Lavanya tampak terkejut. Ia pikir pria itu sudah pergi, ternyata masih berada di kantornya.
"Iya, Pak? Tentang uang tadi—"
"Aku nggak membahas uang, Nya," potong Danish cepat sebelum Lavanya selesai dengan perkataannya.
"Jadi, Bapak mau apa?"
"Nggak usah seformal itu ngomong sama aku, Nya. Aku masih Danish yang dulu."
Mata Lavanya mengelana ke sekitar, khawatir ada orang di dekat mereka yang mendengar percakapan itu.
Para rekan kerjanya pasti akan menggosip jika tahu Lavanya bicara berdua dengan Danish.
"Maaf, Pak, kita lagi di kantor dan saya nggak mau orang-orang salah mengartikan keberadaan Bapak di dekat saya," jawab Lavanya sopan.
"Memangnya mereka mau mengartikan bagaimana?"
Lavanya terdiam karenanya. Ia mulai resah lantaran terlalu lama berdekatan dengan Danish.
Danish tersenyum tipis melihat Lavanya yang jelas-jelas gelisah, seolah ia menikmati reaksi perempuan itu.
"Aku cuma mau ngajak kamu makan siang, Nya."
Lavanya bertambah grogi. Ia tidak mungkin makan siang dengan Danish. Namun, sebelum ia sempat menolak, Danish sudah mengimbuhkan.
"Anggap saja sebagai reuni atas pertemuan kita."
"Maaf, Pak, saya nggak bisa. Saya masih ada urusan," tolak Lavanya.
"Oke. Jadi bisanya kapan?"
"Saya nggak tahu, Pak. Saya nggak bisa."
Danish tersenyum sekali lagi. Ia sadar betul bahwa Lavanya sedang menghindar darinya.
"Baik. Aku nggak akan memaksa. Tapi kalau boleh tahu, gimana kabarmu?"
"Saya baik."
"Syukurlah."
Lavanya mengangguk. "Kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi saya permisi, Pak," ucap Lavanya cepat sebelum Danish memperpanjang percakapan.
Danish belum sempat menjawab. Lavanya sudah melesat dengan cepat. Ia menaiki sepeda motornya lalu melaju dengan kencang.
Danish terpaku di tempatnya memandangi kepergian Lavanya. Banyak hal yang ingin ia ketahui mengenai perempuan itu.
**
Lavanya tiba di sekolah Belia dan mendapati anaknya hanya tinggal sendiri. Semua temannya sudah pulang. Hanya ada guru yang menemani.
Sebenarnya Yosi juga bersekolah di sana, tapi Iris tidak mau membawa Belia pulang dengan alasan harus menjemput Yoga yang duduk di kelas satu SD.
"Maaf, Bu, saya nggak tahu kalau Belia belum dijemput."
Lavanya tidak enak hati pada guru Belia.
"Tidak apa-apa, Bu. Kebetulan saya juga belum pulang."
Lavanya kemudian membuka tas dan mengambil uang dua ratus lima puluh ribu rupiah dari sana. Ia memberikannya pada guru Belia.
"Bu, ini uang SPP Belia. Maaf terlambat."
"Terima kasih ya, Bu." Guru Belia menerima uang tersebut.
Setelah berpamitan, Lavanya membawa Belia pulang ke rumah.
"Kenapa Mama yang jemput? Memangnya Papa ke mana, Ma?" tanya anak itu.
"Mama nggak tahu, Sayang. Mama telepon Papa tapi nggak dijawab."
"Apa Papa lupa ya jemput aku?"
"Nggak, Papa nggak lupa. Mungkin Papa lagi sibuk," jawab Lavanya menenangkan sang putri. Lavanya selalu menjaga agar Erik selalu terlihat baik di mata anaknya.
"Papa sibuk apa, Ma?" tanya Belia lagi yang belum puas atas jawaban Lavanya.
"Nanti kita lihat di rumah ya."
Tanpa perlu sampai ke rumah, Lavanya sudah bisa menebak apa yang dilakukan Erik saat ini. Kalau bukan tidur, pasti main game.
Dugaan Lavanya ternyata tidak salah. Setibanya di rumah, ia melihat Erik masih terlelap dengan pulas tanpa sadar saat ini sudah tengah hari.
Lavanya membuang napas. Perasaan kesal merambati hatinya. Di saat ia sibuk mencari nafkah dan mengurus anak mereka, suaminya malah enak-enakan tidur di rumah.
