Selama dua tahun pernikahannya dengan Marco, Gia selalu dipandang sebelah mata oleh keluarga suaminya. Ia diperlakukan seperti pembantu dan tidak pernah dihargai sebagai anggota keluarga. Namun, Gia menyembunyikan kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa di balik topeng menantu lemah. Ketika Gia mengetahui bahwa Marco dan keluarganya hanya memanfaatkan kepandaiannya dalam mengurus rumah tangga, hatinya hancur. Puncak kekecewaannya terjadi saat ia menemukan bukti bahwa Marco berselingkuh. Merasa dikhianati, Gia memutuskan untuk membalas semua perlakuan buruk yang ia terima.
Lihat lebih banyakGianna Ricci, atau yang biasa dipanggil Gia, menantu keluarga kaya raya Bianchi yang berdarah bangsawan, berdiri di dapur besar rumah Bianchi. Gia mengikat rambut pirangnya yang panjang ala kuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan kulitnya yang pucat. Mata cokelatnya yang besar dan berbinar-binar, kini tampak lelah dan penuh pikiran. Sesekali ia menyeka keringat dari dahinya saat dia memasak untuk makan malam keluarga besar Bianchi.
"Malam ini sebaikanya kau tidur di dapur! Besok adalah pesta ulang tahun Bella, aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun terutama bagian makanan! Jangan lupa, dia alergi kacang-kacangan, mengerti?!"
Gia mengangguk patuh ketika Sophia Rossi, ibu mertuanya, memberikan perintah dengan nada tegas. Dia tidak berani menatap mata Sophia terlalu lama, takut melihat ketidakpuasan yang mungkin terpancar di sana. Di sudut ruangan, Bella Milana, istri dari Leonardo Bianchi, adik dari suaminya Marco Bianchi, sedang berdiri, mengamati kejadian di dapur dengan senyum tipis di wajahnya. Meskipun baru tahun pertama Bella berada di rumah megah ini, kehadirannya sudah begitu dominan. Bella berasal dari keluarga Milana yang tak kalah kayanya dengan keluarga Bianchi.
Kontrasnya, perlakuan Sophia kepada Gia jauh berbeda. Gia, meskipun menyandang status menantu di keluarga terpandang ini, tak pernah merasakan kasih sayang ataupun penghormatan yang seharusnya dia terima. Semua ini hanya karena latar belakangnya yang berasal dari keluarga sederhana. Tiap hari, Gia lebih banyak menghabiskan waktunya di dapur besar yang dingin, sibuk memotong sayuran, mengaduk sup, dan memastikan setiap hidangan tersaji sempurna.
Sambil memasak, pikirannya melayang pada hari-hari pertama dia tinggal di rumah ini. Bagaimana setiap gerak-geriknya diawasi, dan setiap kesalahan kecil dibesar-besarkan. Tidak hanya di dapur, Gia juga bertanggung jawab membersihkan seluruh rumah yang luas ini. Lantai marmer yang berkilauan, jendela-jendela besar yang harus selalu bebas dari debu, serta perabotan antik yang membutuhkan perawatan khusus.
Selain itu, setiap pagi dan sore, Gia akan memberi makan burung-burung peliharaan Victor Bianchi, ayah mertuanya, di aviary besar di taman belakang. Dengan telaten, dia akan membuka kandang, mengisi tempat makan mereka dengan biji-bijian dan buah segar, sambil mengamati burung-burung, sesekali ia mengajak mereka berbicara karena hanya kepada burung-burung itulah Gia merasa bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri.
Ketika akhirnya makan malam siap dihidangkan, Gia merasa tubuhnya lelah luar biasa. Dia menyeka keringat dari dahinya, berharap bisa beristirahat sejenak. Namun, dia tahu tugasnya belum selesai. Dia harus mengatur meja makan dengan sempurna, memastikan setiap piring, gelas, dan sendok garpu berada di tempatnya, di bantu Elissa dan Maria pelayan keluarga Bianchi yang baik terhadapnya. Gia mundur beberapa langkah, berdiri tidak jauh dari meja makan.
