Lavanya memandang layar ponselnya tanpa berkedip. Tidak ada tanda tanya. Tidak ada basa-basi. Hanya sekadar pengenalan. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang.
Jari-jemari Lavanya gemetar saat hendak mengirim balasan. Namun ia kembali menghapus huruf-huruf yang telah diketiknya.
Pesan itu tidak perlu dibalas. Karena mungkin Danish hanya sekadar ingin memberitahu nomornya.
Handphonenya kembali berdenting. Kali ini pesan dari Nadia yang memberitahu ada meeting siang ini.
Lavanya mengesahkan napas. Ia harus kembali ke kantor sekarang.
Ketukan high heels Lavanya yang bertemu dengan lantai menimbulkan bunyi tersendiri.
Saat ia masuk ke kantornya ia menemukan keadaan yang sunyi. Ia memang telat hampir setengah jam akibat pulang ke rumah tadi.
Ia menggegas langkahnya ke ruang meeting.
"Maaf, saya terlambat, Pak," kata Lavanya pada Herman—atasannya.
Semua mata tertuju pada Lavanya, termasuk Danish. Lavanya pikir lelaki itu sudah pergi, nyatanya masih ada di sini.
Herman menatap Lavanya tajam. Membuat Lavanya merasa sedikit terintimidasi. "Kenapa terlambat?"
"Maaf, Pak, saya tidak tahu ada meeting siang ini. Tadi ada sedikit urusan di rumah yang harus saya selesaikan."
"Mau ada meeting atau tidak seluruh karyawan di sini wajib tepat waktu, termasuk kamu!" suara Herman meninggi.
"Maaf, Pak. Lain kali tidak akan saya ulangi," jawab Lavanya sambil menggenggam erat tali tasnya.
"Pak Herman, lebih baik kita suruh Lavanya duduk dulu," sela Danish menengahi. "Lagi pula yang penting bukan telat atau tidaknya, Pak. Tapi hasil kerja karyawan."
Herman akhirnya mengalah, mengikuti perintah atasannya. "Duduk, Lavanya," suruhnya.
Lavanya segera menarik kursi lalu duduk di sana. Ia bisa merasakan tatapan para rekan kerjanya padanya. Namun alih-alih memikirkannya, Lavanya lebih memilih mengabaikannya.
Sedangkan Danish tetap terlihat tenang, seakan kejadian tadi bukanlah masalah yang besar. Ia kembali membahas materi penting, membahas strategi baru proyek mereka.
Lavanya tidak dapat mengabaikan rasa terima kasih yang tumbuh di hatinya. Danish tidak wajib membelanya, namun ia melakukan itu.
Sesekali Lavanya melirik ke arah Danish yang terlihat fokus. Begitu pun dengan pria tersebut yang juga sesekali memandang Lavanya, seakan sedang memastikan bahwa Lavanya baik-baik saja.
Setelah meeting berakhir para peserta keluar satu per satu. Lavanya segera mengemasi barang-barangnya. Ia ikut keluar. Sementara itu Danish tampak sedang berbicara dengan Herman dan Ratna. Beberapa saat kemudian ponsel Danish berbunyi. Pria itu menjawabnya dan menyuruh Herman dan Ratna untuk duluan.
"Lavanya, tunggu dulu!"
Langkah Lavanya terhenti ketika mendengar suara Danish memanggilnya. Ternyata Danish sudah selesai menelepon.
Lavanya menunggu Danish yang mendekatinya dengan perasaan canggung.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya lelaki itu.
Lavanya termangu sesaat lalu menganggukkan kepalanya. "Nggak apa-apa, Pak. Makasih tadi udah belain saya."
Danish tersenyum kecil.
"Saya duluan, Pak," ucap Lavanya canggung. Tidak baik berlama-lama dengan lelaki itu.
"Sebentar, Lavanya!" seru Danish ketika Lavanya hendak melanjutkan langkahnya.
"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" kata Lavanya dengan gaya komunikasi formal walaupun Danish sudah berbicara dengan nada santai padanya.
