Share

Di Balik Rupa Burukku
Di Balik Rupa Burukku
Penulis: Nainamira

Bab 1

Jambi Barat, 1997.

"Kak Aina! Kak Aina ... pulang, Kak!" panggil Dito adikku.

Anak itu berlari tergesa-gesa ke arahku menerobos semak belukar tanpa alas kaki.

"Dito!, ada apa, Dit?" tanyaku sambil menghentikan aktivitas yang kulakukan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, menyadap karet di kebun yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumah.

"Kak Aina, lekas pulang, Kak. Bapak bertengkar lagi sama Mamak, Mamak berulang kali dipukuli Bapak," kata anak itu sambil ngos-ngosan.

"Apa?"

Spontan aku berlari pulang, pisau sadap masih kugenggam dengan kuat, Dito menyusul di belakangku berlari tanpa alas kaki membuatnya terpincang-pincang menginjak duri.

Matahari sudah menyemburatkan sinarnya, kemungkinan baru pukul setengah tujuh pagi, aku biasanya akan pulang setelah menyadap karet seluas satu hectar itu setelah jam setengah delapan. Setelah pulang, mandi, berganti pakaian dan berlari ke sekolah. Sekolah di daerah pedalaman tidak terlalu disiplin, sekarang aku sudah kelas tiga di sebuah SMP satu atap yang jarak tempuhnya hanya lima belas menit berlari dari rumah.

Sebenarnya tinggal dua puluh persen lagi pohon karet yang belum kusadap, tetapi mendengar berita dari Dito membuatku tidak tenang, aku harus pulang. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Mamak seperti tempo hari, bibir  pecah, berdarah di hajar laki-laki yang mengaku suaminya lantaran tidak memberi uang untuknya bermain judi dan mabuk-mabukkan.

Sesampai rumah gubuk kami, kulihat Mamak sudah berada di depan pintu, rambutnya sudah acak-acakan, dan lelaki itu berulang kali menendang tubuh wanita tua yang telah melahirkan aku itu.

"Bapak! Cukup! Jangan kau siksa Mamak lagi!" pekikku penuh amarah.

Aku segera berlari menghampiri Mamak, mata Mamak menatapku dengan tatapan yang entahlah, seperti ketakutan.

"Ai ... Aina, kenapa kau ke sini Ai?" tanya Mamak dengan suara bergetar.

"Pergi ... cepat pergi kau Ai, lari sejauh-jauhnya dari lelaki biadab ini!" pekik Mamak sebelum aku sampai ke tempatnya. 

Mendengar Mamak memekik, membuatku menghentikan langkah, aku hanya berdiri mematung menatap mereka berdua.

"Aina, anak Bapak yang cantik ... sumber uang Bapak, sini ... sini, Nak! Bapak akan membuat hidup kau enak bergelimang harta," kata lelaki yang sebenarnya aku sudah enggan memanggilnya Bapak, dia melambai-lambaikan tangannya.

"Sudah, Bang! Aku mohon, Aina masih kecil, Bang. Usianya baru lima belas tahun. Kau butuh duit berapa? Nanti aku carikan, Bang. Jangan kau korbankan masa depan Aina!" teriak Mamak sambil memeluk erat kaki lelaki itu.

"Diam kau, Nur! Anak kau itu sedang elok-eloknya. Ibarat bunga lagi mekar-mekarnya, makanya Datuk Muhtar itu berniat menjadikannya istri ketiga. Dia pasti memberi mas kawin yang banyak, Nur! Dia toke getah dan toke sawit terkaya di kampung kita," kata lelaki itu, dihentakan kakinya agar terlepas dari pelukan Mamak.

Mendengar penuturan lelaki itu, aku terhenyak, kutelan saliva yang terasa pahit, sepahit masa depanku jika berada di kehidupan lelaki tua itu, Datuk Muhtar.

"Tidak, Bang. Aku tidak mau anakku menjadi istri lelaki tua itu, Datuk Muhtar itu sudah punya banyak cucu, lagipula Nyai Husna istri pertamanya itu terkenal kejam, Rosidah istri keduanya hanya dijadikan budak nafsu Datuk Muhtar, dan jadi babu di rumah besar itu. Aku yakin Aina akan diperlakukan sama seperti itu. Tidak ada masa depan di sana, rumah besar itu adalah neraka!" Mamak berteriak menangis tak berdaya.

"Itukan menurut kau, menurutku di sana itu surga," kata lelaki itu sambil menendang kepala Mamak hingga wanita yang paling kusayangi itu tersungkur.

