Share

Lio Kabur

Penulis: Sofi Prabandani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 17:05:25

“Aleya, apakah kau menggapku suamimu?” gumam Davin pelan.

Dan tanpa menjawab pertanyaan itu sendiri, Davin Velizan Alviano melangkah pergi—meninggalkan satu jiwa yang hancur perlahan di rumahnya sendiri.

Namun, malam itu, untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan mereka, langkah Davin terasa lebih berat dari biasanya. Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan lampu gantung modern berdesain hitam matte, lalu duduk di kursi kulit yang dibuat khusus dari Italia.

Ia memandangi jendela, tapi pikirannya tak bisa diam. Wajah Aleya Calisha Daryan terus muncul. Wajah pucat, mata sembab, suara yang hilang entah ke mana, dan luka-luka tak terlihat yang kini menumpuk di bawah atap miliknya.

Di luar, angin mengoyak tirai dan mengusik ketenangan malam. Tapi di dalam pikirannya, badai jauh lebih liar.

Davin Velizan Alviano.

Nama yang menggetarkan banyak pengusaha kelas atas dan pejabat tinggi. Di usia 30 tahun, lelaki itu sudah memegang lima anak perusahaan yang tersebar di bidang properti, perhotelan, teknologi keuangan, dan minyak. Dia adalah CEO dari Velizan Corp, konglomerasi bisnis yang dikenal agresif dalam akuisisi saham dan merger perusahaan mati suri.

Lulusan Oxford jurusan Ekonomi Bisnis, Davin dikenal sebagai “serigala bersarung sutra.” Penampilannya tak pernah lepas dari jas kustom berpotongan tajam, rambut hitam yang selalu tertata rapi, dan tatapan mata dingin yang sanggup membungkam ruangan tanpa suara.

Di bursa saham, namanya adalah ancaman. Nilai kekayaannya per kuartal terakhir dilaporkan mencapai lebih dari 8,4 triliun rupiah, menjadikannya sebagai pengusaha muda paling berpengaruh di Asia Tenggara versi Majalah Bisnis Dominion.

Namun, semua kejayaan itu bukan tanpa luka.

Davin tak pernah benar-benar lupa bagaimana keluarga Daryan—terutama Lio Revalino Daryan, kakak kandung Aleya—dulu merampas sebagian hak dan kepercayaan bisnis ayahnya. Lio adalah rival bisnis terkuat yang Davin punya. Licik, licin, dan selalu bermain di area abu-abu. Dendam Davin kepada Lio nyaris tak bisa diredam, bahkan ketika ia harus menikahi adik laki-laki itu sendiri.

Aleya Calisha Daryan.

Gadis 20 tahun yang bahkan tak pernah mengerti alasan sebenarnya ia dinikahkan. Perbedaan usia mereka sepuluh tahun, tapi luka Aleya membuatnya terasa jauh lebih rapuh dari angka.

Seharusnya, ia adalah kartu kemenangan Lio. Tapi entah kenapa, sejak melihat cara Aleya menunduk, menyembunyikan tangis, dan gemetar tiap kali mendengar suara laki-laki, Davin merasa, semua ini salah.

“Sial,” desis Davin sambil meremas batang lehernya.

Ia berdiri, menatap layar laptopnya yang masih menampilkan grafik saham dan email penawaran merger dari perusahaan asal Korea Selatan. Tapi pikirannya tertinggal di balik pintu kamar Aleya.

“Gue bukan orang baik. Tapi kenapa gue jadi peduli?” gumamnya.

---

Pagi itu, Davin memutuskan tidak pergi ke kantor pusat. Ia hanya memantau dari rumah, menghubungi Dean lewat panggilan singkat.

“Gue minta lo siapkan pengamanan internal. Gue gak pengen Aleya keluar tanpa gue tahu,” ucapnya dingin.

“Lu takut dia kabur?” sahut Dean, yang baru selesai meninjau proyek pembangunan cabang hotel di Jepang.

“Bukan. Gue takut... dia ketemu trauma lamanya.”

Dean diam sejenak. “Gue bisa jagain dari jauh. Tapi keputusan ada di lo, Vin. Lo masih mau terusin pernikahan ini?”

Davin menatap layar monitor, yang kini menampilkan video rekaman Aleya di taman belakang, duduk sambil menggenggam pensil patah.

“Gue gak tahu. Tapi satu hal gue yakin... gue gak akan ngelepas dia ke tangan keluarga Daryan lagi.”

---

Hari kelima di mansion.

Aleya mulai menulis. Tak banyak. Hanya satu-dua kalimat dalam buku kecil yang ia sembunyikan di bawah bantal. Ia masih belum bicara, tapi kini ia memerhatikan. Matanya mengikuti gerak pelayan. Bahkan sempat melirik Davin diam-diam saat pria itu lewat di depan ruang baca.

Davin tahu. Ia sadar.

Ia juga tahu bahwa Aleya masih takut padanya. Tapi rasa takut itu perlahan mulai tercampur dengan rasa ingin tahu. Dan itu cukup untuk Davin tidak menyerah.

Suatu malam, saat hujan turun deras dan denting petir mengoyak langit, Aleya terduduk di balik lemari, menggenggam telinga. Ia ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat. Suri, pelayan yang bertugas menjaganya, tak berani mendekat.

Davin masuk tanpa suara.

Dia tak berkata apa pun. Ia hanya duduk perlahan, berjarak, dan mengulurkan selimut ke arah Aleya. Gadis itu menatap, panik, tapi tak lari. Tangannya perlahan meraih selimut itu, lalu memeluknya erat-erat.

