Beranda / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Surat untuk Masa Depan

Share

Surat untuk Masa Depan

Penulis: Mr.IA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 14:33:43

Hari itu, angin berhembus pelan di teras lantai dua Rumah Wulan & Alif. Jendela kaca dibuka lebar-lebar, membiarkan sinar matahari masuk menyapa rak-rak buku, meja kayu panjang, dan dinding putih yang kini dipenuhi lukisan anak-anak.

Di tengah ruangan itu, Nayla duduk di depan mesin ketik tua yang baru saja diperbaiki oleh salah satu relawan. Ia menghela napas panjang dan mulai menulis—bukan laporan, bukan pengajuan program, bukan juga pengantar seminar.

Tapi surat.

Surat-surat untuk mereka yang akan datang. Untuk anak-anak yang belum ia temui, untuk perempuan-perempuan yang masih dalam bayang kelam, dan untuk masa depan yang belum pasti.

Surat I

Untukmu, yang masih bertanya: apakah aku pantas hidup?

Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi aku tahu rasanya duduk sendirian di sudut ruangan, merasa seperti beban dunia. Aku tahu rasanya tidak percaya pada mata orang yang menatapmu, karena kamu terlalu sering dikhianati. Aku tahu rasanya ingin berteriak tapi tak ada suara yang keluar.

Tapi deng
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Di Balik Nama dan Luka   Bayangan yang Kembali

    Suasana sore itu di Rumah Wulan & Alif terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang mulai condong menyiramkan cahaya keemasan, menyorot pelataran dengan lembut, namun tak mampu menghangatkan perasaan Maya yang kini duduk di kursi ruang tamu, menggenggam cangkir teh yang tak disentuh.Raka duduk di sebelah kanan Maya, tenang tapi siaga. Nayla, di sebelah kiri, memegang tangan ibunya erat. Mereka menunggu. Menunggu seseorang dari masa lalu yang seharusnya sudah terkubur, namun kini menggeliat kembali, mengetuk pintu kenyataan.Lima menit kemudian, pintu depan dibuka pelan oleh seorang staf.“Bu, tamunya sudah datang.”Langkah pelan terdengar di lorong.Eko muncul. Sosoknya lebih tua dari terakhir kali Maya melihatnya, dengan rambut yang mulai memutih di pelipis dan kerutan di sekitar mata yang tak dikenalnya dulu. Ia mengenakan kemeja putih bersih, namun sorot matanya tetap sama—tajam, mencurigakan, tapi kini ada sesuatu yang berbeda: ketakutan.Ketakutan kehilangan sisa harga diriny

  • Di Balik Nama dan Luka   Pertemuan yang Tak Direncanakan

    Iqbal duduk gelisah di kursi ruang tamu Rumah Wulan & Alif. Hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang ia ingat, ia akan bertemu dengan sosok yang disebut ibunya. Di seberangnya, Nayla duduk mendampingi, tangannya menggenggam mug teh hangat yang mulai mendingin.“Kalau kamu nggak siap, kita bisa tunda,” kata Nayla lembut.Iqbal menggeleng. “Aku nggak tahu siap atau nggak. Tapi aku pengin tahu… kenapa dia ninggalin aku.”Nayla menatap anak itu dengan mata teduh. Iqbal, yang dulu datang penuh kemarahan dan trauma, kini terlihat jauh lebih tenang meski masih penuh luka. Pertumbuhan batin yang tak kasat mata, tapi terasa dalam.Pintu depan berbunyi pelan.Suara langkah kaki mendekat, ragu-ragu, hampir seperti orang yang takut membangunkan mimpi.Lalu, seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambutnya hitam disanggul sederhana, wajahnya bersih meski ada kerutan halus di sudut mata. Ia berdiri kaku, napasnya naik-turun.“Rani Fadhila?” tanya Nayla pelan.Wanita itu mengangguk, la

  • Di Balik Nama dan Luka   Surat dari Masa Depan

    Minggu pagi itu, langit Jakarta biru bersih. Di halaman belakang Rumah Wulan & Alif, belasan anak duduk di bawah pohon ketapang yang rindang. Meja-meja kecil ditata melingkar, dan di tengahnya terdapat sebuah kotak kayu dengan tulisan:“Untuk Aku yang Akan Datang.”Hari itu, Nayla dan Raka mengajak semua anak menulis surat untuk diri mereka sendiri—sepuluh tahun dari sekarang. Sebuah cara untuk menanam harapan di dalam diri, menyimpan mimpi, dan suatu saat membacanya kembali dengan senyuman.“Ini bukan soal ramalan,” ucap Raka dengan suara tenang. “Ini soal keyakinan. Keyakinan bahwa kalian akan tetap tumbuh, berubah, dan bertahan.”Anak-anak mulai menulis. Beberapa menggambar, beberapa menulis dengan huruf sambung pelan-pelan, dan sebagian termenung cukup lama sebelum mulai menggoreskan tinta.Nayla duduk tak jauh dari mereka, menulis suratnya sendiri.⸻Jakarta, 10 Tahun dari SekarangHai, Nayla Wulan.Kalau kamu membaca ini, artinya kamu telah melewati lebih banyak badai daripada y

