Beranda / Romansa / Di Balik Pintu Gelap Diplomat / Bagian 3 - Di Bawah Pengawasan Diplomat

Share

Bagian 3 - Di Bawah Pengawasan Diplomat

Penulis: Daisy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 23:56:21

Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya.  Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.

Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.

“Silakan masuk.”

Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.

“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Rastanti,” suara baritonnya terkontrol, seperti seseorang yang terbiasa memerintah orang lain tanpa perlu mengangkat suara.

Maira menahan diri agar tidak memindahkan berat badannya gelisah. “T-terima kasih, Sir.”

Pria yang mengantarnya menunduk dan keluar, meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang seolah semakin mengecil. Wisnutama tidak menyuruh Maira duduk dan hanya menatap seakan memeriksa setiap simpul saraf yang membangun dirinya.

“Perjalanan Anda melelahkan?” tanyanya dengan nada suara datar.

“Saya baik-baik saja,” jawab Maira cepat.

“Itu bukan jawaban yang saya tanyakan,” balasnya pelan.

Maira membeku sepersekian detik. Ada sesuatu dalam cara pria itu mengucapkan kata-kata yang membuatnya merasa seperti sedang diuji tanpa diberi tahu aturan mainnya. Wisnutama akhirnya berjalan mendekat, langkahnya pelan, seperti seseorang yang tidak pernah terburu-buru karena dunia cenderung menyesuaikan diri pada ritmenya.

Pria itu berhenti hanya beberapa langkah di depan Maira. Tidak terlalu dekat untuk dianggap tidak sopan, tapi cukup dekat untuk membuat jantung Maira menegang.

“Kedatanganmu hari ini bukan hal kecil. Banyak mahasiswa datang ke sini untuk riset budaya. Namun hanya sedikit yang,” ia berhenti, menatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut tanpa menyembunyikan bahwa itu adalah evaluasi, “yang dipanggil langsung oleh pihak internal.”

Nada suaranya membuat Maira merinding ringan.

“Maksudnya?” suara Maira sedikit serak, bukan karena takut, tapi karena atmosfer ruangan membuatnya sulit bernapas dengan ritme normal.

Wisnutama tidak menjawab pertanyaan itu, tapi justru mendekat setengah langkah untuk membuat Maira sadar bahwa pria itu bukan sekadar petinggi. Ia adalah seseorang yang terbiasa bekerja di ruang-ruang di mana kata rahasia memiliki bobot.

“Apa yang kamu kejar dari penelitianmu di sini?”

Tidak ada nada ramah. Tidak ada opsi untuk mengelak. Pertanyaan itu bukan permintaan, melainkan tuntutan.

Maira menegakkan bahu. “Saya ingin-”

Wisnutama memotongnya lembut, tanpa nada kasar. “Jujur saja. Bukan jawaban yang kamu siapkan untuk presentasi akademik.”

Maira sekali lagi terdiam. Laki-laki ini seperti bisa mencium kebohongan sebelum seseorang sempat berpikir untuk berbohong.

“Saya... ingin belajar langsung dari pusatnya. Dari tempat yang benar-benar memegang kekuatan budaya dan diplomasi. Saya ingin melihat bagaimana diplomasi bekerja dari dekat.”

Wisnutama tidak mengangguk, pula tidak tersenyum. Meski tidak bereaksi tapi tatapan itu mampu melumpukan Maira dan membawa ketegangan yang jelas tidak ada yang pernah membuatnya seperti ini.

“Bagus. Setidaknya kamu tidak datang ke sini untuk hal-hal yang dangkal,” Wisnutama berbalik sebentar, mengambil sebuah map tipis dari meja. Lalu kembali menatap Maira.

“Kamu akan bekerja di bawah pengawasan saya langsung. Semua kegiatanmu akan berada dalam protokol. Semua gerakanmu akan dicatat.”

Maira tercekat.

“Langsung di bawah pengawasan Anda? Saya- saya tidak diberi tahu.”

“Kamu tidak perlu diberi tahu,” tatapannya kembali menusuk, “cukup ikuti arahan yang saya berikan.”

Ada jeda.

“Mulai hari ini, Maira. Kamu berada di wilayah saya.”

Maira hanya sanggup mengangguk, karena entah bagaimana suaranya seolah menghilang dan enggan muncul untuk menjawab pria dengan pesona mengerikan ini.

“Sekarang,” lanjut Wisnutama sambil menggeser map itu kepadanya, “kamu bisa beristirahat di wilayah yang sudah di khususkan untuk setiap mahasiswa riset. Begitu keluar dari ruangan ini akan ada seseorang yang memandumu ke sana.”

“Te-terima kasih, Sir.”

