MasukMaira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”
Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.
“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”
Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”
“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”
Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.
“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sosialnya. Itu tidak mudah.”
Maira terkejut. Ia mendongak, nyaris refleks. “S-serius, Pak?”
“Masalahnya ada pada konsistensi dan keberanian mengambil keputusan saat mencatat. Kamu terlalu sering berhenti karena ragu.”
Maira menunduk lagi. “Saya takut salah.”
“Kesalahan bisa diperbaiki. Catatan kosong tidak,” balas Wisnutama.
Maira mengangguk pelan, mencatatnya dengan baik di kepalanya. Wisnutama menutup buku catatan itu lagi, kali ini lebih lembut. “Saya tidak membawa kamu ke lapangan untuk menghukum. Saya ingin melihat bagaimana kamu bekerja di bawah tekanan.”
Maira terdiam. “Dan, bagaimana menurut Bapak?”
Ada jeda. Wisnutama menatap lurus ke depan, ke jalan yang melaju di balik kaca mobil.
“Ya, setidaknya lebih dari ekspektasi saya pada mahasiswa riset. Cukup baik,” jawabnya akhirnya.
Jantung Maira berdetak lebih cepat. Pujian dari pria ini wajib untuk dibanggakan, mengingat betapa keras dan kaku nya dalam melakukan pengawasan saat di lapangan tadi.
“Tapi, kalau kamu terus bekerja dengan rasa takut, kamu akan habis sebelum riset ini selesai,” lanjut Wisnutama.
Maira menarik napas. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”
Wisnutama menoleh. Menatap pada wajah yang begitu ambisius dan penasaran akan nasehat yang diberikan mentornya. Wisnutama sudah sering melihat tatapan ambisius ini pada banyak orang termasuk mahasiswa riset dan Maira sama seperti yang lainnya.
“Percaya pada observasimu. Dan ingat satu hal bahwa kamu ada di sini karena kamu lolos seleksi. Bukan karena belas kasihan siapa pun termasuk saya. Itu artinya kamu memiliki kemampuan yang tidak dimiliki mahasiswa lain. Buat universitas kamu tidak menyesal telah mengirim kamu ke sini,” katanya.
Kata-kata itu terasa seperti beban yang perlahan dilepaskan dari bahu Maira.
“Baik, Pak,” ucapnya lebih mantap kali ini.
Wisnutama mengangguk tipis. Ia kembali membuka catatan, lalu menyodorkannya sedikit ke arah Maira. “Nanti malam, revisi bagian ini. Saya ingin melihat perbedaan cara kamu berpikir setelah hari ini.”
Maira menerima buku itu dengan kedua tangan. “Baik, Pak. Saya akan kerjakan.”
Tidak lama kemudian, laju mobil mendadak melambat. Di kejauhan, kerumunan manusia terlihat memenuhi sebagian jalan. Spanduk-spanduk terangkat, suara teriakan samar menembus kaca mobil yang tertutup rapat.
Rasyid langsung menegakkan tubuhnya.
“Itu... tidak seharusnya ada di sini,” gumamnya cepat, jemarinya bergerak lincah di ponsel. “Jalur ini seharusnya steril.”
Supir mengurangi kecepatan lebih jauh.
“Pak,” suara Rasyid naik satu oktaf, “ini jalur alternatif. Tidak ada izin demonstrasi di area ini.”
Wisnutama tidak langsung menjawab, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap kerumunan dengan mata setenang permukaan danau. Tidak ada kepanikan di wajahnya yang ada justru perhitungan.
“Berapa jarak kita?” tanyanya.
“Kurang lebih seratus meter,” jawab supir cepat.
Rasyid menoleh ke belakang, “sepertinya kita harus putar balik sekarang, Pak. Massa mulai bergerak ke tengah jalan.”
Maira menelan ludah. Tangannya refleks menggenggam buku catatan di pangkuannya. Detak jantungnya naik drastis, tapi ia berusaha tidak menunjukkan apa pun. Wisnutama akhirnya berbicara, suaranya rendah dan tegas.
“Apakah ada pengamanan lokal di titik ini?” lanjutnya.
“Belum, Pak. Ini di luar perimeter.”
Jelas. Area ini memang seharusnya steril dan tidak ada dalam agenda lokasi demontrasi. Wisnutama bingung, mengapa ada yang mengizinkan mereka berada di sini, karena dalam aksi demontrasi akan selalu ada izin terlebih dahulu.
