Share

Istriku Gila?

Penulis: Sofi Prabandani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 17:04:56

"Jangan buat suara."

Kalimat itu bukan perintah biasa. Itu semacam peringatan, lirih tapi menusuk seperti bisikan hantu di koridor rumah tua. Suasana rumah keluarga Daryan yang megah itu terasa jauh dari mewah—lebih mirip museum tak bernyawa. Setiap langkah Davin menggema pelan, disambut dinding putih gading yang dingin dan lukisan-lukisan lawas yang menatapnya dengan mata mati.

Perempuan tua yang membukakan pintu tidak menatap matanya, seolah takut sesuatu. Atau seseorang.

"Di lantai dua, kamar paling ujung," katanya tanpa suara berarti, seperti mengirim Davin ke tempat yang seharusnya tidak dikunjungi.

Davin naik, tidak bicara, tidak ragu. Map di tangannya berisi dokumen yang secara hukum mengikat seorang perempuan bernama Aleya sebagai istrinya. Hanya karena taruhan. Hanya karena dendam. Hanya karena kekuasaan.

Pintu kamar itu tidak terkunci. Saat dibuka, bau lembap menyambutnya. Jendela tertutup rapat. Tirai tebal menahan cahaya masuk. Dan di dalamnya—ada dia.

Gadis itu duduk di lantai, bersandar pada dinding. Rambutnya acak-acakan, pipinya pucat, dan mata itu… kosong. Seperti danau beku yang tak memantulkan apa-apa.

"Aleya Daryan?"

Tidak ada jawaban. Hanya suara napas pelan dan gumaman lirih yang tak jelas. Tangannya sibuk mencabik bagian ujung bajunya, seperti ingin melupakan realita.

Davin diam.

Selama bertahun-tahun ia bertarung di dunia bisnis, bertemu lawan paling kejam, berdansa dengan investor gila, bahkan menaklukkan raksasa korporasi... tapi ini? Ini pertama kalinya dia merasa langkahnya tertahan. Ada sesuatu dari Aleya yang membuatnya tak bisa bergerak sembarangan.

Dia cantik. Bahkan dalam kondisi seperti itu. Tapi bukan kecantikannya yang membuat Davin menatap lebih lama. Ada luka. Ada kekacauan. Ada misteri.

Dan tiba-tiba, dalam keheningan, gadis itu bicara.

"Kamu... siapa?"

Nadanya pelan. Seperti anak kecil. Tapi bukan suara manja. Lebih seperti... trauma.

Davin menghela napas pelan. "Suamimu."

Aleya tertawa pelan. Tapi tawanya bukan kebahagiaan. Itu tawa getir, terputus di tengah jalan.

"Lio... bilang kamu monster."

Davin tersenyum tipis. "Mungkin dia benar. Tapi kau akan tinggal bersamaku sekarang."

Gadis itu diam. Tatapannya naik turun, lalu jatuh ke tangan Davin yang menggenggam dokumen.

Detik itu juga jeritan Aleya menggema di ruangan. Dia terusik akan kedatangan Davin.

Hujan semakin turun deras saat Aleya resmi menjadi istri Davin Alvaro.

Tapi tidak ada pelukan hangat. Tidak ada kecupan lembut. Tidak ada senyuman bahagia. Hanya keheningan yang menyeramkan di antara dua orang asing yang kini sah di atas kertas, tapi begitu jauh secara jiwa.

Davin berdiri tegak di depan jendela suite hotel tempat akad berlangsung. Setelan jas hitamnya masih rapi, meski dasi di leher sudah dilepas sembarangan. Di belakangnya, Aleya duduk di lantai dengan gaun pengantin mewah yang kini tampak kusut dan kotor, rambutnya berantakan, mata kosong menatap dinding.

Dia menggigit jarinya, berbisik sendiri, lalu memukul lantai tiba-tiba.

Braak!

Davin memutar tubuhnya cepat. “Lagi-lagi?”

Aleya merangkak mundur, tubuhnya gemetar, seolah suara pria itu seperti cambuk yang mencabik kulitnya.

“Jangan sentuh aku…” bisiknya lirih, matanya tak fokus. “Jangan sentuh aku… jangan…”

Dean–sahabat sekaligus orang kepercayaan Davin masuk ruangan, memberi isyarat pada Davin untuk mundur. “Dia… kena trigger lagi.”

“Trigger? Gila maksud lo?” suara Davin naik satu oktaf. “Hari pertama nikah dan dia—dia bahkan gak bisa lihat gue tanpa teriak?!”