"Mamaaak!" pekik Dito.

Anak itu baru sampai, dia berlari memeluk dan mengusap pipi Mamak sambil menangis kencang. Dito masih kecil, kekerasan yang kerap terjadi di depan matanya membuatnya rapuh, kadang kilat kebencian terpancar kala menatap ayah kandungnya itu.

Lelaki itu segera mendekatiku, bagai terhipnotis kakiku seolah tetancap ke tanah, tidak bisa digerakkan. Aku akui aku lemah jika melihat Mamak menderita, aku ingin berlari tapi pasti lelaki itu akan melampiaskan semuanya pada Mamak, pernah Mamak sampai kehilangan pendengarannya selama berhari-hari lantaran kepalanya dibenturkan ke pohon mangga di depan rumah.

"Ayo, Ai ... kita langsung ke rumah besar Datuk Muhtar, nanti siang kau akan ijab qobul dengannya. Tidak perlu dandan dari sini, di sana semua sudah dipersiapkan," kata lelaki itu meraih tanganku dan menyeretnya.

"Bang Sardan, jangan Bang! Jangan kau bawa Aina!" pekik Mamak sambil berusaha bangkit. Tetapi lelaki itu tidak peduli.

"Lepaskan! Lepaskan, Pak! Aina gak mau, Pak! Ai gak mau!" Aku meronta berusaha melepaskan genggaman tangan lelaki itu, semakin aku berusaha melepaskan, tangan itu semakin kuat mencekram, aku terseok-seok mengikuti langkahnya.

"Diam, Kau! Sekarang waktunya kau balas budi kepadaku, tahu?" hardik lelaki tinggi besar berkumis tebal itu, tubuhku yang kecil tak mampu mengimbangi kekuatannya. 

"Lepaskan, Pak! Aina masih mau sekolah, Pak!" 

Lelaki itu malah memelintir tanganku, membuatku menjerit kesakitan, bulir bening tumpah dari kedua netraku.

"Gak usah banyak cakap kau, kuhabisi nyawa kau kalau tidak nurut," katanya masih menyeretku dengan kasar.

Ya Allah ... aku pasrah, tolong aku Ya, Allah ....

Prakkk!

"Augh!"

Kudengar lelaki itu melenguh, dia menghentikan langkahnya dan melepaskan cengkeramannya ke tanganku. Tangan lelaki itu meraba kepalanya, terlihat darah segar di tangannya, kini menetes di keningnya. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat ke belakang, Mamak sudah menggenggam sebongkah kayu bakar yang sudah dibelah dengan ukuran yang cukup besar, di kayu itu terdapat bercak darah segar. Beberapa detik kemudian, lelaki di depanku limbung, tersungkur ke tanah.

****

"Cepat Ai, kita pergi dari sini. Bawa pakaian seadanya, agar mudah dibawa. Dito, lekas masukkan baju kau ke tas sekolah. Cepat sebelum bapak kalian sadar!" kata Mamak.

Dia terburu-buru memasukkan pakaian ke travel bag kusam yang beberapa sisinya sudah terkelupas.

 Aku segera membuka pakaian khusus menyadap karet yang bentuk rupanya sudah tidak seperti pakaian, sudah seperti lain lap yang seluruh bagiannya sudah terkena noda getah karet. Kupakai pakaian kaos oblong yang dibeli Mamak waktu lebaran dua tahun yang lalu, dan memakai training sekolah sebagai pakaian terbaikku. 

Dito memakai sepatu sekolahnya yang sudah koyak di bagian samping karena sendal jepitnya baru putus kemaren, biasanya aku akan menyambungkannya kembali dengan cara dibakar kedua sisinya, tetapi tadi tidak sempat.

"Aina, mulai saat ini, kau sembunyikan wajahmu dari dunia. Dunia ini kejam, Mamak tidak ingin kau bernasib buruk seperti Mamak. Bagi orang miskin seperti kita, memiliki wajah cantik adalah aib, wajahmu akan mempermainkan nasibmu, karena akan banyak yang akan memanfaatkanmu, menikmatimu, dan banyak pula yang iri hati padamu." 

Perkataan Mamak membuatku tidak mengerti, tapi aku tetap menurut, Mamak bilang semua demi kebaikanku. 

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Trial48801072
nhtrfddcbjkmnj
goodnovel comment avatar
Tri S
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
zidanalkaffah
dari Jambi juga ni gue
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status