Beranda / Romansa / Di Balik Pintu Gelap Diplomat / Bagian 6 - Takut Pada Saya?

Share

Bagian 6 - Takut Pada Saya?

Penulis: Daisy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 23:57:42

Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.

“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”

Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.

“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.

“S-saya tidak bermaksud-”

“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”

Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.

“I-iya Pak.”

Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Maira bukanlah hal memalukan yang pernah ia dengar. Maira tidak bergerak, hanya memandang botol itu, kaget dan semakin kaget karena Wisnu menatapnya dengan alis sedikit terangkat.

“Kamu minta. Sekarang saya berikan,” ucap Wisnu, tenang.

Maira ingin mati seketika dan dengan tangan gemetar, ia menerima botol itu. “Te-terima kasih, Pak.”

Pria itu hanya membalas dengan anggukan lalu wajahnya menoleh pada Rasyid dan mengatakan, “tolong berikan saya air lagi, Rasyid.”

“Baik, Pak.”

Rasyid lalu memberikan botol minum baru pada atasannya itu. Maira langsung memalingkan wajah, pipinya panas.

‘Dia sampai ganti botol karena gue minum dari botolnya. Ya ampun, memalukan banget.’

Namun, Wisnu tidak tampak terganggu. Pria itu hanya menerima botol baru itu, membuka tutupnya, dan meneguk sedikit. Seolah memberi air pada Maira barusan adalah hal paling normal di dunia.

“Waktu kita tidak banyak. Masih ada tiga lokasi lagi,” ucapnya datar.

TIGA?

Maira hampir tersedak udara. Rasyid sempat meliriknya singkat, seperti ingin mengatakan ‘sabar ya’ tapi tidak boleh bersuara keras-keras. Wisnu mulai berjalan lagi dengan langkah besarnya yang jujur saja membuat Maira lelah sejak awal.

Setelah beberapa langkah, Wisnu berbicara tanpa menoleh, “kalau kamu butuh istirahat, bilang. Jangan sampai pingsan di tengah jalan.”

Maira hampir berhenti di tempat, hampir saja salah paham atas bentuk perhatian tersebut. Namun, begitu melihat tubuh besarnya yang sudah dipastikan itu hanyalah bentuk tanggung jawab dan hal yang harus dilakukan orang penting sepertinya.

“Saya... i-iya, Pak. Baik.”

“Dan lain kali,” lanjutnya, masih tanpa menoleh, “kalau kamu haus, katakan saja. Jangan menunggu ditawari terlebih dahulu.”

Rasyid lagi-lagi mengulum tawa akan kalimat Wisnutama. Bagi orang-orang yang sudah lama bekerja dengan pria itu akan merasa biasa saja. namun, bagi mereka yang baru- seperti Maira jelas akan sangat berbeda dan terdengar seperti desakan, sindiran bahkan kemarahan.

Maira menatap punggung besar Wisnu di depan mereka dan menghela napas panjang.

‘Ya Tuhan, manusia ini keras banget, tapi kok ada yang bikin deg-degan?’

Maira menggelengkan kepalanya dan berusaha fokus. Sejak kapan, ia terpana pada seorang pria yang selalu membuatnya skeptis.

“Pak, sepertinya ada hal mendesak di mana Bapak harus segera kembali ke kedutaan,” ucap Rasyid setelah membaca satu pesan dalam ponselnya.

“Ada masalah?” tanya Wisnutama.

Maira turut serta menghentikan langkah mereka dan menatap dengan seksama pada dua orang pria bertubuh besar itu. Saat keduanya

“Ada demonstrasi besar yang dilakukan oleh beberapa warga imigran.”

“Di depan gedung kedutaan?”

“Iya, Pak. Menurut informasi, memang hanya kedutaan yang mereka datangi karena ada banyak duta dari negara mereka.”

“Kita kembali.”

Begitu saja, setelahnya ketiganya masuk ke mobil. Namun, saat Maira akan duduk di kursi depan, suara berat membuatnya berhenti.

“Maira, duduk di samping saya. Saya ingin mengecek apa saja yang sudah kamu catat,” begitu kata Wisnutama.

Maira menelan salivanya dengan berat, ketakutan muncul dalam dirinya. Maka, dengan langkah kecil, ia membuka pintu belakang dan masuk secara perlahan untuk duduk di samping pria itu. mobil melaju begitu saja, dan Wisnutama mulai membaca semua catatannya.

Pria itu menaruh catatan Maira di pahanya, membuka halaman satu per satu dengan ketenangan yang sama sekali tidak cocok dengan suara sirene jauh di luar sana. Pensil mekanis di tangannya mengetuk ringan kertas, presisi, dan entah kenapa membuat tengkuk Maira dingin.

