Home / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Langkah Pertama Menuju Dunia Gelap

Share

Langkah Pertama Menuju Dunia Gelap

Author: Mr.IA
last update Last Updated: 2025-05-22 10:58:17

Tatapan Nayla tajam menembus tubuh Raka. Kata “ayahmu” masih menggantung di udara seperti kilat yang belum sempat menyambar. Raka, atau Alvaro, mematung. Pria berjas hitam yang memanggil namanya tadi adalah Pak Herman—kepala keuangan Raditya Group yang loyal kepada ayahnya sejak puluhan tahun lalu.

“Maaf, saya salah orang,” ujar Raka cepat, mencoba menarik napas.

Namun, Pak Herman menatapnya dalam-dalam. “Kamu mau main sandiwara, Alvaro? Ini bukan tempatmu. Kamu dibesarkan di Menara Raditya, bukan… warung kopi gang sempit seperti ini!”

Beberapa pelanggan yang duduk di dalam warung mulai menoleh. Nayla masih berdiri di depan pintu, menyapu perlahan, pura-pura tak mendengar. Tapi ia tidak bodoh.

Raka bergegas menarik Pak Herman menjauh. “Pak, tolong, jangan ribut di sini. Saya mohon.”

“Kenapa kamu menyiksa dirimu sendiri seperti ini?” tanya Pak Herman, masih setengah berteriak. “Ayahmu sudah marah besar. Semua media dibungkam agar tidak tahu kamu hilang. Dan kamu? Kamu nyamar jadi rakyat jelata?”

Raka mendekat, suaranya rendah namun tegas. “Saya tidak menyiksa diri. Saya sedang mencari hidup saya sendiri.”

Pak Herman menatapnya lama, lalu menggeleng. “Kalau kamu terus seperti ini, Alvaro, kamu akan kehilangan segalanya.”

“Saya lebih takut kehilangan diri saya sendiri, Pak.”

Setelah kepergian Pak Herman, suasana warung menjadi sunyi. Nayla tidak banyak bicara. Ia hanya menatap Raka seperti menanti penjelasan yang tak kunjung datang.

Dan Raka tahu, malam itu akan menjadi malam panjang.

“Nayla…”

“Jadi kamu ini siapa, Raka? Atau Alvaro?” Nada suaranya datar, tapi penuh tekanan.

Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku… memang bukan orang biasa.”

“Jelas. Orang biasa nggak bakal bisa nyamar sebaik itu. Waktu kamu pertama datang, aku pikir kamu cuma anak perantau yang kebanyakan baca buku filsafat,” katanya sinis.

“Aku nggak bermaksud bohong. Aku cuma… ingin tahu seperti apa dunia yang nggak menilaimu dari nama belakangmu.”

Nayla duduk, menyilangkan tangan di dada. “Dan kamu pikir hidupku cuma eksperimen buat kamu cari makna hidup?”

“Bukan begitu…”

“Terus kenapa kamu nggak bilang dari awal?”

Karena aku takut kau pergi, batin Raka. Tapi ia tak mampu mengucapkannya.

Nayla berdiri. “Dengar, Raka. Atau Alvaro. Aku ini bukan proyek sosial. Aku hidup di dunia gelap ini bukan karena aku bodoh atau malas. Tapi karena keadaan.”

Raka bangkit, menahan lengannya. “Aku tahu. Dan aku nggak pernah meremehkan kamu. Justru karena aku kagum sama kamu, Nayla… kamu kuat, kamu jujur, kamu nggak pernah berpura-pura.”

Nayla memalingkan wajah. Ada air mata di sudut matanya, tapi ia enggan menjatuhkannya.

“Lalu kenapa kamu pura-pura?”

Keesokan harinya, Nayla tidak muncul di warung. Tidak juga keesokan harinya. Raka menunggu, seperti orang tolol. Ia duduk di bangku tempat Nayla biasa diam tanpa kopi, menatap jalanan seperti berharap semesta mengembalikan waktunya.