Maria menundukkan kepalanya sedikit untuk memberi penghormatan pada pria itu. lalu berbalik menuju pintu dan benar saja begitu pintu terbuka, sudah seorang wanita yang mengenakan setelan jas hitam dan langsung mengarahkannya untuk mengikutinya.

“Nama saya Nadra,” ucapnya singkat tanpa menoleh, “saya akan mengantar Anda ke area tempat tinggal mahasiswa riset.”

Maira hanya mengangguk. Waktu sepertinya masih membutuhkan beberapa detik lagi untuk membuat suaranya kembali normal. Tenggorokannya kering, karena pria yang baru saja ia tinggalkan di belakang pintu itu.

Mereka melalui koridor panjang dengan dinding marmer, lampu-lampu gantung minimalis, dan aroma ruangan yang entah bagaimana bisa tercium mahal. Setiap sudut terasa seperti ruang yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang pilihan dan kini Maira di dalamnya.

“Wah,” gumam Maira.

Sebuah kekaguman yang tiada hentinya ia berikan untuk bangunan dan semua hal yang berada di Abu Dhabi. Tidak heran jika kota ini menyandang kota paling megah di dunia, terlihat dari bagaimana cantiknya semua hal di sini.

“Wilayah mahasiswa riset ada di lantai tiga,” jelas Nadra sambil menekan tombol lift. “Area ini privat dan terpisah dari staf diplomatik. Tetapi protokol keamanan tetap ketat.”

Lift terbuka dengan bunyi halus. Maira masuk. Dindingnya kaca gelap dan ia bisa melihat bayangannya sendiri dengan mata sedikit melebar, wajah lelah karena perjalanan panjang.

“Ada aturan tertentu yang perlu Anda ketahui,” lanjut Nadra ketika pintu lift tertutup. “Beberapa area tidak boleh dimasuki tanpa izin langsung dari atasan Anda.”

Atasan? Itu artinya...

“Dan atasan saya adalah Pak Wisnutama?” tanyanya pelan.

“Benar,” jawaban Nadra sangat cepat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 8 - Semakin Tidak Terkendali

    Sebuah batu menghantam kaca samping kanan. Retakan halus menjalar cepat seperti jaring laba-laba. Maira menjerit kecil, tubuhnya refleks menciut.“Jangan bergerak,” perintah Wisnutama.Kerumunan semakin dekat. Beberapa orang memukul bodi mobil dengan tangan dan tongkat. Dentuman beruntun membuat ruang di dalam mobil terasa sesak.BRAK! Retakan kaca melebar dan serpihan kaca mulai runtuh ke dalam. Wisnutama langsung menarik tubuh Maira dengan satu gerakan cepat dan kuat. Lengan besarnya melingkar di bahu dan punggung Maira, menariknya ke dalam dadanya, menekan kepalanya ke sisi tubuhnya sendiri. Tubuhnya membentuk perisai penuh untuk melindungi mahasiswa risetnya.“Tutupi kepalamu,” ucapnya dekat telinganya.Panas tubuhnya langsung terasa. Detak jantungnya begitu stabil, konstan berlawanan dengan jantung Maira yang nyaris meledak. Bau khasnya yang maskulin, bersih, sedikit logam mencampur dengan debu dan ketegangan.PRANG! Kaca pecah sepenuhnya dan beberapa menghantam bahu Wisnutama.

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 7 - Aksi Demontrasi

    Maira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sos

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 6 - Takut Pada Saya?

    Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.“S-saya tidak bermaksud-”“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.“I-iya Pak.”Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Mair

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 5 - Hukuman

    Maira mematung. Kata hukuman meluncur terlalu cepat dari mulut pria itu dan membuat Maira ketakutan. Sial sekali, hari pertama sudah mendapat hukuman saja yang bahkan Maira sendiri pun belum duduk.Wisnutama bersandar ke kursinya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Maira. Sorot itu menunjukkan bahwa pria itu sedang mengukur, menimbang, dan memutuskan apakah dirinya layak berada di ruangan ini.“Duduk.”Perintah itu membuat kaki Maira otomatis bergerak dan menarik kursi di depan meja. Berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Begitu ia duduk, Wisnutama kembali berbicara.“Sebelum saya menentukan hukuman apa yang pantas, saya ingin tahu sesuatu,” pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “ceritakan pada saya. Mengapa kamu terlambat?”Maira membuka bibir, menutupnya, lalu membuka lagi. Suaranya hampir tenggelam.“Saya... saya nyasar, Pak. Saya pikir ruangan Bapak berada di lantai yang sama seperti kemarin. Ditambah saya juga lupa ber

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 4 - Terlambat

    Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperl

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 3 - Di Bawah Pengawasan Diplomat

    Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya. Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.“Silakan masuk.”Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Ras

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status