"Aina! Cepat bersiap! Itu orangnya sudah datang," ujar bang Sofian. "Mana, bang?" sambut Dariyah, sepertinya dia lebih surprise, seolah tamu itu spesial untuknya. "Di depan, masih markirkan mobil," jawab bang Sofian. Semua orang kecuali aku dan perias pergi menghambur melihat tamu itu. Aku tidak antusias sama sekali, lututku bahkan lemas, jantungku dag Dig dug tak menentu. "Wah, Ai. Mobil orang itu bagus banget. Mobil Strada nampaknya," seru mbak Sum ketika kembali ke kamar. Aku mengintip dari celah pintu keadaan di luar kamar. Kehebohan terdengar dari ruang bar, beberapa PSK terdengar berteriak kegirangan, bahkan tamu-tamu yang datang malam ini tidak mereka hiraukan. Aku tidak jelas siapa sosok yang membuat kehebohan tersebut karena terhalang oleh kerumunan para PSK, namun aku melihat sekilas sosok Samadin dan Rozak yang juga berada bersama mereka. Mereka duduk di sofa di dekat ruang kamar yang kutempati sekarang. Mbak Sum mendorongku keluar, namun karena tempat itu tampak penuh
Tiga Minggu tidak bertemu dia tampak sedikit berubah, biasanya dia akan mencukur rambutnya dengan rapi dan klimis, namun kini rambutnya yang hitam lebat itu panjangnya menutupi telinga, poninya yang dibiarkan menutupi dahinya sampai ke alis, dan ada apa dengan suaranya? Aku tidak mengenalinya dari belakang karena suaranya, kenapa menjadi serak? Apakah dia sakit? Melihatnya ada di hadapanku dengan jarak hanya dua meter, membuatku ingin menjerit memanggil namanya dan memeluknya erat, namun tindakan itu hanya ada di khayalan semata, kenyataannya tubuhku terasa beku. Aku hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tatapan kami bertaut, aku tidak bisa mengartikan tatapannya, tetapi tatapan itu begitu hangat. Tak kuasa kubendung cairan bening di mataku, aku merindukannya. Seperti mimpi rasanya melihatnya ada di hadapanku sekarang, aku sering memimpikannya, aku meremas jariku mencoba membangunkan kesadaranku sehingga aku sadar bahwa ini adalah realita.Tiba-tiba suasana menjadi hening, tak
Aku segera membuka dompet itu, ada cukup banyak lembaran biru, aku mengambil tiga lembar dan segera keluar kamar.Di lobi motel kulihat beberapa pegawai motel yang tengah bersantai menonton tivi. Aku meminta tolong pada salah satu pegawai untuk membelikan nasi soto atau nasi sop daging dua porsi, aku yakin tuan Hasan belum makan malam, juga memintanya membelikan obat batuk dan flu serta obat pereda demam.Pegawai hotel sepertinya profesional, mereka tidak terlalu kepo dengan hubungan kami, dia melayani kami dengan sangat baik sebagai tamu.Aku kembali ke kamar selagi menunggu pesanan, kulihat tuan Hasan sudah tertidur, namun tidurnya tampak gelisah, suara dengkurannya terdengar tersendat, mungkin karena tenggorokannya berdahak dan hidungnya mampet sehingga tidurnya tidak bisa nyenyak.Aku hanya memperhatikan dia dari tepi ranjang, kulihat di dahinya terdapat bintik keringat sebesar biji jagung, apakah dia benar-benar kesakitan? Aku hanya berani memandanginya, tidak berani menyentuhnya
Sepanjang jalan aku selalu memikirkan bagaimana jika sampai rumah besar? Apa yang akan terjadi jika bertemu dengan Mamak dan semua penghuni rumah besar? Apakah akan heboh? Mengharu biru atau bagaimana? Setelah sampai rumah, sebagian sesuai dengan prediksiku, Mamak memelukku dan menangis hingga meraung. Setiap bagian tubuhku dia teliti dengan seksama membuat dadaku semakin sesak, aku yakin dia pasti sangat kuatir, aku juga mendengar ketika aku hilang, Mamak sangat shock hingga harus di rawat di rumah sakit sampai empat hari. Mamak bahkan bersimpuh di hadapan tuan Hasan, mengucapkan terima kasih tak terhingga, membuat laki-laki itu terasa jengah, dia segera meraih tubuh Mamak agar berdiri. Bu Halimah, Ayuni dan pak Seno mengucapkan rasa syukur dengan tulus, mereka bahkan satu persatu memelukku. Tuan Burhan dan Haris hanya menontonku, sedangkan Wulan terlihat acuh tak acuh. Kudengar Sasya sudah pergi ke Jakarta selepas EBTANAS, dia akan melanjutkan kuliah di sana. Malam hari kami kumpu
