Share

Davin Mulai Iba

last update Last Updated: 2025-04-21 17:05:14

Langit mendung menggantung saat mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang mansion milik Davin Alvaro. Rumah dengan arsitektur modern itu berdiri megah, namun hari ini terasa dingin. Begitu juga dengan hati pria yang berdiri di ambang pintu, menyaksikan seorang gadis bertubuh mungil dituntun masuk oleh dua pengawal pribadinya.

"Aleya Daryan," gumam Davin pelan.

Gadis itu tidak bicara. Langkahnya terhuyung, tubuhnya menegang ketika salah satu pengawal menyentuh bahunya. Matanya liar, seperti hewan buruan yang terpojok. Ia sempat meronta kecil, lalu kembali pasrah saat melihat Dean berdiri di dekat tangga.

“Dia seperti... pecahan kaca,” gumam Dean sambil melipat tangan di depan dada. “Dan lo nggak tahu cara megang pecahan kaca, Vin.”

Davin tidak menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada sosok Aleya yang kini berdiri di tengah ruang tamunya. Gadis itu memeluk tubuh sendiri, seperti takut disentuh udara. Kepalanya tertunduk. Rambut panjang yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.

Hening.

Tak ada suara. Tak ada sambutan.

Dan untuk pertama kalinya... Davin merasa rumahnya bukan miliknya sendiri.

---

Siang itu, semua pelayan dilarang berkeliaran di lantai dua. Dean sudah mengunci semua akses media agar kondisi Aleya tidak tersebar ke publik. Dokter pribadi dipanggil diam-diam. Tapi hasilnya tetap satu: Aleya belum bisa diajak komunikasi normal.

“Dia tidak cacat mental,” kata dokter wanita itu dengan pelan. “Tapi traumanya terlalu dalam. Dia butuh waktu.”

“Berapa lama?”

“Bisa enam bulan. Bisa setahun. Bahkan lebih.”

Davin mengusap wajahnya kasar.

“Dan selama itu, aku harus hidup dengan orang asing yang bahkan takut denger suara cowok?”

Dokter itu hanya diam. Dean melemparkan pandangan penuh peringatan.

“Jaga bicaramu, Davin. Dia istri lo sekarang.”

Davin berdiri, mengabaikan Dean. “Dia bukan istri gue. Dia... alat barter. Tawanan. Dan rumah gue bukan tempat rehabilitasi.”

“Tapi tetap aja dia jadi tanggung jawab lo.”

Pria itu berjalan cepat meninggalkan ruangan, membanting pintu keras.

---

Malamnya, Aleya mengamuk.

Dia membalikkan vas bunga di ruang tamu, memecahkan cermin di kamar mandi, dan menangis keras tanpa suara. Hanya isak dan tubuh yang menggigil.

Dean dan dua pelayan wanita mencoba menenangkan, tapi gadis itu menghindar. Bahkan saat Davin muncul, Aleya langsung mundur ke sudut ruangan, memeluk lutut dan berteriak.

"Jangan dekat! Jangan sentuh aku!" Suaranya serak, tapi penuh ketakutan.

Davin berdiri mematung. Pandangannya tajam, tapi napasnya berat.

“saya nggak akan nyentuh kamu,” ucapnya dingin. “Tapi jangan rusak rumah saya.”

Aleya mengerang, menutup telinga.

Seketika, Dean menarik lengan Davin keluar dari kamar.

“Lo harus belajar sabar.”

“Gue bukan orang sabar,” desis Davin.

“Lo juga bukan monster, Vin. Kalau lo mau pergi, pergi. Tapi jangan tambah trauma dia.”

Hening.

Kalimat itu menggantung di antara mereka. Dan malam itu, Davin tidur di ruang kerja. Sementara Aleya dikurung dalam kamar yang tidak ia kenal, dengan dada sesak dan pikiran yang tak mampu ia cerna.

---

Pagi hari, Davin terbangun karena suara ketukan pelan.

Dean membuka pintu, lalu masuk membawa secangkir kopi.

“Dia diem semalaman. Tapi sekarang nangis lagi. Ganti baju juga nggak mau.”

“Bawa psikolog,” sahut Davin sambil duduk dan membuka laptop.

“Psikolog butuh izin dari dia. Dia bahkan nggak mau liat cowok sama sekali.”

Davin menghentikan gerak jarinya.

“Gue mau keluar kota dua hari. Urusan saham. Lo jagain dia.”

Dean mengangkat alis. “Dan kalau dia ngelakuin hal gila? Atau... kabur?”

Davin menatap lurus.

“Pasang pengamanan penuh. Semua akses luar dimatikan. Dan jangan biarin siapapun tahu keadaan dia.”

Dean mengangguk. “Kalau dia bertanya... tentang lo?”

“Bilang aja gue sibuk. Dan gak minat pura-pura jadi suami yang peduli.”