Lavanya duduk di tepi tempat tidur lalu membangunkan Erik. "Mas, bangun. Udah siang, Mas."
Pria itu menggeliat, lalu membuka matanya sambil berdecak. "Apa sih kamu? Masa aku mau tidur bentar nggak boleh?!"
"Sebentar? Tapi kamu udah tidur dari dini hari tadi dan sekarang udah siang, Mas—"
"Tapi aku masih ngantuk! Kamu berisik banget tahu nggak?!"
"Makanya jangan begadang terus, Mas…."
Mata Erik langsung terbuka lebar, tampak marah menatap Lavanya.
"Kamu udah pandai ngelawan sekarang, hah?!" sentaknya dengan suara naik satu oktaf.
Lavanya mengatupkan rahangnya, mencoba menahan emosi yang meluap-luap.
"Bukan begitu maksud aku, Mas...."
Erik menguap malas lalu mengacak rambutnya kesal. Tanpa menunggu Lavanya menyelesaikan ucapannya, Erik bangkit dari tempat tidur lalu pergi ke kamar mandi.
Lavanya mengusap wajahnya. Sudut-sudut matanya menghangat seolah ingin menangis.
Lavanya tak sengaja melihat handphone Erik yang bergetar di atas tempat tidur.
Ia meraih benda itu. Dari bilah notifikasi, ia melihat pemberitahuan top up game senilai dua ratus ribu rupiah.
Di detik itu Lavanya teringat uangnya yang hilang.
Jantungnya seketika berdegup kencang. Apa mungkin Erik yang mengambil uangnya?
Perhatian Lavanya teralihkan saat kini ponselnya yang berdenting.
Ada pesan dari nomor tak dikenal.
'Lavanya, ini Danish.'
Hati Lavanya mencelos.
**
Epilog - Rumah Bernama Cinta Suara dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang berlarian di halaman memecah keheningan pagi yang dingin. Mereka terus berlari sambil tertawa mengejar gelembung sabun yang melayang-layang di udara.Di atas kursi rotan di depan rumah, Danish duduk diam, mengamati dari jauh. Matanya yang teduh menyimpan beribu kenangan. Pikirannya mulai berkelana, menemui dirinya tiga tahun yang lalu. Pada malam yang mengubah segalanya.Malam itu Danish mengajak Lavanya ke rumah mewahnya untuk berbicara dengan kedua orang tuanya."Pulang juga kamu akhirnya," suara Ophelia menyambut Danish. Bibirnya mengukir senyum penuh kemenangan. Wanita itu pikir setelah pembicaraan mereka tadi siang Lavanya akhirnya menyerah lalu pergi selamanya dari kehidupan Danish. Ia yakin sepenuhnya akan hal itu. Danish juga membenci Lavanya dan tidak akan memaafkannya setelah menyaksikan pemandangan menyakitkan di kafe.Danish dan Lavanya tidak akan tahu bahwa pertemuan dengan Ronald di kaf
Lavanya terengah keluar dari kafe. Titik-titik hujan menampar-nampar wajahnya. Pikirannya penuh oleh wajah Danish. Tatapan penuh luka lelaki itu jauh membuatnya tersiksa. Lavanya lebih suka jika Danish berteriak memakinya ketimbang perlakuan yang didapatnya dari Danish tadi.Langkahnya terhenti tepat di pintu apartemen. Barangkali setelah ini ia tidak akan melihat Danish lagi di dalam sana. Setelah apa yang terjadi Lavanya yakin jika Danish pergi dari hidupnya. Ia tidak akan menemukan lagi barang-barang lelaki itu di dalam apartemennya. Tidak ada lagi orang yang setiap malam tidur di sofa. Atau bermain pura-pura menjadi keluarga dengan anaknya.Lavanya menghela napas. Pandangannya kemudian tertuju ke unit sebelah. Sempat terniat untuk menjemput Belia. Tapi detik berikutnya Lavanya berubah pikiran. Lebih baik ia mandi dulu dan menenangkan diri. Setelahnya barulah menjemput sang putri.Tangannya gemetar saat menekan beberapa digit angka yang merupakan password apartemennya.Lavanya mel