Sudah lima bulan aku berada di Kuala Tungkal, tempat ini sungguh bersahabat, aku memiliki banyak teman di sini, mereka welcome menerimaku dengan tangan terbuka. Mungkin karena daerah pinggir laut, sehingga kulit mereka eksotis satu server denganku, sehingga kami merasa tidak ada perbedaan. Selepas pulang sekolah, teman-temanku akan mengajakku ke pinggir hutan bakau, atau ke pantai yang pasirnya hitam untuk mencari kerang laut, kepiting atau gurita. Aku suka berada di sana, walau selalu berjemur matahari hingga warna rambutku yang hitam berubah kemerahan, serasa menyatu dengan alam. Walau rasanya ada yang sudut yang kosong di hati ini, entah itu apa, tapi ketika memandang garis pantai, aku seolah melihat seluet bayangan lelaki itu berdiri di tepi laut. Pak Seno juga sering membawaku memancing dengan kapal nelayan ke tengah laut, mendapatkan ikan kakap yang cukup besar membuatku ketagihan ingin melaut. Pak Seno orang yang mandiri, di rumah dia juga sering membantu mengerjakan pekerjaan
Sesudah makan malam, Ayuni mengajakku ke kamarnya untuk mempersiapkan pakaian yang akan dibawa liburan ke rumah abangnya, aku membantunya menyusun pakaian di koper, dia dengan riang bercerita tentang prestasinya di kelas yang menduduki rangking 3. Dia menyayangkan aku sekolah jauh darinya sehingga tidak bisa lagi mengajari matematika.Ayuni memintaku tidur bersamanya malam ini, hingga Bu Halimah datang mengetuk pintu kamar."Ayuni, kau sudah tidur?""Belum, Bu. Ada apa?" katanya sambil membuka pintu kamar."Oh, ada Aina juga di sini?" kata Bu Halimah setelah melihatku ada di kamar Ayuni."Ayo, turun. Itu abangmu pulang," lanjut Bu Halimah."Abang? Abang siapa? Abang Haris?" Seru Ayuni dengan mata berbinar."Bang Hasan," jawab Bu Halimah."Ha?"Ayuni begitu terkejut, begitu juga denganku. Dia segera berlari ke lantai satu, aku dan Bu Halimah mengikutinya."Bang Hasan! Kenapa Abang pulang?" pekik anak itu sambil memeluk abangnya."Kenapa? Kau tidak suka Abang pulang?""Aku berencana aka
"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya mengawali obrolan kami."Baik," jawabku singkat."Apakah kau dapat ranking di sekolah?""Yah, Alhamdulillah dapat juara umum di sekolah," jawabku masih dalam mode malas, aku sebenarnya ingin sekali mengakhiri perbincangan ini agar perasaanku tidak terjebak terlalu jauh. Namun sisi hatiku yang lain menahanku agar selalu menempel dengan pria ini, merasa ini adalah kesempatan langka yang mungkin tidak akan aku dapati lagi di masa depan."Sudah kuduga, kau gadis yang pintar dan juga gadis yang mandiri, aku lega melihatmu hidup dengan baik," ujarnya dengan nada yang masih lembut, bibirnya tersenyum ceria, binar di matanya, membuatku tak kuasa menatap.Bibirku bergetar mendengar ucapannya yang seperti sebuah nada indah, ucapannya di teligaku terasa seperti sebuah pujian, sanjungan dan perhatian khusus. Hati, biarkan aku menikmati sebentar momen ini, tak mengapa jika di hati lelaki ini sama sekali tak tertulis namaku, seperti tekadku dulu waktu diselamatkannya
Sejak malam itu aku memang tidak pernah lagi berkomunikasi dengan tuan Hasan, karena ternyata siangnya dia harus melapor ke kantor gubernur dan pulang sangat larut, aku juga kembali tidur di paviliun.Pagi-pagi sekali mereka pergi ke Jakarta diantar oleh pak Seno sampai bandara, aku hanya menyaksikan kepergian mereka dari balkon lantai atas, karena aku tengah membersihkan ruangan itu. Sebelum masuk mobil, kulihat tuan Hasan celingukan seperti mencari sesuatu, hingga ketika matanya mendongak ke atas, aku tak bisa mengelak dari tatapannya. Lama tatapan kami bertaut dari jauh, jika aku tidak menyadari statusku dan dia, mungkin aku akan menduga jika dia keberatan meninggalkan aku."Abang! Cepat nanti kita ketinggalan pesawat!"Hingga panggilan keras Ayuni menyadarkannya dan menaiki mobil, namun kaca jendelanya tetap dibuka, tatapannya masih mengarah padaku. Tanpa sadar aku melambaikan tangan padanya, hingga dia membalas melambaikan tangan dan tersenyum penuh misteri.Sebelum libur berakh