“Baik.” Wisnutama menoleh ke Maira untuk pertama kalinya sejak mobil melambat.
Tatapan itu membuat tubuh Maira menegang.
“Kamu dengarkan saya baik-baik,” ucapnya tanpa nada panik. “Apa pun yang terjadi, tetap duduk. Jangan membuka pintu. Jangan mendekat ke jendela. Paham?”
Maira mengangguk cepat. “Paham, Pak.”
Rasyid menoleh lagi ke depan. “Pak, mereka mulai menyadari kendaraan ini.”
Beberapa kepala di kerumunan menoleh. Ada yang menunjuk. Suara teriakan terdengar lebih jelas sekarang. Wisnutama menghela napas pelan, bukan tanda lelah, melainkan keputusan.
“Hubungi keamanan kedutaan. Minta pengawalan sekarang juga. Kirim lokasinya dan pastikan mereka tiba kurang dari 15 menit.”
“Baik, Pak.”
Mobil berhenti perlahan. Maira merasa telapak tangannya dingin. Untuk pertama kalinya hari itu, rasa takutnya tidak lagi absurd atau berlebihan, ini nyata. Wisnutama meliriknya sekilas.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya singkat.
“Sa-saya-“
Suara benturan pertama terdengar sebelum Maira menyelesaikan kalimatnya. Tubuh mungil itu berjengit dan menggeser duduk nya agak ke tengah, mendekat pada Wisnutama.
DUG.
Sesuatu menghantam sisi mobil. Maira tersentak, refleks menoleh ke arah suara sebelum sempat berpikir. Dari kaca depan, ia melihat salah satu botol plastik melayang, disusul teriakan yang kini jelas dan penuh amarah.
“Pak,” Rasyid menegang, “mereka mulai agresif.”
Belum sempat Wisnutama menjawab-
BRAK!
Sebuah batu menghantam kaca samping kanan. Retakan halus menjalar cepat seperti jaring laba-laba. Maira menjerit kecil, tubuhnya refleks menciut.“Jangan bergerak,” perintah Wisnutama.Kerumunan semakin dekat. Beberapa orang memukul bodi mobil dengan tangan dan tongkat. Dentuman beruntun membuat ruang di dalam mobil terasa sesak.BRAK! Retakan kaca melebar dan serpihan kaca mulai runtuh ke dalam. Wisnutama langsung menarik tubuh Maira dengan satu gerakan cepat dan kuat. Lengan besarnya melingkar di bahu dan punggung Maira, menariknya ke dalam dadanya, menekan kepalanya ke sisi tubuhnya sendiri. Tubuhnya membentuk perisai penuh untuk melindungi mahasiswa risetnya.“Tutupi kepalamu,” ucapnya dekat telinganya.Panas tubuhnya langsung terasa. Detak jantungnya begitu stabil, konstan berlawanan dengan jantung Maira yang nyaris meledak. Bau khasnya yang maskulin, bersih, sedikit logam mencampur dengan debu dan ketegangan.PRANG! Kaca pecah sepenuhnya dan beberapa menghantam bahu Wisnutama.
Maira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sos
Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.“S-saya tidak bermaksud-”“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.“I-iya Pak.”Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Mair
Maira mematung. Kata hukuman meluncur terlalu cepat dari mulut pria itu dan membuat Maira ketakutan. Sial sekali, hari pertama sudah mendapat hukuman saja yang bahkan Maira sendiri pun belum duduk.Wisnutama bersandar ke kursinya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Maira. Sorot itu menunjukkan bahwa pria itu sedang mengukur, menimbang, dan memutuskan apakah dirinya layak berada di ruangan ini.“Duduk.”Perintah itu membuat kaki Maira otomatis bergerak dan menarik kursi di depan meja. Berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Begitu ia duduk, Wisnutama kembali berbicara.“Sebelum saya menentukan hukuman apa yang pantas, saya ingin tahu sesuatu,” pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “ceritakan pada saya. Mengapa kamu terlambat?”Maira membuka bibir, menutupnya, lalu membuka lagi. Suaranya hampir tenggelam.“Saya... saya nyasar, Pak. Saya pikir ruangan Bapak berada di lantai yang sama seperti kemarin. Ditambah saya juga lupa ber
Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperl
Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya. Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.“Silakan masuk.”Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Ras







