Главная / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Hidup di Balik Jas Armani

Share

Di Balik Nama dan Luka
Di Balik Nama dan Luka
Автор: Mr.IA

Hidup di Balik Jas Armani

Aвтор: Mr.IA
last update Последнее обновление: 2025-05-22 10:56:08

Langkah-langkah kaki terdengar berat meski berjalan di atas marmer putih yang dingin dan sempurna. Gedung Raditya Tower yang megah menjulang seperti lambang kejayaan tak terbantahkan dari keluarga Alvaro Raditya—anak tunggal pewaris imperium bisnis Raditya Group. Jas Armani yang ia kenakan hari itu seharusnya membuatnya tampil sempurna, tapi tak ada satu helai pun pakaian mewah yang bisa menutupi kehampaan di matanya.

“Pak Alvaro, rapat dengan direksi akan dimulai lima belas menit lagi,” kata sekretarisnya, Marisa, dengan suara formal seperti biasa.

Alvaro hanya mengangguk. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya sepasang mata letih yang telah jenuh dengan dunia yang terlalu ia kuasai.

Sudah tujuh tahun ia menjalani hidup sebagai pewaris tunggal yang digadang-gadang akan melipatgandakan kejayaan sang ayah. Tapi sejak kematian ibunya lima tahun lalu dan ayahnya yang sibuk menikah lagi dengan wanita muda pilihan dewan komisaris, Alvaro lebih sering berbicara dengan kesepiannya sendiri daripada manusia.

Hari itu ia kembali menatap jendela kaca besar di lantai 35, memandangi kota Jakarta yang sesak dan penuh cerita. Di balik kemewahan, ia tahu ada dunia yang tak pernah ia sentuh. Dunia yang tak mengenal kata privilege. Dunia yang tidak melihat manusia dari merk jasnya, tapi dari keberanian untuk bertahan hidup.

Lelah dengan semua yang palsu, ia menarik napas panjang dan mematikan ponselnya.

“Aku ingin tahu, bagaimana rasanya hidup tanpa nama Raditya.”

Tiga hari kemudian, sebuah mobil tua melintas di pinggiran kota. Di dalamnya, seorang pria dengan kaus lusuh dan rambut agak berantakan tengah menyetir sambil tersenyum kecil.

Namanya kini bukan lagi Alvaro Raditya.

Orang-orang memanggilnya Raka.

Dengan bantuan sahabat lamanya, Rino—seorang pengusaha kecil yang dulu pernah diselamatkan keluarganya—Alvaro menyewa kamar petakan di sebuah gang sempit di daerah perbatasan Jakarta–Bekasi. Ia juga bekerja di sebuah warung kopi kecil sebagai barista lepas, demi bisa berbaur dengan dunia yang tak pernah ia jamah.

Hari pertamanya menjadi Raka sungguh canggung. Ia terbiasa dengan rapat miliaran rupiah, bukan mengangkat galon atau menyeduh kopi dengan tangan yang tak terbiasa kasar. Tapi ada ketulusan dalam dunia baru itu yang membuatnya tersenyum. Setiap orang tampak nyata. Tak ada basa-basi.

Dan di situlah ia pertama kali melihat Nayla.

Wanita itu tidak datang untuk minum kopi. Ia hanya duduk di bangku luar warung, menatap lampu jalan seperti sedang berbicara dengan malam. Pakaian yang ia kenakan tak vulgar, tapi cukup kontras dengan lingkungan sekitar—baju pas dengan jaket kulit, sepatu boots yang sedikit lusuh, dan riasan wajah yang mulai luntur karena gerimis.

Raka—yang masih canggung dengan kehidupan barunya—berpura-pura sibuk membersihkan meja, tapi matanya tak lepas dari sosok Nayla.

“Kalau mau nanya, nanya aja. Bukan ngintip dari balik meja,” suara Nayla menyentaknya.