Rino datang ke warung sambil membawa berita.

“Gue tahu kamu belum cerita, tapi… semalam Nayla balik kerja ke tempat lamanya.”

Raka terdiam.

“Gue denger dari temen yang punya kenalan di sana. Katanya Nayla bilang dia nggak punya alasan lagi buat berubah.”

Dada Raka terasa sesak. Semua yang ia perjuangkan untuk perlahan membawa Nayla keluar dari lingkaran itu terasa sia-sia. Satu kebohongan kecil telah meruntuhkan kepercayaan yang baru ia bangun.

Malam harinya, Raka berdiri di depan sebuah gedung kecil di ujung utara kota. Lampu neon merah berkedip pelan. Musik berdentum dari dalam. Tempat itu bukan dunia yang biasa ia datangi, tapi malam ini, ia tak peduli.

Ia masuk.

Di dalam, bau alkohol bercampur parfum murahan menyambutnya. Musik terlalu keras. Lampu temaram berwarna ungu menyoroti panggung kecil tempat dua wanita menari tanpa semangat.

Ia mencarinya.

Dan di pojok ruangan, duduklah Nayla. Wajahnya tanpa ekspresi, mengenakan gaun hitam yang terlalu pendek, terlalu mencolok untuk sosok seanggun dirinya.

Ketika mata mereka bertemu, Nayla mendongak. “Ngapain kamu ke sini?”

“Aku mau bicara.”

“Tempat ini bukan buat kamu, Mas Alvaro,” jawabnya sinis.

“Aku nggak peduli. Aku cuma mau kamu dengar aku.”

Nayla berdiri dan menarik Raka ke balkon luar. Tempat sunyi di mana hanya suara lalu lintas terdengar samar.

“Aku nggak marah kamu kaya. Aku marah karena kamu bohong. Selama ini aku pikir… kita sama-sama manusia yang sedang cari jalan keluar.”

“Kita memang sama, Nayla. Aku cuma punya lebih banyak uang. Tapi sama-sama kosong.”

Nayla menatapnya lama. Kali ini tak ada kemarahan, hanya lelah. “Aku udah terlalu sering dibohongi. Sama hidup, sama laki-laki. Aku nggak sanggup kalau harus percaya lagi.”

Raka menatapnya penuh harap. “Kasih aku satu kesempatan. Satu saja.”

Nayla tersenyum samar, lalu berkata lirih, “Kesempatan bukan barang murah di dunia seperti ini, Raka.”

Keesokan paginya, Raka memutuskan hal besar: Ia kembali ke rumah keluarga Raditya. Untuk pertama kalinya dalam dua bulan, ia mengenakan jas kembali. Ia masuk ke dalam rumah megah yang dulunya terasa seperti penjara. Ayahnya duduk di ruang tamu dengan wajah tegang.

“Kamu akhirnya sadar?” tanya pria tua itu dingin.

“Aku sadar satu hal, Ayah. Dunia kita bukan satu-satunya dunia. Dan aku tidak ingin hidup seperti ini kalau tidak bisa menjadi manusia.”

Ayahnya mendengus. “Kamu jatuh cinta pada wanita kelas bawah, itu masalahnya?”

“Aku mencintai wanita yang tidak pernah berpura-pura. Itu sesuatu yang langka di dunia ini.”

“Aku tidak akan biarkan kamu mencoreng nama Raditya dengan menikahi—”

“Aku tidak peduli nama Raditya, Ayah.”

Dan itulah pertama kalinya Alvaro berkata dengan jujur pada ayahnya. Ia tidak peduli warisan. Ia hanya ingin menjadi Raka—pria yang dicintai bukan karena nama, tapi karena hati.

Beberapa hari kemudian, Nayla menerima sepucuk surat di bawah pintu rumahnya. Surat itu ditulis tangan, dengan tinta biru sederhana.

