"Ini, pakailah seragamku waktu SMA dulu, masih bagus kok, cuma mungkin agak kebesaran saja kalau kau yang pakai," ujar lelaki itu menyerahkan pakaian yang terlipat rapi kepadaku.Aku terpaku menatap pakaian itu, lelaki itu tersenyum lembut kembali menyodorkan kepadaku. Dengan tangan sedikit gemetar aku menerima pakaian itu. Wajarkah aku begitu senang dengan perhatian besar seperti ini? Pantaskah aku menjadi begitu tersanjung dengan apa yang dia lakukan saat ini? Bagi orang lain mungkin ini hanya perhatian kecil, tapi bagiku, sebagai tuan muda terhormat perbuatannya ini adalah perhatian yang sangat besar kepada babu jelek sepertiku.Saking menggeleparnya perasaan ini, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Aku segera mengganti pakaianku di kamar, memang pakaian ini agak kebesaran untukku, tapi tak masalah karena bagian bawah kumasukkan ke rok sehingga tidak tampak kegodoran. Kulihat penampilanku di cermin, memakai pakaian bekas lelaki itu membuatku merinding, entah perasaan apa yang
Sesuai rencana sebelum pulang kami mampir dulu ke RRI, jarak dari perpustakaan wilayah dengan gedung RRI hanya sekitar tiga ratus meter, sehingga kami menempuhnya dengan berjalan kaki. Sandi walau anak yang pendiam dia lumayan asyik di ajak mengobrol, tema yang kami angkat hanya seputar buku-buku yang tengah kami pinjam. Aku meminjam dua buah novel karya NH Dini, sedang dia meminjam buku tentang geografi dan perjalanan. Sesampainya di gedung RRI kami langsung menuju tempat pembelian atensi, aku membeli tiga lembar dengan harga seribu perlembar, sebelum mengisinya aku bingung atensi itu mau kutujukan pada siapa karena aku tidak memiliki banyak teman. Yang jelas satu untuk Sandi, dia tadi sudah berpesan, yang dua untuk siapa ya? Karena waktu sudah keburu siang, aku menuliskan nama yang terlintas di pikiranku dan menulis jam siarannya. Sandi sendiri hanya menemaniku, dia tidak tertarik mengisi atensi sepertiku. Setelah pulang hari sudah jam setengah dua siang, di halaman rumah kulihat S
Mamak kulihat tengah asyik di dapur menyiapkan makan malam, rupanya di dapur juga ada Bu Halimah. Aku segera menuju westafel tempat cuci piring, di sana piring, gelas dan mangkuk terlihat menggunung harus segera kueksekusi. Bu Halimah dan mamak nampak tengah berdiskusi untuk menyiapkan hidangan malam ini. "Masak gulai tempoyak ya Nur, Hasan paling suka dengan tempoyak pedasikan patin," ujar Bu Halimah sambil mengulek bumbu di cobek. Aku menghentikan sejenak aktivitas mencuci piring, setiap nama Hasan disebut, entah kenapa perutku tiba-tiba melilit, jantungku berdebar tak karuan, penyakit apa ini? Mamak masih serius memasak gulai tempoyak, setelah memberi instruksi hidangan apa saja yang harus dibuat, Bu Halimah meninggalkan kami di dapur. Tepat setelah aku selesai mencuci piring dan bersiap untuk menyiram tanaman, sosok lelaki yang membuatku kelimpungan itu turun dari mobil Ford Ranger-nya. Aku mencoba menghindari lelaki itu, sepertinya aku bisa demam jika berdekatan dengan lelak
"Hai, Betty La Fea!" sapa pemuda itu sambil tersenyum, dia melangkahkan kakinya perlahan ke arahku."Fendi?" Aku benar- benar antusias dengan sosok mengejutkan di depanku.Hampir tiga bulan tidak melihatnya, tidak banyak perubahan yang kulihat, namun sepertinya posturnya lebih tinggi beberapa centi."Sepertinya kau sehat dan baik-baik saja, gadis dekil! Kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku, kau anggap apa aku ini? Kau benar-benar melupakan pacar tampanmu ini, ya?" ujarnya dengan nada penuh penekanan.Aku selalu membayangkan jika bertemu Fendi, apa yang akan anak itu katakan pertama kali padaku, aku tidak menyangka dia mengatakan kalimat arogan seperti itu, seolah-olah aku pacar sungguhan."Kau juga terlihat baik-baik saja, Pacar pura-puraku. Aku senang melihatmu baik-baik saja," jawabku sambil tersenyum sumringah."Ais, menyesal aku sudah mengkwatirkanmu!" ujarnya sambil mencebik.Aku tertawa mendengar perkataannya. Aku senang bisa bertemu lagi dengannya, biar bagaimanapun dia or
