POV Aina Ha! Ini lucu, siapa yang barusan bilang dia sangat merindukanku? Sepertinya Dimas tidak bisa melupakan pacar cantiknya ini. Lihatlah gadis itu? Sekarang ada di sana, duduk berdekatan dengan Bu Arumi, keduanya tampak akrab.Gadis itu menatap kami dengan tercengang, mungkin dia merasa tidak yakin siapa yang berdiri di samping kekasihnya kini, atau dia tidak percaya bahwa aku mengenal keluarga Dimas, bukankah selama ini dia terlalu meremehkanku? Aku sebenarnya tidak membencinya, juga tidak ingin berurusan dengannya, namun melihat tingkahnya yang pura-pura polos seperti putri salju, sementara teman-temannya bertingkah seperti kawanan serigala membuatku sedikit muak."Wah, ada Aina di sini? Tante, beneran ya Aina itu sepupu Dimas?" Suara yang mencicit sok lugu itu membuatku sedikit muak."Oh, bukan. Aina itu anak sahabat Ayah Haikal, dia putrinya om Seno," jawab Bu Arumi membuatku sedikit lega, Bu Arumi tidak mengungkapkan jika aku hanya putri angkatnya."Duh, senangnya di datang
Aku memperhatikan pemuda yang tengah tersenyum dengan kalem, wajahnya mirip Bu Halimah, karena Bu Halimah perempuan yang cantik, pemuda itu juga tampan. Pasti ini yang dibilang pak Seno anak angkatnya. "Halo, Tuan. Saya Aina, pembantu di sini," ujarku sambil mengulurkan tangan. Pemuda itu tidak membalas salamku, dia justru menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Assalamualaikum, Aina. Aku Syarif Fasha. Panggil saja aku bang Syarif." Aku segera menarik tanganku yang menggantung, rasanya malu tanganku tidak disambut. Pemuda ini sungguh alim, aku tidak menyangka anak yang tamat dari perguruan tinggi negeri bisa sangat alim seperti baru saja keluar dari pondok pesantren. "Oh, walaikumsalam, Bang." "Oh ya, Ai. Kudengar dari mamakmu, kau tengah mencari pekerjaan untuk biaya kuliah?" tanya Bu Halimah. "Iya, Bu." "Sudah dapat?" "Belum sih, Bu. Cuma ada panggilan jadi SPG di Ramayana plaza, Bu." "Em, bagaimana kalau kau kerja sama Syarif saja? Dia tengah mencari orang untuk menja
Sampai lokasi yang dituju hari sudah mulai petang, pinggangku rasanya sakit menempuh perjalanan selama empat jam mengendarai motor dengan kondisi jalan yang buruk. Hampir sepanjang jalan yang kami lalui berupa hutan, kebun karet dan kebun kelapa sawit yang baru ditanam.Motor bang Syarif berhenti di sebuah tempat yang terdiri dari rumah-rumah kayu yang berbentuk panggung. Ada sekitar dua puluh unit rumah di sini, karena hari sudah mulai petang, mereka menghidupkan lampu dari mesin diesel."Ini tempat tinggal para pekerja, kau lihat bangunan yang sedikit besar itu? Itu tempat kerjamu nanti, di sana dapur umumnya," kata Syarif sambil menunjuk sebuah bangunan berbentuk pendopo."Terus, di mana aku tinggal?" tanyaku."Di sana, bangunan yang sedikit lebih besar, di sana aku tinggal." Aku melihat apa yang ditunjuk oleh pemuda itu sambil mengernyit tidak puas."Apakah aku akan tinggal serumah dengan Abang?""Iya, di sana ada dua kamar, kau bisa menempati kamar satunya.""Bangunan yang mirip
"Eh? Kamu yang ada tempat Sofian waktu itu, kan?" seru lelaki itu bersemangat.Aku tercekat mendengar pertanyaannya, tidak menyangka akan bertemu lelaki mesum ini di sini, tenggorokan tiba-tiba terasa kering, melihat kembali lelaki ini di depanku rasanya kejadian horor itu terulang kembali. Syarif dan lelaki satunya tampak bingung dengan perkataan lelaki itu."Sofian? Sofian yang di Bukit Cinto itu, Pak?" tanya lelaki empat puluhan di sebelah lelaki itu, tatapan lelaki ini tampak menjijikan, pandangannya memindaiku dari kepala sampai kaki."Yah, Sofian mana lagi? Kamu juga sering kan ke Bukit Cinto?" cibir lelaki itu."Sebenarnya apa yang Bapak-Bapak bicarakan?" Akhirnya Syarif menanyakan, aku tahu dia juga penasaran.Syarif tidak tahu apa-apa dengan masalah yang kualami, kami bertemu juga baru empat hari, aku tidak tahu bagaimana reaksinya jika mengetahui kejadian yang menimpaku, tapi aku percaya dengan kepribadiannya dia tidak akan merendahkan aku."Oh, tidak apa-apa, Pak Syarif. S