Satu per satu, anggota keluarga Bianchi mulai berdatangan dan duduk di kursi mereka. Victor Bianchi menduduki kursi kepala meja, diikuti oleh istrinya, Sophia Rossi. Bella Milana masuk ia mengenakan gaun malam yang terlihat elegan. Leonardo Bianchi, adik Marco, juga ikut bergabung, dengan penampilan yang selalu rapi.
Lalu, suaminya Marco Bianchi memasuki ruang makan. Marco adalah pria yang memikat dengan penampilan yang selalu menarik perhatian. Rambutnya yang pirang disisir rapi ke belakang, memberi kesan klimis dan terawat. Di bawah cahaya lembut ruangan, rambutnya tampak berkilauan, menambah pesona aristokratnya. Dia memiliki wajah yang tegas dengan garis rahang yang jelas, hidung mancung, dan mata biru yang tajam, hal inilah yang memikat Gia dua tahun yang lalu.
Marco yang dulu ia kenal adalah pria lembut dan penyayang, berbanding terbalik dengan sikapnya sekarang. Tepatnya, sudah hampir setahun Marco mulai bersikap buruk dan kasar. Semua tindakan Marco akan sesuai dengan moodnya, jika sedang bagus, ia akan memperlakukan Gia dengan baik, tapi jika moodnya sedang buruk, Marco tidak akan segan memukul dan mengumpat, apalagi jika berkaitan dengan bisnis yang dikelolanya mengalami masalah seperti kejadian semalam.
"Sialan! Beraninya Edward mensabotase proyek yang sedang kutangani!" seru Marco, ia membanting gelas anggur di tangannya hingga pecah berkeping-keping di lantai.
"Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja. Dia akan menyesal telah bermain-main denganku!"
Gia hanya bisa berdiri di sudut ruangan, merasa ngeri dan cemas, berusaha menghindari pandangan suaminya yang sedang murka.
"Kemarilah Gia! Aku butuh sentuhan penenang!" desak Marco, suaranya penuh amarah, sementara dia membuka kancing kemejanya satu per satu dengan gerakan kasar. Setiap kancing yang terbuka mengekspos lebih banyak lagi otot tubuhnya.
Deg! Deg!
Gia merasa jantungnya berdegup kencang, namun dia tidak berani menolak perintah suaminya. Dengan hati-hati, dia melangkah mendekat. Marco segera merengkuh tubuh Gia dengan kasar, mencium pipinya sekilas dengan bibir yang kasar.
"Cih! Sialan! Kenapa kau bau tidak enak! Dasar wanita jorok! Kau membuat nafsuku hilang seketika!" bentak Marco dengan nada tajam, membuat Gia merasa seperti seorang terdakwa di pengadilan yang sedang diserang habis-habisan.
Gia merunduk, tubuhnya bergetar karena ketakutan.
"M..maaf! Aku baru saja memotong bawang bombay dan belum sempat membersihkan tubuhku, karena banyaknya pekerjaan di dapur dan..." ucap Gia terbata-bata, mencoba memberikan penjelasan.
"Maksudmu, kau menyalahkan keluargaku karena menyuruhmu melakukan hal itu! Jangan banyak alasan! Bilang saja kau hanya malas merawat dirimu sendiri! Lihatlah, rambut berminyak dan berantakan itu! Sungguh, kau sangat menjijikan Gia!" hina Marco, suaranya penuh dengan kebencian dan kekejaman, menyulut api kemarahan di dalam diri Gia.
Gia merasakan harga dirinya hancur berkeping-keping, tidak hanya oleh kata-kata kasar Marco, tetapi juga oleh perasaan terasing dan tidak dihargai di rumah ini.
Marco melirik ke arah Gia sekilas, ia mengangguk. Melihat reaksi Marco saat ini sepertinya moodnya sedang bagus.
"Marco, apa kau sudah menghubungi Helena?" tanya Sophia sambil memotong daging dengan pisau tajam lalu memasukkan potongan daging itu ke dalam mulutnya.
"Sudah, Ibu. Helena akan hadir besok," jawab Marco dengan nada tenang.
Sophia mengangguk, tampak puas dengan jawaban putranya.