---

Namun, sebelum Davin benar-benar pergi, langkahnya terhenti di depan kamar Aleya.

Ia menyentuh gagang pintu sebentar. Tak dibuka.

Hanya mendengar suara lirih dari dalam.

Tangisan.

Davin mengatup rahangnya. Jari-jari tangannya mengepal.

“Apa yang keluarga lo lakuin ke elo, Aleya?” gumamnya pelan.

Dan tanpa menjawab pertanyaan itu sendiri, Davin melangkah pergi—meninggalkan satu jiwa yang hancur perlahan di rumahnya sendiri.

Hari esoknya berjalan tanpa suara. Aleya masih menjadi makhluk asing di dalam rumah megah milik Davin. Ia tak menyentuh makanan, tak membalas sapaan, dan hanya hidup dalam diam yang menyesakkan.

Namun bukan berarti tak ada pemberontakan.

Beberapa kali, suara benda pecah terdengar dari dalam kamarnya. Kadang ia merobek semua baju di lemari. Kadang ia menyeret kursi dan menjatuhkannya ke lantai. Para pelayan tak berani mendekat—takut dengan sorot matanya yang kosong tapi membara.

Suri pernah mencoba menyisir rambut Aleya yang kusut.

Hasilnya, tangannya tergores oleh lemparan sisir kayu yang hampir kena pelipis.

“Dia kayak binatang terluka, Pak,” lapor Suri gemetar pada Davin. “Tapi... saya yakin dia cuma takut.”

Davin hanya mengangguk. Wajahnya kaku, tapi pikirannya tak tenang.

---

Malam kelima, ia kembali menemui Aleya yang duduk di pojok ruangan. Lampu dibiarkan mati, hanya temaram dari luar jendela. Di tangannya ada potongan kain—bekas gorden yang ia sobek sendiri siang tadi.

Davin berdiri beberapa langkah darinya.

“Saya tahu kamu takut,” ucapnya pelan, suara sangat hati-hati. “Tapi saya juga manusia, Aleya. Saya gak ngerti harus gimana kalau kamu terus kayak gini.”

Aleya tidak menoleh. Tapi tubuhnya menegang, tangan menggenggam erat kain sobekan itu, seolah itu pelindungnya satu-satunya.

“Saya gak akan sentuh kamu. Tapi... jangan sakiti diri sendiri. Tolong.”

Untuk pertama kalinya, Aleya bereaksi. Ia membuang kain itu ke lantai dan memeluk lututnya sendiri, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan ibu.

Air matanya jatuh. Masih tanpa suara.

Dan malam itu, meski belum ada kata, Davin duduk di lantai, diam di kejauhan. Menemani dalam senyap.

---

Pagi harinya, suara gaduh kembali terdengar. Kali ini dari dapur. Aleya mengamuk, melempar sendok ke arah pelayan yang mencoba menyentuh lengannya. Ia berteriak, meski tak jelas apa yang ia ucapkan. Seolah suaranya sendiri pun asing bagi dirinya.

Davin muncul dengan langkah panjang. Para pelayan langsung mundur.

“Aleya.” Suaranya tegas.

Gadis itu menoleh cepat. Nafasnya memburu. Tangannya terangkat seolah siap melawan.

“Tenang,” lanjut Davin, dengan nada lebih rendah. “Saya di sini. Gak akan nyakitin kamu.”

Aleya mematung. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Lalu... ia menangis. Keras. Tersedu seperti bayi yang dibuang.

Tanpa berpikir panjang, Davin menariknya ke dalam pelukan.

Aleya memberontak. Memukul dadanya. Menendang kakinya. Tapi Davin hanya menahan. Tak membalas, tak melepas.

“Ssshh... cukup. Saya tahu kamu capek. Saya tahu kamu takut,” bisiknya di telinga Aleya.

Tangisan itu perlahan berubah jadi isak pelan.

Davin tetap memeluknya. Meski bajunya basah karena air mata. Meski tubuhnya lebam karena tendangan. Ia tahu, ini bukan tentang dia. Ini tentang luka yang tak pernah sembuh, yang dipendam terlalu lama.

---

Siangnya, Davin duduk sendiri di balkon lantai dua. Matanya menatap kosong ke taman belakang. Pikirannya berputar tanpa arah.

Ia baru menyadari sesuatu.

Selama ini, ia membenci Aleya bukan karena gadis itu. Tapi karena simbol dari keluarga yang menjebaknya. Tapi kini, setelah melihat sendiri bagaimana trauma menghancurkan hidup Aleya... kebencian itu mulai goyah.

Ia memijit pelipisnya. Napasnya berat.

“Sialan,” gumamnya. “Ada apa denganku?”

Tapi hatinya sudah tak bisa menyangkal. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin melindungi gadis itu. Bukan karena perjanjian. Bukan karena kewajiban. Tapi karena... ia tahu rasa sakit itu nyata.