Tak ada kata.

Tapi malam itu, Davin tidak tidur.

Ia hanya duduk di lantai kamar, diam, menjaga jarak, tapi tak bergeming dari sisi Aleya.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka—rumah besar itu terasa seperti tempat perlindungan, meski hanya sedikit.

Suara langkah sepatu Dean terdengar mengisi lorong mansion megah itu. Ketika ia membuka pintu ruang kerja Davin, aura panas langsung menyambutnya. Lelaki yang sedang berdiri dengan tangan di saku celana itu menoleh cepat, matanya menajam seperti baru siap menerkam mangsa.

“Gimana?” suara Davin dingin, hampir tak berintonasi.

Dean menatap pria itu sebentar sebelum akhirnya menutup pintu dan mendekat.

“Gawat, Vin. Dia kabur.”

Davin memicingkan mata. “Lio?”

Dean mengangguk. “Gak ada jejak. CCTV bandara mati total, passport gak ke-detect, kemungkinan dia kabur lewat jalur diplomatik. Negara tujuan belum bisa dipastikan. Tapi—”

“LANJUT, Dean!”

Dean menghela napas. “Setengah saham perusahaan Daryan Group udah resmi dialihkan ke Velizan Corp. Tapi...”

Davin melangkah lebih dekat, tatapannya menyipit. “Tapi apaan?”

Dean menelan ludah. “Dia pergi ninggalin semua hutang perusahaan... dan hutang pribadinya. Total 2 miliar. Dan lebih parahnya—dia transfer semua beban itu atas nama lo. Nama lo, Vin.”

BRAK!

Meja besar di hadapan Davin langsung digebrak keras. Vas kaca di atasnya jatuh, pecah berhamburan.

“LIO BRENGSEK!!” raung Davin. “GUE HARUSNYA NGUBUR LO HIDUP-HIDUP WAKTU ITU!”

Dean sedikit terkejut, tapi ia tahu, ini bukan Davin yang kehilangan kendali. Ini Davin yang dipancing untuk menghancurkan.

“Dia ngambil kesempatan di tengah merger. Dia tahu sistem akuisisi kita terbuka, dan dia tempelin beban utang di legalitas dokumen. Orang legal kita pun kecolongan.”

Davin mengerang, tangannya mengepal hingga uratnya menegang. Dalam sekejap, ia memukul dinding di belakangnya dengan keras.

BUK!

“ARRGH!!” Davin merintih pelan, darah menetes dari buku jarinya. Tapi wajahnya tak menunjukkan rasa sakit. Justru... amarah yang dalam.

“Apa dia pikir gue bakal diem? Apa dia kira gue bakal tanggung jawab atas semua tai yang dia buang?!”

Dean mendekat, mencoba menahan tangan Davin. “Vin, lo harus tenang. Kita bisa selesaikan lewat jalur hukum, atau—”

“GAK ADA JALUR HUKUM BUAT SAMPAH MACAM DIA!” desis Davin, hampir berteriak. “Dia udah nyeret nama gue, bikin image perusahaan gue rusak. Investor udah mulai tanya-tanya. Dan sekarang, dia kabur?!”

Dean menunduk. “Semua tim lagi cari tahu negara tujuan. Tapi yang pasti, dia ninggalin satu masalah lagi…”

Davin melirik tajam. “Apa lagi?!”

“Dia ninggalin Aleya.”

Davin terdiam. Matanya langsung berubah. Masih merah karena amarah, tapi kini ada sorot lain. Sorot luka.

“Dia jadikan adik kandungnya sebagai tumbal,” lirih Dean.

“Aleya gak tahu. Dia bahkan gak ngerti semua ini,” jawab Davin pelan, menatap tangannya yang berdarah.

Dean mendesah. “Dia alat, Vin. Alat buat bikin lo rapuh. Dan lo tau apa yang paling Lio pengen? Dia pengen lo kehilangan kontrol.”

Lelaki itu berjalan pelan ke arah jendela, menatap hujan yang turun perlahan. Jemarinya masih berdarah, tapi ia membiarkannya.

“Dia salah besar,” ucap Davin rendah, tapi sarat ancaman.

Dean menatap punggung Davin. “Lo mau lakuin apa sekarang?”

“Gue bakal bayar semua hutang itu.”

Dean menatap kaget. “Lo serius?”

Davin menoleh. Tatapannya dingin, tajam, dan penuh keputusan.

“Gue bayar semua. Tapi bukan karena dia pantas. Karena gue gak mau Aleya hidup dengan nama keluarga yang penuh dosa. Gue bersihin semuanya... supaya dia bisa mulai dari nol.”

Dean terdiam. Untuk pertama kalinya, dia melihat Davin bukan sebagai CEO tanpa hati, tapi sebagai pria yang... jatuh cinta dalam diam.

“Dan kalau Lio berani muncul lagi, bahkan satu jari dia sentuh Aleya…” Davin mendekat, menatap mata Dean, lalu berbisik pelan, “...gue sendiri yang bakar dia hidup-hidup.”

---

Hujan belum reda. Darah di tangan Davin mulai kering, tapi perasaannya masih bergejolak.

Di kamar atas, Aleya menggenggam buku kecilnya. Ia menulis satu kalimat sebelum tidur...

> “Mereka tak tahu aku mengerti... semuanya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
wahhh lioo bener deh biadab bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status