“Kamu bilang kesempatan itu mahal. Maka biarlah aku bekerja untuk membayarnya. Bukan dengan uang, tapi dengan hidupku. Satu langkah demi langkah, aku akan membuktikan: kamu layak dicintai. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai tujuan.”

—Raka

Bersambung ke Bab 3…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Nama dan Luka   Langkah yang Lebih Jauh

    Deru pesawat mendarat di Bandara Heathrow, London, seperti gema dari takdir yang makin nyaring. Maya menatap keluar dari jendela pesawat, melihat kota asing yang kini menjadi bagian dari perjuangan barunya. Ia menggenggam tangan Nayla yang duduk di sebelahnya. Hangat, tegas, dan tak lagi ragu.“Ini bukan cuma panggung baru, Nay,” gumam Maya. “Ini babak baru.”Nayla tersenyum. “Aku siap. Bahkan untuk berlari.”**Mereka dijemput oleh delegasi dari International Women’s Justice Council, organisasi global yang selama ini Maya hanya baca di jurnal-jurnal hukum dan kemanusiaan. Kini, mereka menjadi tuan rumah untuk acara Global Voices of Survivors, forum dunia yang mempertemukan tokoh-tokoh perubahan dari berbagai negara—dan Maya menjadi keynote speaker.Hotel mereka menghadap Sungai Thames. Namun pemandangan indah itu tidak membuat Maya santai. Ia tahu, forum ini bukan sekadar tempat berbagi kisah. Ini adalah medan diplomasi, arena kebijakan, dan ladang kemungkinan baru. Dunia benar-benar

  • Di Balik Nama dan Luka   Dunia yang Menoleh

    Pagi itu, Jakarta seperti membuka mata dengan lebih lebar dari biasanya. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya mentari pagi, seolah ikut bersaksi atas langkah baru seorang wanita yang pernah dibungkam oleh stigma dan luka. Maya berdiri di depan kaca kamar hotel di lantai 29, menyaksikan dunia yang dulu mengabaikannya—kini mulai menoleh.Di belakangnya, Nayla sedang mengenakan sepatu. Gaun biru langit membungkus tubuhnya yang masih dalam proses pemulihan. Bekas luka di kakinya belum sepenuhnya hilang, tapi sorot matanya memancarkan sesuatu yang jauh lebih kuat dari rasa sakit: keberanian.“Kau yakin siap?” tanya Maya sambil menoleh.Nayla tersenyum tipis. “Aku tidak pernah merasa sekuat ini.”Hari itu, mereka akan menghadiri Konferensi Internasional tentang Perempuan, Keadilan Sosial, dan Hak Asasi Manusia. Maya dijadwalkan menjadi pembicara utama, sementara Nayla akan tampil sebagai pembicara tamu, berbagi kisah hidupnya sendiri—sesuatu yang beberapa bulan lalu bahkan tak s

  • Di Balik Nama dan Luka   Cahaya di Balik Nama

    Pagi itu, sinar matahari terasa berbeda. Bukan hanya karena cuacanya cerah, tapi karena sesuatu di dalam dada Maya terasa lebih ringan, lebih lapang. Meski belum sepenuhnya usai, satu babak besar telah mereka lewati—dengan luka, dengan air mata, dan dengan kebenaran yang akhirnya keluar dari persembunyian.Di Rumah Cahaya, suasana seperti perayaan kecil. Beberapa penyintas sibuk membersihkan halaman, menggantung lampion warna-warni, dan menyiapkan makanan sederhana.Hari itu adalah hari pertama Nayla keluar dari rumah sakit. Meski jalannya masih pelan dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih, semangat di matanya tak bisa dibungkam oleh siapa pun.Maya menyambut Nayla dengan pelukan panjang.“Selamat datang kembali di tempat yang kita bangun dengan air mata dan harapan,” bisik Maya.Nayla tersenyum. “Terima kasih sudah menyelamatkan aku… berkali-kali.”**Sore harinya, sebuah pertemuan kecil digelar. Tak hanya penyintas dan relawan, beberapa tokoh masyarakat, aktivis HAM, bahkan perwakilan