“Penomoran tidak konsisten,” ucap Wisnutama tanpa menoleh.

Nada suaranya tidak keras, tetapi cukup membuat jari Maira menggenggam rok sampai kusut.

“Ma-maaf, Pak. Tadi saya-”

“Jangan beri alasan. Jelaskan sebabnya.”

Maira terdiam. Wisnu akhirnya menoleh, tatapannya penuh analisis, tajam seperti sedang menilai struktur bangunan yang bisa runtuh kapan saja.

“Saya terburu-buru mengikuti arahan Bapak,” jawab Maira perlahan.

“Hm,” Wisnu mengembalikan tatapannya ke catatan, “terburu-buru bukan alasan untuk menurunkan kualitas kerja. Tekanan eksternal tidak boleh membuatmu ceroboh.”

Dari kursi depan, Rasyid melirik lewat kaca tengah dengan ekspresi yang jelas-jelas menunjukkan rasa kasihan. Wisnutama melanjutkan membaca.

Lima detik. Sepuluh detik. Dua puluh detik.

Lalu, tiba-tiba ia menutup buku catatan itu dengan satu gerakan halus.

“Kamu mencatat ini dengan tangan gemetar?” tanyanya.

Maira membeku. “B-bukan gemetar, Pak. Hanya sedikit kepanasan.”

“Panas tidak memengaruhi garis lurus. Ketakutan memengaruhi,” ada jeda singkat, “kamu takut pada saya?”

Pertanyaan aneh yang bahkan jika ditanyakan pada anak kecil jawabannya akan pasti IYA. Bahkan, jika semua orang ditanyai dengan pertanyaan yang sama pun, jawabannya akan tetap IYA. Dan sebelum Maira sempat menjawab, suara Rasyid masuk di antara keduanya.

“Pak, jalan ke gedung kedutaan sudah ditutup sebagian. Kita ambil jalur alternatif.”

“Lakukan,” Wisnu hanya mengangguk tipis, lalu kembali pada Maira, “saya menunggu jawaban.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 8 - Semakin Tidak Terkendali

    Sebuah batu menghantam kaca samping kanan. Retakan halus menjalar cepat seperti jaring laba-laba. Maira menjerit kecil, tubuhnya refleks menciut.“Jangan bergerak,” perintah Wisnutama.Kerumunan semakin dekat. Beberapa orang memukul bodi mobil dengan tangan dan tongkat. Dentuman beruntun membuat ruang di dalam mobil terasa sesak.BRAK! Retakan kaca melebar dan serpihan kaca mulai runtuh ke dalam. Wisnutama langsung menarik tubuh Maira dengan satu gerakan cepat dan kuat. Lengan besarnya melingkar di bahu dan punggung Maira, menariknya ke dalam dadanya, menekan kepalanya ke sisi tubuhnya sendiri. Tubuhnya membentuk perisai penuh untuk melindungi mahasiswa risetnya.“Tutupi kepalamu,” ucapnya dekat telinganya.Panas tubuhnya langsung terasa. Detak jantungnya begitu stabil, konstan berlawanan dengan jantung Maira yang nyaris meledak. Bau khasnya yang maskulin, bersih, sedikit logam mencampur dengan debu dan ketegangan.PRANG! Kaca pecah sepenuhnya dan beberapa menghantam bahu Wisnutama.

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 7 - Aksi Demontrasi

    Maira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sos

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 6 - Takut Pada Saya?

    Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.“S-saya tidak bermaksud-”“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.“I-iya Pak.”Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Mair

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 5 - Hukuman

    Maira mematung. Kata hukuman meluncur terlalu cepat dari mulut pria itu dan membuat Maira ketakutan. Sial sekali, hari pertama sudah mendapat hukuman saja yang bahkan Maira sendiri pun belum duduk.Wisnutama bersandar ke kursinya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Maira. Sorot itu menunjukkan bahwa pria itu sedang mengukur, menimbang, dan memutuskan apakah dirinya layak berada di ruangan ini.“Duduk.”Perintah itu membuat kaki Maira otomatis bergerak dan menarik kursi di depan meja. Berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Begitu ia duduk, Wisnutama kembali berbicara.“Sebelum saya menentukan hukuman apa yang pantas, saya ingin tahu sesuatu,” pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “ceritakan pada saya. Mengapa kamu terlambat?”Maira membuka bibir, menutupnya, lalu membuka lagi. Suaranya hampir tenggelam.“Saya... saya nyasar, Pak. Saya pikir ruangan Bapak berada di lantai yang sama seperti kemarin. Ditambah saya juga lupa ber

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 4 - Terlambat

    Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperl

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 3 - Di Bawah Pengawasan Diplomat

    Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya. Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.“Silakan masuk.”Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Ras

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status