tak bisa mati sebelum minta maaf padamu. Aku adalah salah satu orang yang menghancurkan hidupmu dulu—aku, si pria yang membawamu pertama kali ke “rumah itu”.Aku tak minta dimaafkan. Aku

  • Di Balik Nama dan Luka   Warna-Warna yang Tak Pernah Dilihat Dunia

    Udara Jakarta siang itu hangat, dengan langit yang tampak lebih jernih dari biasanya. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah bertingkat dua dengan cat putih dan jendela lebar dibuka untuk umum. Di pagar depannya, terpasang sebuah papan nama sederhana bertuliskan:“RUMAH LUKA – Tempat Berteduh, Tempat Bertumbuh.”Nayla berdiri di depan pintu, menyambut satu per satu tamu undangan yang datang. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya erat. Hari itu adalah hari peresmian lembaga yang telah lama mereka impikan—sebuah rumah pemulihan untuk para perempuan yang terjebak dalam dunia gelap, seperti dirinya dahulu.Bukan panti. Bukan tempat tinggal sementara. Tapi rumah—dengan semua makna pulang di dalamnya.⸻Di ruang tamu rumah itu, ada satu lukisan besar hasil karya Raka. Bukan gambar wajah atau pemandangan. Tapi abstrak. Campuran warna hitam, merah tua, kuning terang, dan biru lembut.Seorang jurnalis bertanya, “Apa makna dari lukisan ini?”Raka menjawab, “Itu warna-warna yang tak pernah d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status