Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.
Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"
Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela.
"Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.
Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu.
"Kau sudah menghubungi Marco?"
Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"
Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar.
"Sekarang juga hubungi Marco, katakan padanya bahwa aku tengah mengandung anaknya," pungkas Gia. Louis terkesiap, terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Tapi... bukankah kandungan Anda..."
Gia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan.
"Aku mengerti. Aku telah kehilangan janinku yang masih berumur 7 minggu. Sangat malang... aku bahkan tidak menyadari ia hadir dalam perutku." Kedua mata Gia yang memerah menatap Louis dengan tajam.
Louis terdiam, saat melihat bagaimana mata Gia berkaca-kaca, tetapi tak ada air mata yang mengalir lagi. Sudah terlalu banyak yang telah ia tumpahkan, dan setiap kata yang diucapkan Gia terasa seperti jarum yang menusuk, membawa rasa sakit yang tak tertahankan.
"Turuti saja sesuai ucapanku barusan! Hanya kau yang mengetahui perihal keguguranku, kau harus menutup mulutmu! Jika masih menyayangi nyawamu!" ancam Gia.
Sorot mata Louis berubah seketika. Matanya terbuka lebar, tetapi ia berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Napasnya tertahan sejenak, ia segera menundukkan kepalanya, menghindari tatapan langsung dari Gia.
Gia menatap Louis dengan intensitas tajam, yang membuat ruangan terasa semakin sempit dan penuh tekanan
"Aku mengetahui kekhawatiranmu soal senjata api berinisial R," ujar Gia, dengan nada sinis. "Hanya ada dua kemungkinan di sini, Louis. Satu, kau adalah mata-mata dari keluarga Romano, yang sengaja menyusup ke dalam kediaman Bianchi," ujar Gia. Matanya berkilat seolah ingin menusuk Louis dengan tatapannya. "Atau dua," lanjut Gia dengan suara yang lebih rendah namun lebih mengancam, "Kau lebih dari sekedar mata-mata biasa."
Louis berusaha tetap tenang, namun jantungnya berdebar kencang. Dia merasakan keringat dingin di pelipisnya, meskipun ia mencoba menyembunyikan rasa terkejut dan ketakutannya, matanya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap.
"Tapi..aku tidak peduli, kau bisa melanjutkan apapun itu. Kita bisa bekerja sama, mari hancurkan keluarga Bianchi sedikit demi sedikit."
Louis terkesiap, terkejut dengan perubahan sikap Gia yang tiba-tiba. Sebelum dia sempat merespons, Gia mengulurkan tangannya, meminta Louis untuk berjabat tangan. Louis mengerutkan keningnya, ragu saat melihat uluran tangan Gia.
"Aku tidak bercanda soal ini, Louis, aku akan membunuhmu jika kau mengkhianatiku sekarang." ujar Gia sembari bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan. Tangannya menyambar ke pinggang Louis, tepat di tempat di mana sarung pistol tersembunyi di balik jaketnya. Dalam sekejap, Gia sudah menarik pistol dari sarungnya dan menodongkannya ke arah Louis. Matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia sangat serius dengan ancamannya.
"B-baiklah, aku setuju, jadi turunkan senjatamu!" pekik Louis.
Gia tidak langsung menurunkan senjatanya. Dia tetap menodongkan pistol itu ke arah Louis, memastikan bahwa ancamannya benar-benar dipahami.
"Aku bilang, aku sudah mengerti!"
Setelah beberapa detik, Gia akhirnya menurunkan pistolnya, namun ia tetap menggenggamnya dengan kuat. Tangannya tidak bergetar sama sekali, menunjukkan ketenangan dan kontrol yang luar biasa.
"Kita bekerja sama," kata Gia dengan suara yang lebih tenang.
Louis mengangguk dengan cepat, napasnya masih berat dan tidak teratur. Dia menyadari bahwa Gia bukanlah seseorang yang bisa dianggap enteng. Dia lebih menakutkan dan lebih berbahaya dari yang pernah dia bayangkan.
Gia mengulurkan tangannya lagi, kali ini untuk berjabat tangan. Louis, meskipun masih ragu, akhirnya menerima uluran tangan itu..
"Baiklah," kata Gia sambil menarik kembali tangannya. "Sekarang, hubungi Marco. Setelah itu, antar aku pergi ke suatu tempat."
Louis hanya mengangguk sambil merogoh ponsel di saku celananya. Sementara Gia berjalan dengan sedikit tertatih, sembari melepas infus. Gia dapat mendengar dengan jelas ucapan Louis sesuai dengan perintahnya.
Setelah menutup telepon, Louis menoleh ke arah Gia. "Aku sudah mengabari Marco soal kondisimu, dan dia bilang akan segera kemari."
"Katakan padanya tidak perlu, karena aku akan segera pulang ke rumah."
"Baik, ada lagi yang ingin kau sampaikan?" tanya Louis
"Kau menjadi tidak sopan! Dengar..aku tidak keberatan nada bicaramu seperti ini saat kita sedang berbicara empat mata. Namun, mengingat kau sedikit ceroboh, jaga bahasamu saat kita sudah kembali ke dalam kediaman Bianchi. Mengerti?!"
"Ya... saya mengerti," jawab Louis, kali ini dengan nada yang lebih formal, memahami sepenuhnya arah pembicaraan Gia.
Setelah itu, Louis dan Gia keluar dari ruang perawatan menuju ke luar rumah sakit. Louis membuka pintu mobil untuk Gia dan membantunya masuk dengan hati-hati, memastikan Gia nyaman di kursi penumpang.
"Bagaimana dengan pihak rumah sakit? Kau bisa ketahuan jika mereka berbicara perihal keguguranmu," tanya Louis sambil memasang seatbeltnya.
"Kau tenang saja, rumah sakit ini, masuk ke dalam wilayah ku."
"Wilayah? Wilayah apa maksudmu?"
"Sudah jangan banyak tanya! Cepat jalan!" seru Gia.
Louis mengangguk singkat, meskipun masih bingung dengan ucapan Gia. Dia menyalakn mesin mobil. Pandangan Louis sesekali melirik ke arah Gia, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Mobil yang dikemudikan Louis melipir ke sebuah tempat yang mirip gudang di area pabrik yang nampak terbengkalai. Mereka memasuki kompleks yang terlihat sepi dan tertutup dari pandangan umum. Gudang tersebut tampak tua dan terlantar, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang pecah. Area parkirnya kosong, menandakan bahwa tempat ini tidak lagi aktif digunakan.
"Kau tunggu di sini! Jangan kabur!" sentak Gia, menegaskan instruksinya kepada Louis.
"Aku tidak akan kabur, tenang saja," jawab Louis dengan nada terpaksa, menatap Gia yang keluar dari mobil.
Louis memperhatikan gerak-gerik Gia dari jauh. Dia melihat Gia masuk ke dalam gudang yang terjaga oleh beberapa orang berpostur tinggi dan besar. Beberapa dari mereka bahkan membawa senjata laras panjang, menunjukkan bahwa tempat ini mungkin tidak hanya ditinggalkan, tetapi juga dijaga dengan ketat.
"Siapa dia sebenarnya?" gumam Louis.
Tak lama kemudian, Gia sudah kembali dan masuk ke dalam mobil.
"Sudah selesai? Kupikir akan lebih lama lagi?" tanya Louis, mencoba mengetahui apa yang terjadi di dalam gudang.
Gia menoleh ke arah Louis, wajahnya tampak serius. "Aku hanya mengambil ponselku, yang kutinggalkan selama hampir dua tahun," jelasnya.
Louis mengerutkan keningnya, sembari memiringkan kepalanya merasa heran dengan tindakan Gia. Namun ia memilih tidak menanyakan hal itu lebih lanjut lagi.
"Sekarang antarkan aku pulang! Mari kita mulai dramanya!" seru Gia.
Salju turun dengan deras, butiran putihnya menempel di kaca mobil yang melaju menembus malam. "Turunkan aku di sini," perintah Gia.Louis melirik Gia sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Ini masih jauh dari rumah sakit.""Siapa bilang aku akan ke rumah sakit?"Louis menghela napas, kedua tangannya tetap memegang kemudi. "Di luar sedang turun salju.""Itu hanya salju, lagipula aku..."Ckiiit!Mobil tiba-tiba mengerem mendadak, membuat tubuh Gia terhentak ke depan. Matanya membelalak, ia menoleh tajam ke arah Louis yang dengan cepat melepas sabuk pengamannya dengan gerakan kasar.Klik!Louis bergerak dengan cepat, tubuhnya sedikit berbalik menghadap Gia. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, dan dalam sekejap, moncong dingin pistol sudah mengarah tepat ke wajah Gia."Apa yang kau lakukan?!" seru Gia."Katakan, siapa kau sebenarnya?!"Gia mengangkat sebelah alisnya, sudut bibirnya melengkung sinis. "Kau... terlalu gegabah, Louis." Mata tajam Gia melirik ke arah Louis.
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj