Share

Luka Aleya

Penulis: Sofi Prabandani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-21 17:05:35

Langit mulai gelap ketika Davin Velizan Alviano akhirnya pulang dari kantor pusat. Jas hitamnya masih tersemat rapi, tapi wajahnya penuh lelah. Bukan karena pekerjaan. Tapi karena... dia belum bisa berhenti memikirkan gadis itu.

"Aleyya Calisha Daryan."

Nama itu menghantui pikirannya, bahkan saat rapat pemegang saham, bahkan ketika dia duduk di belakang kemudi mobil mewahnya. Luka gadis itu terlalu dalam. Terlalu sepi. Terlalu... memanggil sisi manusia dalam dirinya yang selama ini dia kunci rapat-rapat.

Begitu melangkahkan kaki di dalam mansion, langkah Davin langsung mengarah ke kamar Aleya. Wajahnya tegang, berharap menemukan gadis itu tertidur atau setidaknya duduk diam seperti biasanya.

Tapi kamar itu kosong.

Ranjang rapi. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Aleya.

“Bi Suri!” suara Davin meninggi, dingin dan tajam seperti biasa.

Bi Suri datang tergopoh, tubuh tuanya gemetar. “I-itu... nona... nona di taman, T-tuan...”

“Kenapa tidak kau bilang lebih awal?!”

“S-saya tidak berani mengganggu, Tuan... Nona terlihat... tenang.”

Davin mengerutkan kening. ‘Tenang?’

Ia berbalik. Langkah-langkahnya cepat menyusuri lorong-lorong mansion. Jantungnya berdegup lebih keras dari biasanya. Ketakutan aneh menyergap dadanya. Kenapa harus takut kehilangan seseorang yang bahkan belum dia miliki?

Begitu sampai di taman belakang mansion, langkah Davin terhenti.

Di bawah sorotan lembut lampu taman dan remang senja, Aleya duduk di atas rerumputan. Gaun putihnya menjuntai ke tanah, kuas dan cat air bertebaran di sekelilingnya. Di pangkuannya—sebuah kanvas besar menampakkan wajah Davin. Garis rahangnya. Sorot matanya. Lengkung bibirnya yang dingin.

Davin terpaku. Seperti ada badai di dadanya yang mendadak reda. Segalanya... seolah membeku.

Aleya menggambarnya. Dengan tangan yang pernah gemetar ketakutan. Dengan jari yang dulu menepis setiap sentuhan manusia.

Dia ingin mendekat. Tapi kakinya tak bergerak. Ragu. Takut membuat Aleya kembali mengunci diri. Takut mendengar jeritan itu lagi.

Namun sebelum sempat ia mundur...

“...T-Tuan Davin?”

Davin membeku. Suara itu. Lirih. Rapuh. Seolah menirukan Bi Suri. Tapi jelas keluar dari bibir mungil Aleya.

Davin menoleh pelan. Matanya menangkap sorot malu-malu Aleya yang mengintip dari balik rambut panjangnya.

“Panggil saya Davin. Tanpa embel-embel apa pun,” katanya lembut.

Aleya hanya mengangguk kecil. Matanya... menatap luka di tangan Davin.

“...Kau... terluka...” bisiknya. Jemarinya yang dingin menyentuh tangan Davin dengan hati-hati. “Sepertiku...?”

Davin seperti kehabisan napas. Tak bisa menjawab. Tidak bisa bicara. Sentuhan Aleya... pelan. Tapi menghantam keras ke dadanya.

Dia hanya bisa memandangi wajah gadis itu. Luka di tangan yang diperban seadanya. Dan mata sayunya yang menatap penuh tanya. Seolah berkata... “Kenapa kamu juga bisa terluka sepertiku?”

Suasana hening. Sampai tiba-tiba—mata Aleya membelalak. Dia tersentak. Tangannya gemetar. Suara tangis meledak dari bibirnya.

“Jangan... jangan masuk! Jangan sentuh aku! Jangan bawa dia ke sini! Aku nggak mau—aku nggak mau—!!!”

Jeritannya pecah. Tubuhnya menggigil hebat. Kanvas terjatuh, cat tercecer ke tanah. Aleya memeluk lututnya, menangis sejadi-jadinya, seolah semua mimpi buruk itu hidup kembali.

Davin buru-buru mendekat. “Aleya, Aleya tenang—”

Tapi Aleya menjerit makin kencang, “Lio! Kakakku! Dia jahat! Jangan bawa dia!!!”

Davin membeku mendengar nama itu disebut. Jari-jarinya mengepal. Hatinya... retak. sejauh mana luka yang diberikan Lio kepada gadis malang ini?