  • Di Balik Nama dan Luka   Harga dari Sebuah Kebenaran

    Nama Rinaldi Kusuma akhirnya mencuat ke permukaan publik. Tayangan dokumenter Nayla mengundang reaksi beragam—dari pujian, dukungan, hingga kecaman yang menakutkan. Beberapa pihak menyebut Maya dan timnya sebagai “pembawa harapan”, sementara yang lain menuduh mereka sebagai pengganggu tatanan politik dan sosial.Namun, apa pun reaksi yang datang, satu hal pasti: kebenaran mulai bergerak, dan Rinaldi tahu waktunya semakin sempit.**Di sebuah ruang rapat gelap dan tertutup, Rinaldi duduk di ujung meja besar. Di sekelilingnya, beberapa pengusaha dan pejabat tampak tegang.“Kita harus hentikan ini sekarang,” kata salah satu pria tua dengan suara gemetar. “Gadis itu, Nayla, terlalu pintar. Dokumenternya membongkar semua celah yang kita lindungi selama ini.”“Jangan panik,” jawab Rinaldi tenang, namun dingin. “Publik punya ingatan pendek. Kita serang balik—bukan dengan senjata, tapi dengan opini.”Salah satu tangan kanannya mengangguk. “Kita bisa sebar hoaks. Buat seolah-olah Maya punya mo

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Nama yang Tak Pernah Diucap

    Nama itu akhirnya muncul dalam dokumen resmi: Rinaldi Kusuma. Pejabat tinggi dengan reputasi bersih di permukaan, namun di balik jas mahal dan pidato berapi-api, tersembunyi jejak kotor yang nyaris tak terlihat. Nama yang selama ini hanya berbisik dalam rapat rahasia, kini tercetak hitam di atas putih sebagai salah satu penggerak jaringan eksploitasi malam.Tapi menyebut nama itu di ruang publik adalah pilihan berani—dan berbahaya.**Di studio kecil Nayla yang juga dijadikan pusat dokumentasi, suasana tak lagi tenang. Sejak berita soal Rinaldi mulai menyebar lewat saluran alternatif, ancaman datang bertubi-tubi. Mulai dari pesan anonim, email gelap, bahkan beberapa rekan Nayla dibuntuti secara terang-terangan.Namun semangat Nayla tak surut. Ia tahu, jika mereka mundur sekarang, perjuangan yang dibangun Maya dan para penyintas akan sia-sia.Sore itu, Nayla memutar ulang video wawancara rahasia dengan salah satu mantan staf Rinaldi—seorang pria muda yang sempat bekerja sebagai asisten

  • Di Balik Nama dan Luka   Sisa Luka di Balik Nama

    Langit Jakarta pagi itu bersih, tapi ada sesuatu yang belum bersih dari hati Maya. Ia duduk di taman kecil samping tempat rehabilitasi, memandangi daun-daun yang berguguran pelan. Musim kemarau mulai datang, dan udara sedikit lebih kering. Tapi bayangan-bayangan masa lalu belum juga lenyap dari pikirannya.Sudah dua minggu sejak Dino dan anak buahnya ditangkap. Pengadilan mulai memproses kasusnya. Nama-nama besar di balik jaringan malam itu satu per satu mulai terbongkar. Tapi Maya tahu, masih ada yang tersembunyi. Masih ada yang belum tersentuh oleh hukum.“Masih mimpi buruk?” suara Nayla memecah lamunannya.Maya menoleh dan mengangguk pelan. “Kadang-kadang. Tapi bukan soal mereka lagi.”“Lalu soal apa?”“Nama-nama yang belum sempat kusebut. Orang-orang penting yang terlibat, tapi aku tak punya bukti cukup.”Nayla duduk di samping kakaknya. Di pangkuannya, sebuah laptop kecil yang hampir tak pernah lepas dari genggamannya belakangan ini. Ia menunjuk ke layar.“Aku sedang investigasi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status