"Pastikan kau merayu Helena dengan benar. Besok, aku akan membuat Gia, si wanita tidak berguna itu seharian di dapur! Kau, bebas melakukan apapun," kata Sophia, sambil mengerlingkan matanya ke arah Marco.
Marco hanya terdiam, menatap Sophia sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Victor, ayahnya, yang duduk di ujung meja. Victor mengelus janggutnya yang mulai memutih.
"Keluarga Gall cukup berpengaruh, satu kesalahan saja bisa sangat fatal. Manfaatkan Helena dengan baik, dia juniormu di San Pietro bukan?" tanya Victor dengan suara beratnya.
Marco mengangguk, mengingat kembali masa-masa di San Pietro.
"Benar, dia juniorku," jawab Marco sambil melirik ke arah Gia yang berdiri di sudut ruangan.
Usai makan malam, Gia sibuk mencuci piring di dapur, suara air yang mengalir dan piring-piring yang berbenturan memenuhi ruangan. Elissa mendekat, menyenggol bahu Gia dengan lembut. "Istirahatlah, biar aku yang lanjutkan. Tuan Marco sepertinya mau mengajakmu berbicara," bisiknya.
Gia mengangguk dan membilas tangannya sebelum berbalik. Dia terkejut mendapati Marco berdiri tidak jauh darinya, tengah menghisap cerutu dengan tenang. Asap tipis mengepul, mengisi udara dapur dengan aroma tembakau yang khas.
"Ada apa? Tidak biasanya kau menemuiku di dapur?" tanya Gia, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
Marco hanya menatap Gia sambil memainkan cerutu di tangannya, menghisapnya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap perlahan.
"Malam ini, aku tidak tidur di kamar. Ibu menyuruhku tidur di dapur," kata Gia dengan nada lirih, seolah ingin berbagi cerita dengan Marco.
"Oh..." ujar Marco sambil menatap Gia dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia mengulurkan cerutunya ke arah Gia, membuat sudut mata Gia langsung mencari keberadaan asbak. Namun, tangan Marco dengan cekatan langsung meraih tangan Gia
"Akh!" Gia meringis kesakitan saat Marco dengan kejam menggunakant telapak tangannya untuk mematikan cerutu yang masih menyala. Rasa panas dan perih segera menjalar di telapak tangannya.
Marco tidak melepaskan tatapannya dari Gia, ia menekan tangan Gia dengan lebih kuat ke atas bara cerutu.
"Kau tahu, Gia," kata Marco dengan suara rendah namun penuh ancaman, "di rumah ini, kau harus tahu tempatmu. Jangan bersikap seolah, aku ini adalah teman curhatmu! Kau...hanyalah pemuas hasratku!"
Gia menahan air mata yang hampir jatuh, mencoba menahan rasa sakit yang semakin intens. Saat akhirnya Marco melepaskan genggamannya, Gia menarik tangannya dengan cepat, meniup kulit yang terbakar dengan napas terburu-buru.
Marco hanya mengangkat alis, seolah-olah apa yang baru saja terjadi adalah hal sepele. "Ingat itu!"
Salju turun dengan deras, butiran putihnya menempel di kaca mobil yang melaju menembus malam. "Turunkan aku di sini," perintah Gia.Louis melirik Gia sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Ini masih jauh dari rumah sakit.""Siapa bilang aku akan ke rumah sakit?"Louis menghela napas, kedua tangannya tetap memegang kemudi. "Di luar sedang turun salju.""Itu hanya salju, lagipula aku..."Ckiiit!Mobil tiba-tiba mengerem mendadak, membuat tubuh Gia terhentak ke depan. Matanya membelalak, ia menoleh tajam ke arah Louis yang dengan cepat melepas sabuk pengamannya dengan gerakan kasar.Klik!Louis bergerak dengan cepat, tubuhnya sedikit berbalik menghadap Gia. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya, dan dalam sekejap, moncong dingin pistol sudah mengarah tepat ke wajah Gia."Apa yang kau lakukan?!" seru Gia."Katakan, siapa kau sebenarnya?!"Gia mengangkat sebelah alisnya, sudut bibirnya melengkung sinis. "Kau... terlalu gegabah, Louis." Mata tajam Gia melirik ke arah Louis.
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen