Share

04-Sentuhan Pertama

Author: Tinta cinta
last update Last Updated: 2025-11-10 14:10:22

Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.

“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.

“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.

Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.

“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.

Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.

“Tampan…” bisik hatinya.

Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.

“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.

“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan hanya tersenyum samar, seolah memahami kecanggungannya.

Beberapa saat berlalu dalam diam. Keduanya tampak canggung hingga Isabella menyadari dayangnya, Lusi, menatap Ethan dengan mulut sedikit terbuka.

“Lusi?” panggil Isabella sambil menepuk bahunya.

“Ah! Permaisuri…” Lusi tersipu, buru-buru menegakkan tubuh sambil menampilkan deretan giginya yang rapi.

Isabella menggeleng kecil lalu terkekeh. Tawa lembutnya membuat Ethan, yang duduk di seberang, tertegun sejenak.

“Cantik…” gumamnya lirih.

Kini mereka benar-benar berdua. Lusi telah keluar dari kamar setelah Ethan meminta privasi, sebab proses penyembuhan harus dilakukan hanya antara tabib dan pasien.

“Bisakah Anda menjelaskan penyakit Anda, Permaisuri?” tanya Ethan dengan nada tenang.

Isabella menarik napas panjang sebelum berbicara. Ia menyesap sedikit teh di meja untuk menenangkan diri.

“Itu sudah ada sejak lahir. Ayah bilang, aku tidak boleh disentuh oleh pria mana pun. Setiap kali bersentuhan, tubuhku akan membiru, dadaku terasa sesak, dan tenaga seakan tersedot habis. Aku biasanya pingsan tak lama setelahnya.”

Ethan mengangguk memahami.

“Kapan gejala itu hilang?” tanyanya lagi.

“Sekitar tiga jam setelahnya.”

Ethan berpikir sejenak, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari tas selempang yang ia bawa. Cairannya berwarna hitam dengan aroma tajam.

“Apakah itu kutukan, Tabib? Atau penyakit?” tanya Isabella pelan.

“Panggil saya Ethan saja, Permaisuri. Itu akan membuat Anda lebih rileks,” jawabnya lembut, sebelum melanjutkan, “Minumlah ini. Kita akan tahu, apakah yang Anda alami adalah penyakit… atau kutukan.”

Isabella menerima botol itu. Begitu tutupnya dibuka, aroma menyengat langsung menusuk hidungnya.

“Uh, baunya…” gerutunya sambil menjauhkan botol.

“Apakah Anda tidak ingin meminumnya?” tanya Ethan, matanya memerhatikan setiap reaksi Isabella.

Isabella menatapnya sesaat, lalu menenggak cairan itu sekaligus.

“Ugh… pahit sekali,” desisnya menahan rasa mual.

Ethan tersenyum tipis. Isabella sempat memandanginya—senyuman itu begitu hangat, begitu berbeda dari wajah dingin Kaisar yang selama ini hanya memberinya jarak.

“Minumlah teh Anda, itu bisa menetralisir rasa pahitnya,” ucap Ethan lembut.

“Apakah itu tidak mengganggu efek obatnya?”

Ethan menggeleng. Isabella pun menuruti sarannya.

“Setelah ini… apa yang akan kau lakukan?” tanyanya hati-hati.

Ethan mengenakan sepasang sarung tangan tipis berwarna menyerupai kulit.

“Julurkan tangan Anda, Permaisuri.”

“Kau mau apa?” Isabella memicingkan mata curiga.

Ethan tak menjawab, hanya menatapnya dalam diam—tatapan yang lembut, nyaris menenangkan.

Dengan ragu, Isabella menjulurkan tangannya. Ethan menyentuh telapak tangannya perlahan, dan sesuatu yang halus menjalari hati keduanya.

Isabella menahan napas. Hanya sentuhan berlapis sarung tangan, namun sensasinya lebih mengguncang dari setiap sentuhan sang Kaisar.

“Tenangkan diri Anda, Permaisuri. Katakan pada diri sendiri bahwa ini hanya sentuhan,” bisik Ethan lembut.

“Ini hanya sentuhan, Isabella… hanya sentuhan,” gumamnya sambil memejamkan mata.

Tak ada warna biru. Tak ada rasa sesak. Hanya detak jantungnya yang berdentum keras di dada.

Ethan melepaskan tangannya perlahan.

“Bagaimana perasaan Anda, Permaisuri?”

Isabella membuka mata, menatap tangannya yang tetap normal.

“Kenapa… tidak terjadi apa-apa?” tanyanya heran.

“Mungkin karena sarung tangan ini. Sekarang kita coba tanpa penghalang,” ucap Ethan sambil tersenyum tipis dan menanggalkan sarung tangannya.

“Tunggu!” seru Isabella cepat. Ia menatap Ethan tajam. Di satu sisi, jantungnya masih berdebar; di sisi lain, rasa jengkel tiba-tiba menyeruak.

“Beraninya dia… hendak menyentuhku tanpa izin?", batinnya.

