Share

Jeritan Aleya

last update Last Updated: 2025-04-25 13:23:16

Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu.

Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang.

"Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan.

Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan.

"Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas," ucap Dean pelan, mencoba mendekat.

"Dia terus menolak, Mas Dean... saya sudah coba segalanya..." Bi Suri nyaris menangis.

Dean menarik napas panjang. Matanya menatap Aleya yang tubuhnya hanya dibalut kaos kebesaran dan selimut tipis. Matanya kosong, tapi ada ketakutan yang nyata di sana. Luka itu... bukan luka biasa.

Suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Pelan, berat, namun berwibawa. Semua orang langsung menoleh. Hanya satu orang yang bisa membuat seisi rumah mendadak sunyi seperti dikunci waktu—Davin Velizan Alviano.

Pria itu turun dengan ekspresi datar, jas hitam tersemat sempurna di tubuh tegapnya, rambut sedikit acak tapi tetap tampak berkelas. Matanya yang dingin menatap Aleya sekilas, lalu pada Dean.

"Urus dia. Berisik," ucap Davin tanpa ekspresi. Nada suaranya datar, nyaris seperti robot.

Dean ingin protes, namun hanya bisa mengangguk. Bukan karena takut, tapi karena tahu, saat seperti ini, Davin sedang memasang dinding terkuatnya.

Tanpa berkata lebih, Davin keluar rumah. Mobil sedan hitamnya sudah menunggu. Saat pintu terbuka, ia masuk tanpa sepatah kata. Sopirnya tahu, hari ini bukan hari yang baik.

---

Di perjalanan menuju kantor, Davin hanya menatap ke luar jendela. Jalanan ibukota yang sibuk seolah tak mampu mengalihkan pikirannya.

"Ruang gelap, suntikan... bekas pasung..." gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Bayangan Aleya semalam kembali menari di benaknya. Tubuh kurus itu, pelukan lemah yang memohon perlindungan, dan bisikan ketakutan yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada yang salah.

Dan ia benci merasa peduli.

Sampai di kantor, Davin langsung menuju lantai tertinggi. Karyawan yang melihatnya segera menunduk, tak berani menyapa. Mereka tahu, jas hitam dan ekspresi kosong berarti sang CEO sedang berada dalam mode tak tersentuh.

Dean sudah menunggunya di ruang rapat dengan setumpuk dokumen dan laptop menyala.

"Laporan investigasi tambahan sudah saya siapkan. Termasuk data internal perusahaan Lio Daryan," ujar Dean, berdiri sambil menyerahkan map.

Davin mengambilnya tanpa bicara, membuka satu per satu dengan teliti. Tatapannya tajam, membaca cepat, namun penuh ketelitian.

"Dan ini... file pribadi Aleya. Saya dapatkan dari backup sistem lama. Seseorang jelas sengaja menghapus semua jejak dia dari struktur resmi Daryan Group."

"Kenapa?" hanya satu kata. Dingin.

"Saya belum tahu pasti. Tapi ada indikasi manipulasi data. Bahkan ijazah dan sertifikat akademiknya dihapus dari sistem kementerian. Seolah dia... nggak pernah kuliah."

Davin mendesis pelan. Tangannya mengepal.

"Sepertinya dia... lulusan universitas top luar negeri. Dengan nilai nyaris sempurna. Aleya seharusnya jadi penerus Daryan Group. Kemungkinan semua itu dikubur hidup-hidup... oleh kakaknya sendiri."

Davin tak menjawab. Matanya menatap layar komputer. File Aleya terbuka. Foto gadis itu saat masih remaja, tersenyum polos, dengan mata penuh harapan. Kontras dengan wajah yang ia lihat semalam—hancur, rapuh, tapi menyimpan sesuatu yang misterius.

"Lanjutkan penyelidikan. Jangan sampai ketahuan," perintah Davin singkat.

Dean mengangguk. "Baik."

Sementara itu, di rumah Davin...

Aleya mulai tenang. Tangisnya mereda, tubuhnya masih menyudut, tapi tak lagi melawan. Bi Suri berhasil menyuapkan tiga sendok bubur. Itu kemajuan besar.

Dean sempat menghubungi Bi Suri lewat pesan singkat. "Pastikan dia dijaga. Rekam jika dia bicara soal masa lalunya."