  • Di Balik Nama dan Luka   Nama yang Aku Pilih Sendiri

    Pagi di Desa Ciparay begitu bersih. Kabut masih menggantung tipis di antara pepohonan, dan aroma tanah basah menyeruak ke dalam ruangan yang kini jadi aula sementara Rumah Wulan & Alif cabang Ciparay. Di tengah aula, Nayla berdiri di depan papan tulis besar. Di belakangnya tertulis kalimat:“Nama adalah harapan. Jika masa lalu memberimu luka, hari ini kamu boleh memilih sendiri arti yang ingin kamu bawa.”Anak-anak, relawan, dan warga duduk melingkar. Di tengah mereka, ada kotak kayu kecil berisi puluhan kertas. Di setiap kertas, tertulis satu nama yang pernah menyakitkan—nama asli anak-anak yang mengandung trauma, hinaan, atau warisan keluarga yang membuat mereka terikat pada luka.Hari ini, mereka akan melepaskannya.⸻Beberapa minggu sebelumnya, Nayla telah menjalani proses hukum yang panjang. Ia resmi mengganti nama belakangnya. Tidak lagi membawa nama sang ayah, yang selama hidupnya hanya memberinya rasa bersalah dan tangisan.Kini, namanya hanya: Nayla Wulan.Sederhana, tapi pen

  • Di Balik Nama dan Luka   Suatu Hari Nanti, Kita Pulang

    Mobil van putih berlogo Rumah Wulan & Alif melaju pelan di jalanan aspal yang mulai rusak, meninggalkan kota dan menuju sebuah desa di pinggir Jawa Barat. Di dalamnya, Nayla duduk di baris kedua bersama tiga anak remaja yang terpilih mengikuti program pelatihan kepemimpinan: Lian, Sasa, dan Iqbal.Di depan, Raka menyetir dengan penuh perhatian, sementara Maya duduk di sampingnya, membuka peta dan mencatat rute.Perjalanan itu adalah bagian dari langkah besar mereka: membuka cabang Rumah Wulan & Alif di luar Jakarta. Desa ini dipilih karena tingginya kasus kekerasan berbasis gender, tapi minim akses pendampingan.“Berapa lama lagi sampai?” tanya Lian, mulai bosan.“Sekitar satu jam lagi. Tapi kita berhenti dulu di rest area buat makan,” jawab Raka.“Yeaaay, makan!” teriak Iqbal, disambut tawa.Nayla tersenyum, memandangi mereka dengan perasaan hangat. Perjalanan ini bukan sekadar survei lokasi. Ini perjalanan kecil menuju impian besar—membawa rumah bagi lebih banyak jiwa yang tak punya

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Ujung Nama yang Pernah Hilang

    Hujan turun rintik-rintik pagi itu. Bukan badai besar, hanya gerimis yang membuat kaca jendela dipenuhi tetesan air, seolah langit sedang menitikkan air mata dalam diam. Nayla duduk di meja kerja, memeriksa tumpukan proposal acara ulang tahun ketiga yayasan. Banyak hal yang harus disiapkan: undangan, media partner, testimoni anak-anak, dan tamu kehormatan.Raka masuk ke ruangan membawa map cokelat dan ekspresi tak biasa.“Ada seseorang di bawah. Namanya… Maya Rachman.”Nayla menghentikan gerakannya.Nama itu.Nama yang sejak usia tujuh tahun hanya hidup dalam bisikan orang-orang.Nama yang hanya ia kenal dari potongan kenangan buram dan satu-satunya foto usang dalam saku kecil milik ayahnya yang dulu—wanita dengan mata tajam dan senyum canggung.“Dia… bilang dia ibumu.”⸻Nayla tidak langsung turun. Ia berdiri lama di depan cermin kamar kecil di sudut lantai dua. Menatap dirinya sendiri.Apa yang akan ia katakan? “Selamat datang?”Atau: “Kenapa kamu meninggalkan aku?”Atau: “Sudah ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status