---

Malam hari, Aleya duduk di ranjang dengan selimut melilit bahu. Lampu redup membuat bayangan wajahnya terlihat lebih lembut. Tangannya mencoret-coret di buku gambar. Kali ini bukan garis acak, tapi bentuk bunga kecil yang nyaris mekar.

Davin berdiri di ambang pintu. Tidak masuk. Hanya mengamati.

“Kamu suka bunga?” tanyanya pelan.

Aleya tidak menjawab. Tapi pensilnya berhenti sebentar, lalu kembali menggambar.

Davin tersenyum tipis.

“Kalau kamu mau, saya akan tanam lebih banyak mawar di taman belakang.”

Aleya menoleh sekilas. Tak ada emosi di wajahnya, tapi tatapannya tak lagi ketakutan.

Dan untuk Davin, itu sudah cukup.

Davin menutup pintu perlahan dan berjalan menjauh.

Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa terganggu oleh keberadaan Aleya.

Ia merasa... dibutuhkan.

Dan mungkin, entah bagaimana, ia mulai butuh gadis itu untuk membuat rumahnya terasa seperti rumah sungguhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
makin ketagihan baca
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

  • Di Balik Taruhan Cinta   Luka Aleya

    Langit mulai gelap ketika Davin Velizan Alviano akhirnya pulang dari kantor pusat. Jas hitamnya masih tersemat rapi, tapi wajahnya penuh lelah. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena... dia belum bisa berhenti memikirkan gadis itu."Aleyya Calisha Daryan."Nama itu menghantui pikirannya, bahkan saat rapat pemegang saham, bahkan ketika dia duduk di belakang kemudi mobil mewahnya. Luka gadis itu terlalu dalam. Terlalu sepi. Terlalu... memanggil sisi manusia dalam dirinya yang selama ini dia kunci rapat-rapat.Begitu melangkahkan kaki di dalam mansion, langkah Davin langsung mengarah ke kamar Aleya. Wajahnya tegang, berharap menemukan gadis itu tertidur atau setidaknya duduk diam seperti biasanya.Tapi kamar itu kosong.Ranjang rapi. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Aleya.“Bi Suri!” suara Davin meninggi, dingin dan tajam seperti biasa.Bi Suri datang tergopoh, tubuh tuanya gemetar. “I-itu... nona... nona di taman, T-tuan...”“Kenapa tidak kau bilang lebih awal?!”“S-saya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Lio Kabur

    “Aleya, apakah kau menggapku suamimu?” gumam Davin pelan.Dan tanpa menjawab pertanyaan itu sendiri, Davin Velizan Alviano melangkah pergi—meninggalkan satu jiwa yang hancur perlahan di rumahnya sendiri.Namun, malam itu, untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan mereka, langkah Davin terasa lebih berat dari biasanya. Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan lampu gantung modern berdesain hitam matte, lalu duduk di kursi kulit yang dibuat khusus dari Italia.Ia memandangi jendela, tapi pikirannya tak bisa diam. Wajah Aleya Calisha Daryan terus muncul. Wajah pucat, mata sembab, suara yang hilang entah ke mana, dan luka-luka tak terlihat yang kini menumpuk di bawah atap miliknya.Di luar, angin mengoyak tirai dan mengusik ketenangan malam. Tapi di dalam pikirannya, badai jauh lebih liar.Davin Velizan Alviano.Nama yang menggetarkan banyak pengusaha kelas atas dan pejabat tinggi. Di usia 30 tahun, lelaki itu sudah memegang lima anak perusahaan yang tersebar di bidang properti, perhot

  • Di Balik Taruhan Cinta   Davin Mulai Iba

    Langit mendung menggantung saat mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang mansion milik Davin Alvaro. Rumah dengan arsitektur modern itu berdiri megah, namun hari ini terasa dingin. Begitu juga dengan hati pria yang berdiri di ambang pintu, menyaksikan seorang gadis bertubuh mungil dituntun masuk oleh dua pengawal pribadinya."Aleya Daryan," gumam Davin pelan.Gadis itu tidak bicara. Langkahnya terhuyung, tubuhnya menegang ketika salah satu pengawal menyentuh bahunya. Matanya liar, seperti hewan buruan yang terpojok. Ia sempat meronta kecil, lalu kembali pasrah saat melihat Dean berdiri di dekat tangga.“Dia seperti... pecahan kaca,” gumam Dean sambil melipat tangan di depan dada. “Dan lo nggak tahu cara megang pecahan kaca, Vin.”Davin tidak menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada sosok Aleya yang kini berdiri di tengah ruang tamunya. Gadis itu memeluk tubuh sendiri, seperti takut disentuh udara. Kepalanya tertunduk. Rambut panjang yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.Hen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status