"Fendi! Fendi SMA 2? Wah punya nyali juga kau main-main ke sini." Tiba-tiba panggilan frontal membuyarkan kekakuan di antara kami, berganti dengan situasi terkejut dan waspada.Dua anak muda dengan pakaian putih abu-abu berada di atas motor gede, salah satunya memakai helm, setelah kaca terbuka tampaklah siapa yang ada di dalamnya "Ha, ternyata bapak pejabat Dimas Anggara?" dengus Fendi sinis.Apakah mereka masih musuhan? Bukankah dulu sudah didamaikan di lapangan sekolah kami? Ternyata mereka secara diam-diam masih ada percikan permusuhan."Masih belum kapok rupanya kau mengganggu cewek di SMA kami?" hardik Dimas."Cewek mana? Ini?" kata Fendi sambil menunjukku."Dia tetap cewek, kan?"Fendi tertawa terbahak, melihat Fendi tertawa seperti itu membuatku sedikit tersinggung, biar bagaimana jeleknya aku, aku masih tetap seorang perempuan kan?"Dimas ... Dimas ... Asal kau tahu ya, cewek ini pacarku. Apa hakmu ngelarang aku menemui pacarku. Kau tahu gak, kalau dia baru pindah dari SMA k
Aku ke sekolah sedikit terlambat, ketika bel sekolah berbunyi aku baru sampai halaman sekolah. Aku setengah berlari menuju ke ruang kelas yang cukup jauh dari halaman, karena tergesa-gesa aku menabrak seseorang sehingga aku terjatuh dan terjerembab, hal itu cukup membuatku meringis kesakitan. "Woi, jalan pakai mata! Dasar cewek jelek!" Lawan tabrakan seorang anak lelaki kelas sebelah yang memiliki temperamen sombong dan sok kecakepan, setiap bertemu denganku dia akan selalu mengejekku dan membuatku sebagai bahan leluconnya, tapi aku tidak pernah menanggapinya. "Maaf, maaf ya aku gak sengaja," ujarku sambil berusaha bangkit, namun aku kesulitan karena tulang ekorku masih terasa sakit. "Gak sengaja kau bilang?" Aku tidak menyangka anak itu bangkit dan menjambak rambutku dengan kuat sehingga aku berteriak. "Vino! Lepaskan! Dia bilang tidak sengaja! Dia juga kesakitan jatuh tadi," seseorang memegang tangan Vino dan membuat anak itu melepas tangannya dari rambutku. "Kenapa kau bela-
"Tidak bisa! Ayo, aku antar!" kata anak itu dengan arogan, tangannya mengulur menjangkau tanganku."Dimas! Lepaskan!" Aku berteriak.Anak ini bukan sedikit gila, tapi memang benar-benar gila. Di mana etika dan sopan santunnya, jelas-jelas aku akan pergi dengan orang lain dia malah memaksaku."Sandi, kau berangkat sendiri. Aina biar bersamaku.""Aku tidak mau!"Aku menepis tangannya dan segera menarik tangan Sandi menuju angkot yang berhenti karena kuhentikan."Aina! Aina!"Tak kuhiraukan teriakan anak itu memanggil namaku seperti orang gila, ya dia memang benar-benar gila. Untung anak sekolah yang menunggu di pintu gerbang tinggal sedikit, kalau tidak kami akan menjadi tontonan yang memalukan, walaupun aku tidak menggoda Dimas sama sekali, tapi berita gosipnya tetap berkesimpulan, gadis jelek gak tahu malu, berani-beraninya menggoda Dimas, cowok paling kece seantero SMA 2, huh!Aku duduk bersebelahan dengan Sandi, anak itu dari tadi hanya diam saja tanpa mengeluarkan sepatah kata, se
"Lepaskan aku! Kalian berdamailah dulu, sudah itu aku baru mau berteman dengan kalian berdua lagi." Ketepis tangannya aku segera berlari menuruni tangga ke lantai satu.Di belakang kedua anak itu mengejarku dengan saling menyikut dan menjegal. Aku tidak peduli. Aku berlari menjauhi mereka hingga di gedung RRI, baru aku akan menyetop angkot dari sini."Nah! Akhirnya ketangkap juga kau, Pelacur kecil!"Aku terkejut, merespon dengan cepat situasi yang kualami. Ingin berlari namun tubuhku sudah dibekap dari belakang, lengan kekar dan berotot melingkar dileherku, sementara tangan satunya lagi membungkam mulutku dengan kuat. Bau nikotin dan alkohol tercium dari tubuh lelak ini. Aku mencoba memberontak sekuat tenaga, namun kekuatanku benar-benar tidak sebanding dengan lelaki yang belum kulihat wajahnya ini. Hanya mataku yang reflek membuka selebar-lebarnya.Dari arah depan empat orang laki-laki seram yang sangat kukenal tengah berjalan dengan arogan ke arahku, pria paling depan memakai jak