Dean menarik napas dalam, tapi tak membantah.

Davin melangkah ke pintu, membuka jasnya kasar. “Gue bisa gugat cerai sekarang juga.”

“Lo lupa rencana lo Davin? ,” ucap Dean tenang. “Ini baru permulaan.”

Kalimat itu membungkam Davin.

Ia mendengus, mengacak rambutnya sendiri, lalu menatap Aleya yang kini meringkuk di pojokan ruangan seperti anak kecil ketakutan. Luka di pergelangan tangannya belum sembuh betul. Seorang pengawal wanita masuk, membawa selimut dan obat penenang. Aleya menggigit pengawal itu hingga berdarah.

Davin hanya diam, menatap semua itu seperti menonton mimpi buruk yang terlalu nyata.

---

Keesokan harinya, Davin membawa Aleya ke mansion-nya di pinggiran kota. Dengan tiga pengawal pribadi dan satu tim medis, butuh lebih dari dua jam untuk membuat Aleya mau naik mobil.

Dia memberontak, menjerit, bahkan mencoba kabur saat melihat kaca mobil.

“Davin!” teriak Dean di headset. “Kuncinya, tahan lengannya—bukan dengan kekerasan, pakai kain itu!”

“Dia bukan hewan, Dean!”

“Tapi otaknya bukan dalam kondisi normal!”

Davin akhirnya memeluk Aleya dari belakang, menahan tubuhnya yang menggeliat seperti ular, sambil terus membisikkan, “Tenang… saya gak akan sentuh kamu… tenang, kamu aman.”

Anehnya, Aleya berhenti meronta. Tapi air matanya mengalir deras, tubuhnya tetap gemetar hebat.

---

Sesampainya di mansion, Aleya dikurung di kamar paling atas. Tidak dengan gembok, tapi dengan pengawasan penuh.

Davin berdiri di depan pintu, matanya menatap kosong ke lantai.

“Apa yang dikasih Lio ke gue ini?” gumamnya lirih. “Bukan istri. Ini… trauma berjalan.”

Dean berdiri di sampingnya. “Dan lo akan jadi laki-laki brengsek kalau ninggalin dia sekarang.”

“Gue gak siap, Dean,” suaranya pecah. “Gue CEO. Gue punya bisnis internasional. Gue gak siap ngurus istri yang gak bisa bedain kenyataan dan mimpi buruk.”

Dean menepuk bahunya. “Tapi lo juga manusia.”

"Lo juga yang minta dan menyanggupi ini semua, ini belum seberapa Davin,"

"Tapi istri gue Gila Dean! "

Davin terdiam. Hatinya mengeras. Tapi entah kenapa, setiap kali ia melihat mata Aleya, seolah ada retakan kecil di dalam dirinya.

---

Malam hari, Aleya duduk di bawah tempat tidur. Selimut menutupi seluruh tubuhnya. Tak ada suara. Tak ada tangisan. Hanya tatapan kosong dan gelegar petir di luar jendela.

Davin masuk, perlahan, membawa sepiring bubur hangat.

“Kamu belum makan seharian…”

Aleya hanya menatapnya. Matanya menyipit curiga, lalu tiba-tiba—dia menampar tangan Davin.

Prangg!

Piring terjatuh, bubur berceceran di lantai marmer putih.

Davin terdiam. Tangannya memerah.

Aleya menatapnya dengan sorot yang entah takut… atau marah.

“Aku bukan boneka mainanmu…” ucapnya pelan.

Davin mundur selangkah. Untuk pertama kalinya, gadis itu bicara panjang. Tapi bukan dengan ketakutan, melainkan kemarahan tersembunyi.

Dan untuk pertama kalinya juga… Davin merasa hatinya bergetar.

Dia bukan cuma gadis gila. Dia adalah korban yang terlalu lama dikurung. Dilukai. Dipasung.

Davin mengambil napas panjang.

"Besok, kamu gak perlu keluar kamar," ucapnya. "Tapi kamu juga gak akan sendirian."

Ia keluar dari ruangan, menutup pintu perlahan.

Di luar, Dean menatapnya. “Masih mau cerai?”

Davin mendengus. “Gue mau bunuh Lio dulu.”

Dean tersenyum kecil.

---

Tapi malam itu, di kamera pengawas tersembunyi, Aleya terlihat berdiri di depan jendela. Diam.

Lalu… ia tersenyum.

Bukan senyum lembut. Tapi senyum ganjil, menyeramkan, seperti boneka rusak yang sadar sedang dimainkan kembali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
aku suka karakter Davin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status