Raka tersipu, lalu memberanikan diri mendekat. “Saya cuma penasaran. Mbak sering duduk di situ. Tapi nggak pernah pesan apa-apa.”

Nayla memiringkan kepala, memperhatikan wajah lelaki muda itu.

“Kamu baru ya? Biasanya yang kerja di sini nggak terlalu peduli urusan orang.”

Raka mengangguk. “Baru pindah ke sini. Nama saya Raka.”

“Nayla,” jawab perempuan itu singkat.

Ada jeda canggung. Angin malam mulai menusuk kulit, dan Nayla menutup jaketnya lebih rapat.

“Ngopi, Mbak? Saya bikinkan. Gratis, biar kenal,” tawar Raka.

Nayla menatapnya, seolah mencoba membaca motif tersembunyi dari tawaran itu. Tapi akhirnya ia tersenyum kecil dan mengangguk.

“Boleh. Asal nggak pake kopi mahal yang pahitnya kayak hidup.”

Obrolan pertama itu menjadi awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Nayla sering datang ke warung, dan Raka perlahan mulai mengenalnya lebih dalam. Nayla adalah wanita yang keras di luar, tapi rapuh di dalam. Ia hidup bersama adik perempuannya, menghidupi mereka berdua setelah orang tua mereka meninggal dan mewariskan utang.

Pekerjaannya sebagai wanita penghibur—meski tak pernah ia katakan secara langsung—terlihat dari cerita-cerita yang ia lontarkan setengah bercanda. Tentang tamu-tamu menyebalkan. Tentang tempat kerja yang gelap. Tentang rasa lelah yang tak bisa dihapus dengan tidur.

Tapi Raka tidak menilai. Ia mendengar, dan itu membuat Nayla merasa nyaman untuk pertama kalinya dalam hidup.

“Kenapa kamu di sini, Raka?” tanya Nayla suatu malam, saat mereka duduk di pinggir jalan, menyeruput kopi sachet murahan.

Raka menatap langit. “Aku lari dari sesuatu.”

“Pacar?”

“Bukan. Dari kehidupan yang terlalu… dibuat-buat.”

Nayla tertawa. “Jadi kamu ini anak orang kaya yang kabur dari rumah?”

Raka hanya tersenyum samar. Dalam hatinya, ada rasa takut. Tapi ia tahu, Nayla harus mengenalnya sebagai Raka, bukan sebagai Alvaro Raditya.

Di balik semua kehangatan itu, Nayla menyimpan luka yang lebih dalam. Suatu malam, Raka melihatnya menangis diam-diam di belakang warung. Raka mendekat, duduk di sebelahnya tanpa berkata apa-apa.

Nayla tidak menyuruhnya pergi. Ia hanya berkata pelan, “Kadang aku cuma pengen jadi perempuan biasa. Yang pulang kerja bawa bunga, bukan uang receh dari lelaki asing.”

Raka menggenggam tangannya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla tidak merasa sendirian.

Tiga minggu berlalu. Dunia Raka semakin jauh dari dunia lamanya. Tapi hatinya semakin dekat dengan Nayla.

Ia mulai mencari cara untuk membantu Nayla tanpa membuatnya merasa dikasihani. Ia menawarkan les komputer untuk adik Nayla. Ia menyarankan Nayla bekerja paruh waktu di warung, agar bisa perlahan keluar dari dunia kelamnya. Semua ia lakukan diam-diam, perlahan, dengan hati-hati.

Tapi dunia tidak tinggal diam.

Suatu sore, seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas mahal datang ke warung. Ia melihat Raka dan langsung mengenalinya.

“Alvaro? Astaga, ini kamu?” pria itu terkejut.

Raka membeku.

Nayla, yang sedang menyapu teras, ikut menoleh.

Pria itu mendekat, tak sadar bahwa ia baru saja menyiramkan minyak panas ke atas rahasia yang Raka coba lindungi dengan susah payah.

