Share

Bagian 4 - Terlambat

Penulis: Daisy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 23:56:54

Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.

“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”

Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.

“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.

Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperlihatkan sebagian skyline Abu Dhabi. Ada pantry kecil, kamar mandi marmer dengan shower kaca, dan aroma ruangan seperti campuran kayu cedar dan bunga gurun.

“Ya Tuhan,” bisik Maira tanpa sadar, “itu pintu apa ya?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Lalu, melangkah kecil dengan keraguan membuka pintu kaca dan sekali lagi Maira menganga dengan tempat ini. Sebuah kolam renang dengan ukuran lumayan besar tengah ada di hadapannya dan menghadap kota Abu Dhabi.

Air di kolam itu berkilau lembut, memantulkan cahaya kota Abu Dhabi yang mulai menyala satu per satu. Maira berdiri terpaku, jemarinya masih menggenggam gagang pintu kaca yang terbuka setengah. Angin gurun yang hangat menerpa wajahnya, membawa aroma malam yang menenangkan.

“Ini... serius?” gumamnya pelan, nyaris tidak percaya pada apa yang dilihatnya.

Kolam renang pribadi.

Untuk dirinya?

Ia melangkah mendekat, memegang railing kaca bening yang membingkai area kolam. Airnya begitu jernih, tenang, dan biru kehijauan yang menyegarkan dan mengundangnya untuk masuk. Maira menarik napas panjang.

“Ini sih bukan riset, tapi liburan,” setelahnya Maira berlompat kesenegan dengan apa yang di rasakannya.

Maira berlari masuk ke dalam kamar dan langsung lpncat ke kasur besar itu. Tubuh mungil itu tenggelam dalam tumpukan linen putih bersih yang terasa seperti awan mahal. Tubuhnya terpental sedikit karena kasurnya begitu bouncy, membuatnya tertawa lepas untuk pertama kalinya sejak menjejakkan kaki di Abu Dhabi.

“Aaaaaaa,” ia menutup mulut sendiri dengan kedua tangan saat sadar suaranya hampir menggema di seluruh lantai.

Tapi siapa peduli?

Hatinya berdebar bahagia.

“Ini beneran?” gumamnya sambil memeluk satu bantal besar, wajahnya tenggelam di tengah bantal itu.

Ia menggeser tubuh, berbalik telentang, menatap langit-langit yang dihiasi lampu gantung minimalis. Dalam momen itu, Maira benar-benar lupa pada segala tekanan, rasa gugup, dan tatapan berbahaya seorang diplomat bernama Wisnutama. Yang ada hanya perasaan berbunga-bunga, campuran antara mimpi dan kenyataan.

Ia bangkit duduk sambil menarik napas panjang.

“Maiiiraaa, hidup lo keren banget,” ucapnya pada diri sendiri sambil mengibas rambut panjangnya dramatis. “Riset budaya, dapet kamar begini pasti Mela iri banget sih.”

Ia kembali menjatuhkan diri ke kasur dengan tertawa, tapi beberapa detik kemudian, ia membeku. Teringat bahwa besok dirinya sudah harus bertemu dengan pria mengerikan bertubuh besar itu dan mengikuti arahannya.

“Oke, malam ini gue harus tidur nyenyak biar besok seger, aaaaaaaaaaa.”

Tidak lupa Maira masih berteriak dengan bahagia dan melangkah ke kamar mandi. Membersihkan diri, lalu tertidur dan esoknya gadis itu kelimpungan sendiri takut terlambat.

“Syukur deh, nggak telat. Bisa mampus gue,” gumamnya sambil merapikan blouse dan rok span pendeknya menuju ruangan Wisnutama yang membuat Maira berhenti melangkah dan sadar.

“Eh, ruangannya di mana ya. Kan kemarin gue ketemu di ruang pertemuan bukan ruangan beliau. Aduhhh, Maira kenapa bego banget sih, harusnya kan tanya dulu,” gumamnya sambil memukul kepalanya kecil.

Maira menengok ke kanan dan kiri, mencoba mencari seseorang untuk bisa ditanyai. Maira akhirnya menemukan seorang staf yang baru keluar dari lift, pria muda yang membawa tumpukan berkas.

“Maaf, saya mau bertanya... ruangan Pak Wisnutama di mana, ya?” suaranya serak kecil karena gugup, membuat staf itu menatapnya sebentar sebelum tersenyum ramah.

“Oh, beliau di lantai 18, ujung koridor sisi barat. Ada pintu kaca gelap dengan plakat nama beliau.”

“Ah terima kasih,” Maira membungkuk sedikit, terlalu cepat, lalu berbalik sebelum malu dirinya menampar lebih keras dari tadi.

