Accueil / Romansa / Di Balik Taruhan Cinta / Bukan hantu, tapi Istriku

Share

Bukan hantu, tapi Istriku

last update Dernière mise à jour: 2025-04-27 21:15:29

Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.

Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.

Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.

Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas.

"Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.

Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar.

"Ya sana."

Dean mendecak.

"Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."

Davin akhirnya melirik sekilas, malas.

"Deannnn..."

Nada suaranya datar, mengandung ancaman halus.

Dean ngakak pelan, masuk sedikit ke dalam ruangan.

"Serius nih, gue balik. Ayang gue udah nge-spam 30 chat. Bentar lagi dia telepon berdering kayak sirine."

Dia pura-pura nunjuk jam tangannya.

Davin mendengus pendek, lalu mengetik lagi tanpa menanggapi.

Dean nyengir makin lebar, masih belum puas ganggu.

"Eh, Vin... jangan lupa yaa, bini lo tuh perlu diangetin. Jangan kayak patung es."

Davin mengetukkan jari ke meja pelan, menahan diri.

"Bacot," gumamnya tanpa ekspresi.

Dean tertawa puas, lalu melambai seolah mau pamit.

"Yaudah, gue cabut. Inget yaaa, kalo istri lo kabur, salahin diri lo sendiri."

Dia nyengir, setengah kabur sebelum Davin lempar stapler.

"PERGI, Dean," bentak Davin dengan suara rendah tapi penuh tekanan.

Dean meletakkan tangan di dada, sok drama.

"Siap, Tuan Davin yang terhormat!" katanya konyol.

BRAK.

Pintu ditutup buru-buru sebelum benda apa pun melayang ke arah kepala Dean.

Davin menghela napas berat.

Dalam sepi itu, ia kembali tenggelam dalam layar laptop... hingga beberapa menit kemudian,

tok tok tok

... suara ketukan lain terdengar.

Davin mengerutkan kening.

Males banget kalo Dean balik lagi cuma buat ngelawak.

"Masuk, Dean," katanya, malas.

Tapi...

tak ada jawaban.

Tak ada suara langkah.

Hening.

Davin mendongak, curiga.

Wajahnya mulai berubah serius.

Ia bangkit dari kursi, melangkah ke pintu dan membukanya perlahan.

Begitu pintu terbuka, jantung Davin seperti berhenti berdetak.

Seseorang berdiri di ambang pintu—seorang perempuan bergaun putih, rambut panjang kusut menutupi wajah, tubuhnya gemetar. Seperti... hantu dari film-film horor.

Davin refleks mundur selangkah.

"What the hell?" batinnya.

Namun sebelum sempat menutup pintu, sosok itu bergumam lirih.

Suara serak, hampir tak terdengar.

"Saya... lapar..."

Mata Davin membelalak.

Aleya.

Itu Aleya.

Istrinya.

Butuh beberapa detik bagi otaknya untuk memproses semuanya.

Biasanya, gadis itu harus dibujuk setengah mati untuk makan. Tapi kini—dia sendiri yang minta?

Davin mengerjap. Sejenak, ada keinginan egois untuk membiarkan pintu itu tertutup kembali, mengabaikan semua ini. Tapi entah dorongan apa, tangannya malah terulur, menarik pelan tangan Aleya.

"Ayo," katanya pendek.

Aleya menuruti tanpa kata. Langkahnya lemah, seperti boneka rusak.

Davin menariknya menuju dapur, jalan mereka hanya diterangi lampu temaram lorong.

Sampai di dapur, Davin membuka kulkas dengan satu tangan, matanya menyapu isinya dengan ekspresi malas.

"Mau makan?" tanya Davin datar.

Aleya diam. Hanya berdiri mematung, memeluk tubuhnya sendiri.

Davin mendesah pelan, mengambil semangkuk sup yang sudah dimasak Bi Suri tadi siang. Ia memanaskannya cepat, lalu meletakkan semangkuk sup hangat di depan Aleya.

"Makan," perintahnya pendek.

Tapi Aleya tidak bergerak. Ia hanya menunduk, sesekali mengusap pergelangan tangannya yang memar.

Davin hampir kehilangan kesabaran.

"Aleya, makan."

Nada suaranya meninggi sedikit.

Masih tak ada respon.

Hanya bisikan kecil yang keluar dari bibir Aleya.

"Tanganku... sakit."

Davin terdiam.

Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan betul kondisi Aleya.

Memar biru di pergelangan tangan, goresan merah di lengan.

Bekas luka kecil di sudut bibir.

Sialan.

Davin merutuk dalam hati. Sejak kapan dia menjadi begitu abai?

Mendadak perasaan bersalah menghantamnya, keras, seperti pukulan telak di ulu hati.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Davin duduk di hadapan Aleya.

Dengan tangan yang sedikit kaku, ia meraih sendok.

"Aku suapi," katanya singkat.