Senja itu sepulang kerja Lavanya melangkah masuk ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kantornya. Ia berjanji bertemu dengan Danish di sana.Danishlah yang ingin berjumpa dengannya. Bukan Lavanya.Sejak pergi makan siang dengan Agatha, pria itu tidak kembali ke kantor. Ia hanya mengirimi Lavanya pesan yang berisi ajakan untuk bertemu. Padahal mereka tidak perlu bertemu di luar. Mereka berjumpa setiap hari di apartemen.Sembari menyesap hazelnut latte-nya, Lavanya memandang titik-titik hujan yang meluncur di luar sana melalui jendela kaca kafe.Sudah tiga puluh menit berlalu dari waktu yang ditentukan. Namun, Danish masih belum datang.Lavanya mengecek ponselnya. Kalau saja ada pesan baru atau panggilan tak terjawab dari Danish. Namun, yang ia temukan hanya pesan ajakan bertemu yang diterimanya beberapa jam yang lalu.Lavanya kemudian mengirimi Danish pesan. Mengatakan bahwa dirinya sudah berada di kafe. Tidak ada jawaban dari lelaki itu.Mungkinkah dia sedang sibuk dengan Agath
Hari-hari berikutnya berjalan begitu saja. Danish benar-benar tinggal di apartemen Lavanya. Ia tidur di sofa setiap malam. Bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Ia juga memastikan keadaan Lavanya dan Belia baik-baik saja. Namun, bagi Lavanya yang paling membuat sesak dari semua itu adalah Danish yang terlalu sempurna dari peran yang dulu Lavanya inginkan dari Erik. Belia sangat dekat dengan Danish. Bahkan kini memanggilnya dengan sebutan 'Papa Danish' ketika keduanya bermain pura-pura menjadi keluarga di living room apartemen mereka. Suatu malam ketika Lavanya pulang lebih larut dari biasanya karena ada pekerjaan yang harus ada diselesaikan, ia mendapati Danish tertidur di sofa sambil memegang buku cerita anak-anak. Sedangkan tangannya yang lain pria itu jadikan bantal untuk Belia. Irama napas putri kecilnya menyatu dengan ritme tenang napas Danish. Mereka terlihat bagaikan ayah dan anak sesungguhnya. Lavanya mematung melihat pemandangan itu. In
Malam itu pintu apartemen Lavanya diketuk berkali-kali. Lavanya yang sedang mengemasi barang-barang dan memasukkan ke dalam koper terpaksa menghentikan aktivitasnya untuk sejenak. Lavanya berniat untuk pergi dari apartemen yang dipinjamkan Danish sebagai tempat tinggalnya. Ia sudah memutuskan untuk keluar dari hidup Danish. Jadi ia tidak akan tanggung-tanggung.Lavanya melangkah ke arah pintu. Ia mengintip dari kaca kecil.Jantungnya menghentak ketika tahu siapa tamu di luar sana.Danish.Untuk apa lelaki itu datang malam-malam begini?Ah iya, itu, kan, memang kebiasaannya. Setiap pulang kerja Danish tidak langsung pulang ke rumah, tapi ke apartemen Lavanya dulu.Lavanya mengembuskan napas. Ia sedang malas bertemu dengan Danish. Lavanya tidak ingin membuat keadaan sulit ini semakin rumit. Tapi untuk saat ini menghindari Danish bukanlah cara yang tepat. Akhirnya Lavanya memutuskan untuk membuka pintu walau sebenarnya Danish bisa langsung masuk karena dia mengetahui password apartemen
Setelah lama bermenung memikirkan cara untuk mempertahankan Lavanya, sebuah ide cemerlang melintas di pikiran Danish.Ia sudah lama menunggu Lavanya kembali ke pelukannya. Dan setelah perempuan itu berada di tangannya, Danish tidak semudah itu untuk melepaskan.Diambilnya gagang telepon, didekatkannya ke telinga. "Lavanya, ke ruanganku sekarang," perintahnya begitu panggilannya mendapat sambutan.Tidak kurang dari dua menit Lavanya tiba dan duduk di seberang Danish."Ada apa Bapak memanggil saya?""Aku sudah baca surat pengunduran diri kamu. Dan jawabannya adalah tidak. Kalaupun kamu bersikeras ingin resign ada syarat yang harus dipenuhi.""Syarat apa, Pak?" Lavanya bertanya antusias.Danish menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya terlipat di dada. "Syaratnya sederhana. Selama satu bulan ke depan kita tinggal bersama. Entah di apartemenmu atau di apartemenku. Biar kutunjukkan alasannya kenapa kamu nggak boleh pergi."Lavanya terperangah. "Apa maksud Bapak?""Selama satu