"Yang bener?""Iya, makanya bini aku kutinggal di Medan sana, kasihan kali la kau ini, bini pakai diajak segala, mati kutulah kau." Lagi-lagi kelakarnya membuat semua tertawa. "Wah, pantasan pak Syarif menyimpan dia untuk diri sendiri," balas yang lain "Diam! Tidak pantas kalian menjelekkan atasan kalian seperti itu!" Bentakku Aku benar-benar marah, melengos dan sedikit berlari bergegas ke arah lapangan. Kudengar suara-suara di belakangku tampak marah, mereka mengejek, bahkan menghina."Dasar cewek gak tahu diri, sudah mending kutawarkan diri.""Jelek saja belagu!""Sudah wajahnya jelek, kelakuannya jelek juga.""Gak ada sopan-sopannya, kita ini kan atasannya dia."Walau aku tidak menghiraukan perkataan mereka, tetapi telingaku tetap mendengarnya dan itu membuatku sedikit sakit hati. Gara-gara si mesum Herman, semua orang memandang diriku sekarang, jika hanya aku saja yang dihina masih bisa kuterima, tetapi ini membawa-bawa bang Syarif yang tidak tahu apa-apa, jelas aku tidak terim
Sudah seminggu sejak peristiwa malam baku hantam, kini keadaannya kembali damai. Walau hasilnya bang Syarif memarahiku lantaran dia tahunya aku tebar pesona sama Azhari dan Jefri yang menyebabkan kedua pemuda itu baku hantam memperebutkan aku. Walau semua itu tidak benar, tapi ya mau tidak mau aku mengakui saja, aku justru takut dia mendengar bahwa semua bawahannya tengah menyebar fitnah tentang dirinya dan berusaha melawannya, aku gak mau saja dia sedih. Yah, walau di belakang banyak orang yang menertawakan pernyataan pak Suyono, memperebutkan Aina? Heh, orang bodoh juga akan tahu kalau itu ngarang. Tapi Azhari acuh tak acuh terhadap berita itu, dia masih saja nempel denganku ketika pulang kerja, kalau Jefri melihatku dari jauh saja sudah jijik. Bang Syarif jarang berada di lokasi perkebunan sekarang, dia kadang akan dinas luar mengurus surat-surat legalitas perusahaan atau melobi perusahaan lain untuk bekerja sama. Dia keluar biasanya akan ditemani pak Faisal, sehingga pekerjaan in
Dalam keadaan linglung, tak kusangka lelaki itu berlari ke arahku dan Dengan kekuatan penuh memeluk tubuhku, sepenuhnya aku tenggelam dalam dekapannya."Aina! Tidak aku sangka aku akan bertemu denganmu di sini."Aroma tubuh lelaki itu begitu segar tercium, samar-samar juga tercium bau mint dan nikotin di bajunya. Aku berusaha melepaskan dekapannya, diapun melonggarkan tangannya dan menatapku hangat. Setelah dekapannya terlepas, aku menatap sekitar dengan perasaan jengah dan malu, sekeliling menatap kami berdua dengan tatapan heran, mulut Amran bahkan menganga. Kami kini bisa dikatakan tinggal di desa, berpelukan di depan umum masih sangat tabu. Apalagi yang memelukku seorang pemuda gagah, sedang aku hanya gadis jelek, orang-orang pasti akan mengatakan jika pemuda ini sudah buta matanya.Yah, dia memang tampak gagah sekarang, sikap slenge'annya sudah bertransformasi lebih dewasa, penampilannya seperti coboy Amerika, badan dan ototnya bertambah kekar, orang tidak akan menyangka jika pem
"Di mana saja kamu berada sepertinya ada saja penggemarmu ya?" kata laki-laki itu menyindirku."Apa maksudmu?" Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia maksudkan, sebenarnya tahu, cuma ya pura-pura gak tahu saja, memangnya aku sebego itu?"Bisa tidak kau tidak terlalu akrab bergaul dengan lelaki?" "Loh memangnya kenapa?"Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah mencubit pipiku dengan gemas, aku tentu saja melawan, cubitan itu sangat sakit."Di sini jarang ada perempuan yang sebaya denganku, apa salahnya jika aku berteman dengan para pria," ujarku."Tidak ada yang salah, cuma aku tidak suka kalau kau terlalu akrab, nanti mereka akan salah paham.""Maksudmu mereka naksir padaku? Aneh sekali pemikiranmu, mereka juga laki-laki yang masih waras, mana mungkin suka denganku." aku terkekeh menanggapi perkataannya."Aina! Kenapa kau kalau dibilangin suka ngeyel? Aku hanya mengkuatirkan kamu," ujarnya dengan mimik wajah kesal."Oh, mengkuatirkan aku? Oke deh aku terima, asal jangan saja kau cem