"Sore nanti aku akan kembali ke Jakarta," kata Danish. Pria itu lalu terdiam sejenak, menunggu reaksi Lavanya.
'Apa hubungannya denganku?' tanya Lavanya di dalam hatinya. Ia tidak butuh informasi mengenai schedule Danish. Lelaki itu tidak perlu melaporkan padanya.
Danish masih terdiam berdetik-detik menunggu reaksi Lavanya.
"Oh, hati-hati di jalan, Pak," ucap Lavanya akhirnya.
Danish menatap Lavanya begitu dalam, tapi Lavanya menunduk. Danish ikut menunduk, mencoba menemukan sesuatu dari Lavanya. Tapi tidak ada cincin di jari manis perempuan itu.
Apa Lavanya masih sendiri?
Entah mengapa Danish merasa lega di dalam hati karena tidak ada ada cincin di jari Lavanya. Itu artinya wanita itu masih bebas. Tidak terikat dengan siapa pun.
"Pak, kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi saya masuk ke ruangan dulu. Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan," pamit Lavanya.
Danish mengangguk sambil tersenyum tipis.
Lavanya buru-buru pergi dari sana. Langkahnya begitu cepat seperti orang dikejar setan.
**
Epilog - Rumah Bernama Cinta Suara dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang berlarian di halaman memecah keheningan pagi yang dingin. Mereka terus berlari sambil tertawa mengejar gelembung sabun yang melayang-layang di udara.Di atas kursi rotan di depan rumah, Danish duduk diam, mengamati dari jauh. Matanya yang teduh menyimpan beribu kenangan. Pikirannya mulai berkelana, menemui dirinya tiga tahun yang lalu. Pada malam yang mengubah segalanya.Malam itu Danish mengajak Lavanya ke rumah mewahnya untuk berbicara dengan kedua orang tuanya."Pulang juga kamu akhirnya," suara Ophelia menyambut Danish. Bibirnya mengukir senyum penuh kemenangan. Wanita itu pikir setelah pembicaraan mereka tadi siang Lavanya akhirnya menyerah lalu pergi selamanya dari kehidupan Danish. Ia yakin sepenuhnya akan hal itu. Danish juga membenci Lavanya dan tidak akan memaafkannya setelah menyaksikan pemandangan menyakitkan di kafe.Danish dan Lavanya tidak akan tahu bahwa pertemuan dengan Ronald di kaf
Lavanya terengah keluar dari kafe. Titik-titik hujan menampar-nampar wajahnya. Pikirannya penuh oleh wajah Danish. Tatapan penuh luka lelaki itu jauh membuatnya tersiksa. Lavanya lebih suka jika Danish berteriak memakinya ketimbang perlakuan yang didapatnya dari Danish tadi.Langkahnya terhenti tepat di pintu apartemen. Barangkali setelah ini ia tidak akan melihat Danish lagi di dalam sana. Setelah apa yang terjadi Lavanya yakin jika Danish pergi dari hidupnya. Ia tidak akan menemukan lagi barang-barang lelaki itu di dalam apartemennya. Tidak ada lagi orang yang setiap malam tidur di sofa. Atau bermain pura-pura menjadi keluarga dengan anaknya.Lavanya menghela napas. Pandangannya kemudian tertuju ke unit sebelah. Sempat terniat untuk menjemput Belia. Tapi detik berikutnya Lavanya berubah pikiran. Lebih baik ia mandi dulu dan menenangkan diri. Setelahnya barulah menjemput sang putri.Tangannya gemetar saat menekan beberapa digit angka yang merupakan password apartemennya.Lavanya mel