Perjalanan menuju lantai 18 terasa jauh lebih menegangkan daripada seharusnya. Ada denyut halus di dasar tenggorokannya ketika mengingat bagaimana aura dan pesona pria itu. Sembari dalam perjalanan, Maira sebenarnya bingung mengapa dosennya tidak membalas emailnya.

Padahal, Maira ingin mengonfirmasi, apa setiap mahasiswi riset langsung berada di bawah pengawasan diplomat, karena setahunya mahasiswi riset akan dibiarkan untuk bertanya pada siapa pun dan hanya akan di awasi oleh staff saja, bukan diplomat yang apalagi seperti Wisnutama Adnan Bin Malik.

Pintu kaca gelap yang dimaksud terlihat jelas. Maira menghentikan langkahnya, menarik napas, merapikan blouse sekali lagi yang padahal sudah rapi. Lalu mengetuk.

“Masuk.”

Suara itu dalam, tenang dan entah kenapa membuat jantungnya melonjak seperti ditekan tombol.

Maira membuka pintu sedikit, mengintip. Wisnutama duduk di balik meja, menutup sebuah map, kemudian menatapnya. Tatapannya sangat tajam, seolah ingin mengulitinya yang sudah berdiri kaku.

“Jam berapa sekarang?” tanyanya datar, tidak ada nada bersahabat di sana.

Maira menelan ludah. “Maaf, Pak. Saya sempat em nyasar sedikit.”

“Perlu kamu ketahui, Maira bahwa berada di bawah pengawasan saya itu artinya juga turut serta mengikuti cara kerja saya. Dan, saya adalah pribadi yang disiplin, tidak memberikan toleransi pada keterlambatan sekalipun hanya 1 detik. Kamu baru saja melakukan pelanggaran itu dan hukuman apa yang harus saya berikan pada mahasiswi riset yang baru saja datang ini?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 8 - Semakin Tidak Terkendali

    Sebuah batu menghantam kaca samping kanan. Retakan halus menjalar cepat seperti jaring laba-laba. Maira menjerit kecil, tubuhnya refleks menciut.“Jangan bergerak,” perintah Wisnutama.Kerumunan semakin dekat. Beberapa orang memukul bodi mobil dengan tangan dan tongkat. Dentuman beruntun membuat ruang di dalam mobil terasa sesak.BRAK! Retakan kaca melebar dan serpihan kaca mulai runtuh ke dalam. Wisnutama langsung menarik tubuh Maira dengan satu gerakan cepat dan kuat. Lengan besarnya melingkar di bahu dan punggung Maira, menariknya ke dalam dadanya, menekan kepalanya ke sisi tubuhnya sendiri. Tubuhnya membentuk perisai penuh untuk melindungi mahasiswa risetnya.“Tutupi kepalamu,” ucapnya dekat telinganya.Panas tubuhnya langsung terasa. Detak jantungnya begitu stabil, konstan berlawanan dengan jantung Maira yang nyaris meledak. Bau khasnya yang maskulin, bersih, sedikit logam mencampur dengan debu dan ketegangan.PRANG! Kaca pecah sepenuhnya dan beberapa menghantam bahu Wisnutama.

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 7 - Aksi Demontrasi

    Maira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sos

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 6 - Takut Pada Saya?

    Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.“S-saya tidak bermaksud-”“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.“I-iya Pak.”Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Mair

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 5 - Hukuman

    Maira mematung. Kata hukuman meluncur terlalu cepat dari mulut pria itu dan membuat Maira ketakutan. Sial sekali, hari pertama sudah mendapat hukuman saja yang bahkan Maira sendiri pun belum duduk.Wisnutama bersandar ke kursinya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Maira. Sorot itu menunjukkan bahwa pria itu sedang mengukur, menimbang, dan memutuskan apakah dirinya layak berada di ruangan ini.“Duduk.”Perintah itu membuat kaki Maira otomatis bergerak dan menarik kursi di depan meja. Berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Begitu ia duduk, Wisnutama kembali berbicara.“Sebelum saya menentukan hukuman apa yang pantas, saya ingin tahu sesuatu,” pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “ceritakan pada saya. Mengapa kamu terlambat?”Maira membuka bibir, menutupnya, lalu membuka lagi. Suaranya hampir tenggelam.“Saya... saya nyasar, Pak. Saya pikir ruangan Bapak berada di lantai yang sama seperti kemarin. Ditambah saya juga lupa ber

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 4 - Terlambat

    Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperl

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 3 - Di Bawah Pengawasan Diplomat

    Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya. Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.“Silakan masuk.”Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Ras

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status