Aleya masih menunduk, tak menolak, hanya membiarkan sendok itu masuk ke mulutnya.

Melihat rambut Aleya yang berantakan, mengganggu gerakannya saat makan, Davin mendecak pelan. Ia berdiri, berjalan ke rak kecil, mengambil karet rambut seadanya, lalu kembali ke hadapan Aleya.

Perlahan, penuh kehati-hatian yang aneh baginya, Davin mengikat rambut Aleya ke belakang.

"Kalau rambutmu berantakan begini, susah makan," gumamnya pelan.

Tangan Davin canggung, gerakannya kaku, tapi tetap telaten.

Setelah itu, dia kembali menyuapi Aleya satu sendok demi satu sendok.

Tak ada kata-kata lain.

Tak ada suara selain detik jam dinding dan bisik malam.

Setelah beberapa suapan, tubuh Aleya perlahan mulai merosot ke sisi Davin.

Tanpa sadar, kepala gadis itu bersandar ke bahunya.

Davin menegang.

Refleks ingin menggeser diri, tapi entah kenapa... tubuhnya malah membeku.

Dalam diam, ia membiarkan Aleya bersandar.

Malah, tangan kanannya perlahan mengelus pelan punggung Aleya, gerakan yang sangat jarang dilakukan oleh seorang Davin Velizan Alviano.

Ia lupa pada tumpukan laporan yang belum selesai.

Ia lupa pada waktu.

Di sudut dapur, dua kepala mengintip—Bi Suri dan Dean–belum jadi pulang karena tadi membantu bi Suri kebingungan mencari Aleya, wajah mereka penuh ekspresi tak percaya.

"Astaga... Tuan Davin...?" bisik Bi Suri setengah histeris.

Dean menahan tawa kecil.

"Kayaknya, Tuan Davin mulai... luluh, ya?"

Keduanya buru-buru pergi, membiarkan dua orang itu tetap dalam dunia kecil mereka sendiri.

Di dapur yang sepi itu, Davin hanya menatap ke depan.

Tangannya mengelus rambut Aleya yang kini tertidur di pangkuannya.

Dingin dan diam, tapi penuh kehangatan tersembunyi yang bahkan dirinya sendiri belum sadar.

"Gila... apa yang terjadi sama gue?" batinnya pahit.

Namun, ia tidak bergerak sedikit pun.

Biarlah.

Untuk malam ini saja.

Davin melirik jam dinding.

Sudah lewat jam dua pagi.

Aleya, dengan napas teratur, masih bersandar di dadanya.

Davin menatap ke bawah, memperhatikan wajah Aleya yang tenang dalam tidur.

"Kenapa kamu bisa kayak gini..." gumamnya, hampir tak terdengar.

Dia tak berharap jawaban.

Davin hanya menghela napas panjang, seolah membuang sesuatu yang berat dari dadanya.

Pelan-pelan, tanpa membangunkan Aleya, dia meraih jaket yang disampirkan di kursi dapur dan menyelimuti tubuh gadis itu.

Tangan Aleya bergerak sedikit, meremas baju Davin tanpa sadar.

Seperti mencari sesuatu...

Mencari kehangatan.

Refleks, Davin mengencangkan dekapannya.

"Saya di sini," bisiknya pelan.

Meski dia sendiri heran, kenapa bisa kalimat itu lolos dari bibirnya.

Beberapa menit berlalu dalam hening.

Davin hampir terlelap saat mendengar Aleya bergumam pelan.

"Saya takut..."

Davin menunduk.

Aleya masih tidur, mungkin berbicara dalam mimpi.

Namun, suaranya... terdengar begitu rapuh.

Davin mengelus pelan puncak kepala Aleya.

"Kamu aman di sini," jawabnya pendek, suaranya dalam dan berat.

Lagi-lagi, gestur kecil dari Aleya membuat hatinya aneh.

Gadis itu menggenggam erat kemeja Davin, seperti takut ditinggalkan.

Davin diam.

Dia menahan gerakannya, membiarkan waktu berjalan lambat.

Tak lama, langkah cepat terdengar di lorong.

Dean muncul sambil membawa selimut tebal.

"Ini, Tuan," bisiknya setengah takut, meletakkan selimut di meja.

Davin hanya melirik singkat.

"Matikan semua lampu, kunci pintu."

Dean mengangguk cepat, lalu menghilang lagi.

Dalam sekejap, hanya lampu kecil di sudut dapur yang menyala, melemparkan bayangan lembut di wajah mereka berdua.

Davin membetulkan posisi Aleya, menarik selimut menutupi tubuh gadis itu dengan hati-hati.

Sambil bersandar di dinding dapur, Davin menatap langit-langit.

Kepalanya penuh pertanyaan.

Sejak kapan dia... bisa seperti ini?

Bahkan hatinya yang selama ini keras seperti baja, kini terasa lunak.