Senja itu sepulang kerja Lavanya melangkah masuk ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kantornya. Ia berjanji bertemu dengan Danish di sana.Danishlah yang ingin berjumpa dengannya. Bukan Lavanya.Sejak pergi makan siang dengan Agatha, pria itu tidak kembali ke kantor. Ia hanya mengirimi Lavanya pesan yang berisi ajakan untuk bertemu. Padahal mereka tidak perlu bertemu di luar. Mereka berjumpa setiap hari di apartemen.Sembari menyesap hazelnut latte-nya, Lavanya memandang titik-titik hujan yang meluncur di luar sana melalui jendela kaca kafe.Sudah tiga puluh menit berlalu dari waktu yang ditentukan. Namun, Danish masih belum datang.Lavanya mengecek ponselnya. Kalau saja ada pesan baru atau panggilan tak terjawab dari Danish. Namun, yang ia temukan hanya pesan ajakan bertemu yang diterimanya beberapa jam yang lalu.Lavanya kemudian mengirimi Danish pesan. Mengatakan bahwa dirinya sudah berada di kafe. Tidak ada jawaban dari lelaki itu.Mungkinkah dia sedang sibuk dengan Agath
Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja. Danish benar-benar tinggal di apartemen Lavanya. Ia tidur di sofa setiap malam. Bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Ia juga memastikan keadaan Lavanya dan Belia baik-baik saja. Namun, bagi Lavanya yang paling membuat sesak dari semua itu adalah Danish yang terlalu sempurna dari peran yang dulu Lavanya inginkan dari Erik. Belia sangat dekat dengan Danish. Bahkan kini memanggilnya dengan sebutan 'Papa Danish' ketika keduanya bermain pura-pura menjadi keluarga di living room apartemen mereka. Suatu malam ketika Lavanya pulang lebih larut dari biasanya karena ada pekerjaan yang harus ada diselesaikan, ia mendapati Danish tertidur di sofa sambil memegang buku cerita anak-anak. Sedangkan tangannya yang lain pria itu jadikan bantal untuk Belia. Irama napas putri kecilnya menyatu dengan ritme tenang napas Danish. Mereka terlihat bagaikan ayah dan anak sesungguhnya. Lavanya mematung melihat pemandangan itu. In
Malam itu pintu apartemen Lavanya diketuk berkali-kali. Lavanya yang sedang mengemasi barang-barang dan memasukkan ke dalam koper terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sejenak. Lavanya berniat untuk pergi dari apartemen yang dipinjamkan Danish sebagai tempat tinggalnya. Ia sudah memutuskan untuk keluar dari hidup Danish. Jadi ia tidak akan tanggung-tanggung.Lavanya melangkah ke arah pintu. Ia mengintip dari kaca kecil.Jantungnya menghentak ketika tahu siapa tamu di luar sana.Danish.Untuk apa lelaki itu datang malam-malam begini?Ah iya, itu, kan, memang kebiasaannya. Setiap pulang kerja Danish tidak langsung pulang ke rumah, tapi ke apartemen Lavanya dulu.Lavanya mengembuskan napas. Ia sedang malas bertemu dengan Danish. Lavanya tidak ingin membuat keadaan sulit ini semakin rumit. Tapi untuk saat ini menghindari Danish bukanlah cara yang tepat. Akhirnya Lavanya memutuskan untuk membuka pintu walau sebenarnya Danish bisa langsung masuk karena dia mengetahui password apartemen
Setelah lama bermenung memikirkan cara untuk mempertahankan Lavanya, sebuah ide cemerlang melintas di pikiran Danish.Ia sudah lama menunggu Lavanya kembali ke pelukannya. Dan setelah perempuan itu berada di tangannya, Danish tidak semudah itu untuk melepaskan.Diambilnya gagang telepon, didekatkannya ke telinga. "Lavanya, ke ruanganku sekarang," perintahnya begitu panggilannya mendapat sambutan.Tidak kurang dari dua menit Lavanya tiba dan duduk di seberang Danish."Ada apa Bapak memanggil saya?""Aku sudah baca surat pengunduran diri kamu. Dan jawabannya adalah tidak. Kalaupun kamu bersikeras ingin resign ada syarat yang harus dipenuhi.""Syarat apa, Pak?" Lavanya bertanya antusias.Danish menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya terlipat di dada. "Syaratnya sederhana. Selama satu bulan ke depan kita tinggal bersama. Entah di apartemenmu atau di apartemenku. Biar kutunjukkan alasannya kenapa kamu nggak boleh pergi."Lavanya terperangah. "Apa maksud Bapak?""Selama satu