“Kenapa kamu ada di sini? Ayahmu mencarimu ke mana-mana!”

Bersambung ke Bab 2…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka Bukan Akhir, Tapi Arah Baru

    Rumah Luka tampak lebih hidup dari biasanya. Sejak Nayla pulang dari forum internasional, relawan berdatangan, permintaan wawancara berdentang seperti pintu yang tak berhenti diketuk. Tapi dari semua itu, ada satu yang membuat Nayla terdiam paling lama: undangan dari Kementerian Sosial untuk menjadikan Rumah Luka sebagai proyek percontohan nasional.“Bayangkan, Nay,” kata Bu Dirjen saat pertemuan tertutup di gedung kementerian. “Program ini bisa diperluas ke 30 kota. Nama kamu akan masuk sejarah sebagai penggerak perubahan.”Nayla hanya tersenyum tipis. Bukan karena ia tidak tersentuh. Tapi karena ia tahu, semakin besar nama yang dibawa, semakin besar pula risiko yang ditanggung.⸻Malam harinya, ia berbincang panjang dengan Raka.“Kalau ini berkembang, aku nggak akan bisa melindungi semua orang di Rumah Luka dari media, gosip, atau bahkan politisasi.”Raka memegang tangannya. “Tapi kamu juga akan menjangkau perempuan yang belum punya suara. Kamu bisa jadi gema untuk mereka.”Nayla te

  • Di Balik Nama dan Luka   Nama yang Dikenal, Luka yang Diterima

    Sorotan lampu panggung itu hangat, tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk membuat bayangan siapa pun yang berdiri di sana tampak utuh. Aula besar di Singapura itu dipenuhi ratusan orang dari berbagai negara. Di spanduk belakang panggung tertulis besar:“Southeast Asia Women’s Forum 2025 — Breaking The Silence”Nama Nayla tertera sebagai salah satu keynote speaker. Tidak lagi sebagai “mantan wanita malam” atau “istri konglomerat misterius.” Tapi sebagai Founder Rumah Luka dan aktivis pemulihan martabat perempuan.Di kursi barisan depan, duduk Raka, ibunya, dan perwakilan Rumah Luka—Ayu, gadis muda yang dulu tak berani menulis namanya di formulir.Nayla mengenakan kebaya modern warna abu-abu lembut. Tidak mencolok, tapi anggun. Ia berdiri di podium, membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat aula sunyi seketika:“Saya tidak pernah bangga dengan masa lalu saya. Tapi saya selalu bersyukur karena ia tidak membunuh saya. Ia membentuk saya.”⸻Dalam lima belas menit, Nayla berbicara t

  • Di Balik Nama dan Luka   Menyusuri Jalan Pulang Tanpa Topeng

    Langit sore menggantung jingga saat kereta perlahan melaju menuju arah timur—menuju sebuah desa kecil di kaki pegunungan, tempat di mana nama Nayla dulu dikubur oleh bisik-bisik tetangga dan cibiran keluarga. Di dalam gerbong kelas eksekutif, Nayla duduk dengan tenang. Di pangkuannya, ada seikat bunga sedap malam dan sebungkus kue bolu pisang yang dibungkus kertas minyak. Oleh-oleh kecil, untuk rumah tua yang pernah disebutnya rumah ibu. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya. Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Keduanya tahu, perjalanan ini bukan sekadar pulang—ini penebusan yang tak pernah diminta siapa-siapa, tapi penting bagi jiwa Nayla sendiri. ⸻ Kampung itu belum banyak berubah. Warung kopi masih di pojok gang. Masjid masih menyiarkan adzan dari pengeras suara yang sama. Hanya satu yang berubah: usia. Anak-anak yang dulu bermain petak umpet kini remaja. Orang-orang tua sudah lebih ringkih, lebih pendiam, tapi tetap menyimpan ingatan yang tajam. Nayla dan Raka berjala