Hanya karena satu gadis kecil, satu bisikan lirih, satu genggaman tangan.

"Aleya..." bisiknya.

Gadis itu menggumam dalam tidurnya, memanggil sesuatu yang tak terdengar jelas.

Davin tersenyum tipis.

Bukan senyum sinis yang biasa, melainkan senyum samar... yang bahkan ia sendiri tak sadari.

Untuk malam ini, semua tentang dunia, bisnis, dan ego ditinggalkan.

Untuk malam ini, dia hanya ingin tetap di sini.

Menjadi tempat pulang yang hangat, meski ia belum tahu caranya.

Dan, saat subuh hampir menjelang, Aleya bergumam lagi—lebih jelas kali ini.

"Jangan tinggalin Leya..."

Tubuh Davin menegang.

Matanya yang biasa dingin mendadak berkabut.

"Saya nggak kemana-mana," jawabnya pelan.

"Saya di sini."

Aleya meringkuk lebih dekat ke dada Davin, napasnya tenang.

Malam itu, tanpa banyak kata.

Tanpa banyak janji.

Davin mulai menyadari satu hal:

Mungkin... dia sudah jatuh terlalu dalam tanpa sadar.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
wkwkwk lucu bangetttt bab ini agak kaget dikit
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

  • Di Balik Taruhan Cinta   Luka Aleya

    Langit mulai gelap ketika Davin Velizan Alviano akhirnya pulang dari kantor pusat. Jas hitamnya masih tersemat rapi, tapi wajahnya penuh lelah. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena... dia belum bisa berhenti memikirkan gadis itu."Aleyya Calisha Daryan."Nama itu menghantui pikirannya, bahkan saat rapat pemegang saham, bahkan ketika dia duduk di belakang kemudi mobil mewahnya. Luka gadis itu terlalu dalam. Terlalu sepi. Terlalu... memanggil sisi manusia dalam dirinya yang selama ini dia kunci rapat-rapat.Begitu melangkahkan kaki di dalam mansion, langkah Davin langsung mengarah ke kamar Aleya. Wajahnya tegang, berharap menemukan gadis itu tertidur atau setidaknya duduk diam seperti biasanya.Tapi kamar itu kosong.Ranjang rapi. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Aleya.“Bi Suri!” suara Davin meninggi, dingin dan tajam seperti biasa.Bi Suri datang tergopoh, tubuh tuanya gemetar. “I-itu... nona... nona di taman, T-tuan...”“Kenapa tidak kau bilang lebih awal?!”“S-saya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Lio Kabur

    “Aleya, apakah kau menggapku suamimu?” gumam Davin pelan.Dan tanpa menjawab pertanyaan itu sendiri, Davin Velizan Alviano melangkah pergi—meninggalkan satu jiwa yang hancur perlahan di rumahnya sendiri.Namun, malam itu, untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan mereka, langkah Davin terasa lebih berat dari biasanya. Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan lampu gantung modern berdesain hitam matte, lalu duduk di kursi kulit yang dibuat khusus dari Italia.Ia memandangi jendela, tapi pikirannya tak bisa diam. Wajah Aleya Calisha Daryan terus muncul. Wajah pucat, mata sembab, suara yang hilang entah ke mana, dan luka-luka tak terlihat yang kini menumpuk di bawah atap miliknya.Di luar, angin mengoyak tirai dan mengusik ketenangan malam. Tapi di dalam pikirannya, badai jauh lebih liar.Davin Velizan Alviano.Nama yang menggetarkan banyak pengusaha kelas atas dan pejabat tinggi. Di usia 30 tahun, lelaki itu sudah memegang lima anak perusahaan yang tersebar di bidang properti, perhot

  • Di Balik Taruhan Cinta   Davin Mulai Iba

    Langit mendung menggantung saat mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang mansion milik Davin Alvaro. Rumah dengan arsitektur modern itu berdiri megah, namun hari ini terasa dingin. Begitu juga dengan hati pria yang berdiri di ambang pintu, menyaksikan seorang gadis bertubuh mungil dituntun masuk oleh dua pengawal pribadinya."Aleya Daryan," gumam Davin pelan.Gadis itu tidak bicara. Langkahnya terhuyung, tubuhnya menegang ketika salah satu pengawal menyentuh bahunya. Matanya liar, seperti hewan buruan yang terpojok. Ia sempat meronta kecil, lalu kembali pasrah saat melihat Dean berdiri di dekat tangga.“Dia seperti... pecahan kaca,” gumam Dean sambil melipat tangan di depan dada. “Dan lo nggak tahu cara megang pecahan kaca, Vin.”Davin tidak menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada sosok Aleya yang kini berdiri di tengah ruang tamunya. Gadis itu memeluk tubuh sendiri, seperti takut disentuh udara. Kepalanya tertunduk. Rambut panjang yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.Hen

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status