“Kenapa Anda menatap saya seperti itu, Permaisuri?” tanya Ethan dengan alis berkerut.

“Memangnya seperti apa tatapanku?” balas Isabella ketus.

“Seolah Anda menganggap saya lelaki tak tahu sopan santun,” jawab Ethan datar.

Isabella terdiam. Bagaimana mungkin pria ini bisa menebak isi hatinya?

“Saya hanya akan menyentuh tangan Anda,” tekan Ethan lembut, tapi tegas.

Isabella menunduk malu, menyesal telah berprasangka. Ia kembali menjulurkan tangannya.

“Tenangkan diri Anda, Permaisuri,” ucap Ethan sambil mendekat. “Ingat… ini hanya sentuhan.”

Kulit mereka akhirnya bersentuhan langsung—hangat, lembut, namun menyulut sesuatu yang tak bisa dijelaskan di dada keduanya.

Beberapa detik berlalu, debar di dada Isabella kian menguat, tetapi rasanya tidak sesak seperti gejala yang biasa ia rasakan.

Ethan menatap wajah Isabella yang terpejam, mengamati setiap reaksi tubuhnya. Namun, tak ada tanda-tanda seperti yang sebelumnya Isabella ceritakan.

“Permaisuri?” panggil Ethan pelan.

“Ya?” sahut Isabella tanpa membuka mata.

“Bukalah mata Anda perlahan,” bimbing Ethan lembut.

Isabella menarik napas dalam, lalu membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung bertemu dengan tatapan Ethan yang lembut—tatapan yang membuatnya merasa dihargai.

Tes.

Setetes air mata tiba-tiba jatuh dari sudut mata Isabella, membuat Ethan terlonjak dan spontan menarik tangannya.

“Permaisuri, maaf... apakah aku menyakitimu?” ucap Ethan dengan raut khawatir.

Isabella segera menyeka air matanya, lalu berdiri dengan mata terbelalak. Kulitnya—tidak berubah warna sedikit pun.

“Ethan... aku tidak berubah! Aku sembuh, Ethan!” pekiknya dengan suara bergetar antara haru dan bahagia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Tirai Permaisuri   08- Rasa Terima Kasih

    Makan siang berlangsung cepat, namun terasa panjang dan menyesakkan. Suasananya memanas, dipenuhi aura kemarahan Kaisar yang begitu kuat hingga udara di sekitar meja makan seperti menekan. Terlebih untuk Isabella, setiap suapan terasa sulit turun ke tenggorokan. Dadanya sesak.Julius paling tidak suka dibantah, tapi karena tadi sempat ditegur Ibu Suri, ia memilih menahan diri. Namun Isabella sangat tahu—diamnya kaisar bukanlah tanda mereda, melainkan badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak."Ethan… kamu cari mati…" batin Isabella menegang. Hatinya menjerit khawatir, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tabib itu.“Aku selesai. Kalian bisa lanjutkan makanan kalian.”Kaisar bangkit sambil mengelap bibirnya, gerakannya dingin dan angkuh.Semua yang ada di meja mengangguk, menjaga sopan santun.“Dan kamu—selesaikan pekerjaanmu lalu cepat kembali. Jangan menganggap istana seperti rumahmu.” Tatapan Julius menancap lurus pada Ethan.“Yang Mulia tidak perlu khawatir,” Ethan m

  • Di Balik Tirai Permaisuri   07- Meja Makan

    "Ethan…""Kenapa bukan Kaisar yang seperti itu?" lirih Isabella."Ya? Anda mengatakan apa, Permaisuri?" Ethan tidak terlalu mendengar karena kekhawatirannya, terlebih suara Isabella sangat begitu pelan.Isabella tersenyum miris menatap Ethan. Ia tidak menjawab apa pun dan hanya menggeleng lemah."Sepertinya Anda butuh istirahat, Permaisuri. Tenaga Anda terkuras," ucap Ethan lembut."Tadi kau sempat bicara tidak formal padaku… bicaralah seperti tadi. Aku lebih suka begitu," sahut Isabella pelan.Ethan tidak langsung menjawab, hanya menatap Isabella dalam-dalam. Entah kenapa, seolah ia bisa menyelami setiap perasaan wanita itu hanya dari raut wajahnya. Ada kesedihan besar—tersembunyi, tetapi jelas terasa."Ethan…"Ethan mengerjap, tersadar dari lamunan."Anda istirahat dulu. Biar saya memikirkan apa sebenarnya yang terjadi pada Anda. Kesimpulannya… Anda akan membiru jika disentuh oleh lawan jenis selain saya ."Isabella menghela napas tipis."Kau sudah mau pergi?"Belum sempat Ethan men