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Jatuhnya Nama, Ada yang Tetap Bertahan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi suasana hati Nayla tidak. Ia baru saja menerima panggilan dari salah satu sahabatnya, Nadia, yang terdengar panik.“Nay… kamu harus lihat TV sekarang!”Nayla menyalakan layar datar di ruang tamu Rumah Luka. Dan di sana, wajahnya terpampang jelas di sebuah program gosip pagi:“Terkuak! Mantan PSK yang Kini Jadi Tokoh Perempuan—Benarkah Semua Cuma Rekayasa?”Di layar, muncul video lama—rekaman saat Nayla masih menjadi “teman malam”—diedit secara kejam dan diberi narasi yang menjatuhkan. Potongan suara, bayangan wajah, bahkan suara tawa kasar dijadikan pengiring.Bukan hanya itu. Salah satu “narasumber anonim” mengklaim bahwa Rumah Luka hanyalah “tempat mencuci dosa dengan cara menjual kesedihan.” Nama Nayla dibakar hidup-hidup di media.⸻Raka segera pulang dari galeri seni. Ia menemukan Nayla duduk diam, memeluk lututnya di sofa. Matanya kosong. Tangannya menggenggam remote, tapi tidak menekan apapun.“Ini perang, Rak,” bisiknya. “Mereka

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka yang Tak Meminta Dimaafkan, Tapi Dimengerti

    Rumah Luka telah berjalan hampir dua bulan. Di hari-hari yang sunyi, tempat itu menjadi pelabuhan kecil bagi mereka yang kehilangan arah. Tapi di hari-hari yang penuh cahaya, tempat itu menjadi mercusuar—menerangi jalan bagi mereka yang ingin bertarung, tapi tak tahu ke mana melangkah.Nayla mulai terbiasa dengan rutinitas barunya: menyeduh teh untuk para penghuni, mengatur jadwal pelatihan, dan menulis jurnal refleksi di malam hari. Ia merasa damai. Tenang. Tapi kedamaian kadang seperti air yang tenang sebelum badai.Pagi itu, sebuah surat tanpa pengirim ditemukan di kotak pos. Kertasnya sudah agak lecek, lipatannya tidak rapi. Nayla membuka pelan-pelan. Di dalamnya hanya ada tiga paragraf, ditulis tangan, dengan huruf miring yang seperti tergesa.Nayla,Aku tahu aku tak pantas menulis ini. Tapi aku tak bisa mati sebelum minta maaf padamu. Aku adalah salah satu orang yang menghancurkan hidupmu dulu—aku, si pria yang membawamu pertama kali ke “rumah itu”.Aku tak minta dimaafkan. Aku

  • Di Balik Nama dan Luka   Warna-Warna yang Tak Pernah Dilihat Dunia

    Udara Jakarta siang itu hangat, dengan langit yang tampak lebih jernih dari biasanya. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah bertingkat dua dengan cat putih dan jendela lebar dibuka untuk umum. Di pagar depannya, terpasang sebuah papan nama sederhana bertuliskan:“RUMAH LUKA – Tempat Berteduh, Tempat Bertumbuh.”Nayla berdiri di depan pintu, menyambut satu per satu tamu undangan yang datang. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya erat. Hari itu adalah hari peresmian lembaga yang telah lama mereka impikan—sebuah rumah pemulihan untuk para perempuan yang terjebak dalam dunia gelap, seperti dirinya dahulu.Bukan panti. Bukan tempat tinggal sementara. Tapi rumah—dengan semua makna pulang di dalamnya.⸻Di ruang tamu rumah itu, ada satu lukisan besar hasil karya Raka. Bukan gambar wajah atau pemandangan. Tapi abstrak. Campuran warna hitam, merah tua, kuning terang, dan biru lembut.Seorang jurnalis bertanya, “Apa makna dari lukisan ini?”Raka menjawab, “Itu warna-warna yang tak pernah d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status