Dan di antara tangisnya, Aleya memanggil satu nama.

“...Davin... j-jangan pergi...”

Dengan suara yang sangat kecil. Tapi cukup untuk membuat pria dingin itu... akhirnya merengkuhnya dalam pelukan.

Untuk pertama kalinya... Davin Velizan Alviano tak mencoba menyelamatkan perusahaan. Tapi... menyelamatkan seseorang.

---

Davin membiarkan tubuh kecil itu menggigil dalam pelukannya. Tangannya yang terluka tak dia pedulikan lagi, karena tangis Aleya jauh lebih menyakitkan daripada darah yang menetes dari luka di buku-buku jarinya.

Aleya menggenggam baju kerja Davin dengan erat. Tubuhnya masih bergetar, sesekali menggumam kata-kata tak jelas, seolah terjebak di ruang trauma yang tak pernah dia undang. Dan Davin... hanya diam. Tapi bukan karena tak tahu harus berbuat apa.

Dia sedang belajar. Tentang luka. Tentang ketakutan. Tentang bagaimana caranya menenangkan seseorang... tanpa merusak kepercayaannya.

"Saya di sini," bisik Davin akhirnya, suara pria itu serak menahan emosi. “Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Selama saya di sini.”

Aleya mengangkat wajahnya perlahan. Mata sembabnya bertemu dengan sorot mata teduh Davin—mata yang biasanya tajam, kini memudar menjadi hangat. Napas Aleya masih terengah, tapi tangisnya mulai mereda.

"Jangan bawa Lio..." bisiknya lagi, sangat pelan, “jangan biarkan dia tahu aku di sini…”

Davin mengusap pelan rambut Aleya. “Dia nggak akan nemuin kamu. Saya pastikan itu.”

Aleya menatapnya lekat-lekat. Ada jeda lama di antara mereka. Hening. Tapi bukan karena hampa—melainkan karena banyak hal tak terucap, dan cukup dimengerti lewat tatapan.

“Apa... apa aku harus pergi dari sini?” suara Aleya kecil sekali. “Aku tahu aku bukan siapa-siapa…”

Davin menggeleng cepat. “Jangan ngomong kayak gitu.”

“Tapi...”

“Aleya.”

Suara Davin sedikit meninggi. Tegas. Tapi lembut. Tangannya menyentuh pipi Aleya, membuat gadis itu terpaku. Untuk pertama kalinya... dia berani menyentuh tanpa membuat Aleya menghindar.

“Dengar saya baik-baik. Kamu bukan beban. Kamu bukan luka. Kamu bukan kesalahan. Kamu... hal paling tenang yang pernah masuk ke hidupku. Jadi jangan minta pergi, karena aku yang akan hancur kalau kamu nggak di sini.”

Aleya membisu. Pipi mungilnya menghangat. Dada Davin berdebar tak karuan—sial, apa yang baru saja aku ucapkan?

Tapi Aleya... hanya tersenyum tipis. Senyum yang sangat pelan, tapi mampu menampar semua benteng dingin Davin. Jemarinya yang kecil bergerak pelan, menyentuh kembali luka di tangan Davin, lalu membisikkan...

“Kau yang menolongku, sekarang biar aku yang mengobati lukamu…”

Davin menatap gadis itu seperti menatap keajaiban. Lalu membiarkan Aleya menariknya duduk di rerumputan. Dengan pelan, Aleya membuka kotak kecil dari tas cat airnya—yang ternyata berisi perban dan kapas. Ia mulai membersihkan tangan Davin dengan lembut, meski jari-jarinya sendiri masih bergetar.

“Dulu... aku sering mengobati lukaku sendiri,” gumam Aleya lirih.

Davin hanya bisa menatap. Hatinya hancur pelan-pelan.

“Kalau kamu takut, kamu bisa pergi,” ujar Aleya tiba-tiba.

“saya nggak pernah takut sama kamu,” jawab Davin tanpa ragu. “saya takut... Kamu membenci saya. "

Aleya terdiam. Tangannya berhenti.

Dan di tengah taman yang sepi, di bawah langit yang mulai bertabur bintang, dua orang manusia yang penuh luka saling menatap—tanpa perlu banyak kata. Hanya ada luka, dan kesediaan untuk tetap tinggal... meski tak tahu akan seberapa dalam rasa sakit yang akan datang.

Untuk pertama kalinya... Davin tersenyum. Tipis. Tapi nyata.

Dan untuk pertama kalinya pula... Aleya membiarkan dirinya nyaman di pelukan seseorang.

Bukan karena tidak takut.

Tapi karena mulai percaya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
aleyaaaa semangat sembuh yaaaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status