  • Di Balik Tirai Permaisuri   06- Sentuhan Yang Membakar

    Pagi itu, usai pertemuan dengan para selir, Isabella memilih berdiam di kamarnya. Hari ini, Tabib Ethan akan datang kembali, sesuai janji mereka kemarin.Di meja telah tersusun hidangan ringan, lengkap dengan teh peony kesukaannya.Sambil menanti, Isabella menyibukkan diri dengan menyulam. Jarum dan benang menari di antara jemarinya yang lentik, menenangkan pikirannya yang masih gelisah. “Sepertinya Anda sedang sibuk, Permaisuri?”Suara itu terdengar lembut namun tiba-tiba, membuat Isabella menoleh. Di sana, berdiri Ethan dengan pakaian rapi — kemeja putih bersih berbalut rompi hitam yang menegaskan bahunya yang tegap.“Kau sudah datang?” ucap Isabella, mencoba menutupi senyum kagumnya.Namun Ethan justru menatapnya tajam. “Wajah Anda tampak sembab, Permaisuri.”Isabella sontak tertegun. Padahal ia sudah menutup bekas tangisan semalam dengan riasan cukup tebal, tapi tampaknya mata Ethan terlalu jeli untuk tertipu.“Malamku berakhir berantakan lagi,” lirih Isabella, meletakkan sulaman

  • Di Balik Tirai Permaisuri   05- Malam Yang Kembali Membiru

    Malam itu, Isabella mengenakan pakaian baru—gaun tidur tipis berwarna merah, yang sebelumnya dibelikan oleh Lusi atas perintahnya sendiri. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan terurai, memantulkan cahaya lentera yang temaram. Sejak tadi, senyum bahagia tak henti menghiasi wajahnya. Ethan benar-benar tabib yang sakti; hanya dengan satu kali perawatan, ia sudah merasa sembuh. Namun, demi memastikan keadaannya benar-benar pulih, Ethan berjanji akan datang lagi besok. “Kaisar Julius telah tiba,” suara pengawal dari balik pintu membuyarkan lamunan Isabella di depan cermin. “Suamiku?” sambutnya dengan wajah berbinar. Kaisar masuk dengan ekspresi datar. Tanpa ragu, Isabella segera bangkit dan membuka jubah luarnya. “Kau terlihat begitu senang,” ujar Julius singkat. “Karena malam ini aku akan menjadi istri yang sempurna untukmu,” jawab Isabella riang, tak peduli pada sikap dingin suaminya. Ia yakin, setelah malam ini, hati Julius akan luluh dan berubah. “Kalau begitu, biarkan aku y

  • Di Balik Tirai Permaisuri   04-Sentuhan Pertama

    Mereka bertiga akhirnya tiba di kamar Permaisuri. Ibu Suri memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu, memberikan ruang bagi Isabella dan sang tabib untuk berbicara berdua.“Perkenalkan dirimu,” ucap Isabella agak canggung. Ini pertama kalinya ia berada dalam satu ruangan dengan pria lain selain suaminya.“Nama saya Ethan,” jawab tabib itu singkat.Isabella mengernyit. Perkenalan yang terlalu singkat, pikirnya.“Sebelumnya, bisakah kau mendongak? Aku kesulitan melihat wajahmu yang terus menunduk sejak tadi,” ujarnya akhirnya.Ethan pun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar mereka berubah—seolah waktu berhenti. Isabella terpaku pada sepasang mata tenang itu.“Tampan…” bisik hatinya.Ia selalu mengira Kaisar adalah lelaki tertampan di kekaisaran ini, tapi ternyata ada seseorang dengan wajah yang jauh lebih lembut… dan menenangkan.“Permaisuri?” panggil Ethan, membuyarkan lamunannya.“Ah, maaf… aku hanya sedikit terkejut,” ucap Isabella tergagap. Ethan

  • Di Balik Tirai Permaisuri   03- Tabib Dari Kuil Havana

    Isabella datang ke kediaman Ibu Suri bersama Lusi. Di taman, tampak Ibu Suri sedang menikmati teh sore. Namun ternyata beliau tidak sendirian — di seberang mejanya duduk sang Kaisar, entah sejak kapan berada di sana."Salam hormat kepada Ibu Suri, salam hormat kepada Kaisar. Semoga kesejahteraan senantiasa menyertai kalian," ucap Isabella sopan sambil menunduk."Duduklah, Permaisuri," perintah Ibu Suri dengan senyum lembut.Isabella duduk di kursi yang tersisa. Meja bulat di tengah taman itu hanya memiliki tiga kursi, melambangkan kedekatan yang tidak bisa dihindari.“Tampilanmu berubah begitu cepat,” komentar Kaisar sambil menilik penampilan Isabella dari atas ke bawah.“Maafkan aku, Suamiku,” ucap Isabella lirih, mengingat kejadian semalam.“Jangan panggil aku Suamiku di luar,” tekan Kaisar dingin.Isabella menunduk, hanya mengangguk pelan.“Sudahlah, jangan terlalu kaku pada Isabella,” sela Ibu Suri menengahi. “Dia tetap istrimu, tidak salah kalau memanggil suaminya sendiri.”“Istr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status