Aleya menatap langit-langit. Matanya sayu, namun ada percikan kecil dalam irisnya yang redup. Percikan yang entah kenapa... mengarah pada satu nama.

Davin.

---

Sore harinya, Davin masih tenggelam di ruang kerjanya. Tak peduli waktu makan siang terlewat, atau tubuhnya mulai pegal. Semua tergantikan oleh satu hal:

"Apa sebenarnya yang disembunyikan Aleya?"

Kalimat itu tak mau lepas dari benaknya. Ia bukan tipe pria yang mudah penasaran. Tapi Aleya… entah kenapa seperti teka-teki yang ingin ia pecahkan sendiri.

Dan saat satu lagi pesan dari Dean masuk—berisi rekaman suara Aleya siang tadi—Davin hanya duduk diam, mendengarkan kalimat lirih yang keluar dari rekaman itu.

"Kenapa semua orang pura-pura baik padaku, dan ... Siapa Davin?."ucapnya lirih

Yah, Aleya masih dalam tahap pemulihan, dengan namanya sendiri saja kadang lupa apalagi untuk seseorang baru seperti Davin?

Davin menatap layar. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia membiarkan satu hal tumbuh tanpa kendali.

Penasaran.

Dan... mungkin, sedikit rasa peduli.

---

Setelah pulang ngantor suara tangisan Aleya mereda perlahan. Dean menatap Davin, menunggu perintah lebih lanjut, tapi pria itu hanya duduk diam di meja makan dengan ekspresi keras dan dingin.

“Aleya sudah diberi obat penenang ringan, Tuan,” lapor Bi Suri pelan. “Tapi dia menolak makan apapun sejak pagi.”

Davin mengangguk tanpa suara, kemudian mengangkat gelas kopinya dengan tenang. Wajahnya tetap tanpa emosi, namun matanya menyimpan gelombang yang tak bisa ditebak.

“Beri dia waktu,” gumamnya pendek. “Dan kunci semua ruangan bawah.”

Dean mengerutkan dahi, heran. “Kenapa?”

“Jangan tanya. Lakukan saja.”

Dean menelan pertanyaannya dan segera berlalu.

Di lantai atas, Aleya terduduk di lantai kamar, tubuhnya gemetar, mata sembab dan suara napasnya pendek-pendek. Bekas luka di pergelangan kakinya semakin jelas. Ia mencoba merangkak ke sudut ruangan, menjauh dari siapapun yang hendak mendekat.

“Jangan… jangan bawa aku ke ruang gelap… aku janji nggak akan teriak lagi…” bisiknya dengan nada hampir tak terdengar.

Perlahan, suara itu menggema di kepala Davin yang baru saja menjejakkan kaki di ambang pintu.

Ia berdiri di sana, mematung.

Tak biasanya Davin mendengar suara ketakutan seperti itu. Dan entah kenapa, suara Aleya kali ini... membuat dadanya terasa sesak.

Ia berbalik sebelum Dean datang, lalu menyuruh semua pelayan menjauh. Tak ada yang boleh mengganggu. Termasuk dirinya sendiri.

“Tutup pintu. Biar dia sendiri.”

Dean kembali menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, tapi memilih diam.

---

Malam datang. Lampu-lampu di rumah besar itu padam satu per satu.

Di dalam kamarnya, Davin berdiri menghadap jendela besar. Angin malam menerpa wajahnya, tapi pikirannya tak tenang.

"Dia cuma beban," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. "Tapi kenapa...?"

Tiba-tiba suara tangis pelan dari kamar Aleya terdengar lagi. Tapi kali ini berbeda. Bukan jeritan. Hanya… tangis lirih yang terasa seperti panggilan.

Dan tanpa sadar, kaki Davin melangkah keluar.

Tangannya bahkan sudah menggenggam gagang pintu kamar Aleya... tapi berhenti.

Ia mendesah berat. Mata tajamnya menatap pintu itu lama.

“Jangan terlibat lebih jauh, Davin,” gumamnya pelan.

Dia harus menahan diri. Dia tidak suka membuat kekacauan termasuk soal perasaannya sendiri. Tapi... Tidak ada yang tahu takdir bukan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
Semakin seruuuuuu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status