Jangan ceritakan,cukup diam dan rasakan
(NAYRA)
****
Nayra berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang tak memiliki keistimewaan sedikit pun, tapi entah kenapa Nayra begitu nyaman memandanginya. Dia merasakan tubuhnya teramat sangat lelah, padahal disekolah pun ia tak melakukan aktifitas yang aneh, hanya diam di kelas, kekantin dan perpustakaan,tak ada lagi kegiatan lain. Bahkan pulang sekolah pun ia langsung kerumah, untuk pertama kalinya ia seharian didalam rumah,yang ia rasakan hanya kebosanan. Biasanya, dia akan pulang terlambat, atau pulang untuk mengganti pakaian dan kembali keluar bersama teman-temannya. Lebih memilih menghabiskan waktunya diluar rumah, bermain atau kesuatu tempat hingga larut malan.
Tok..tok..tok..
Suara ketukan di pintu membuat pandangan Nayra teralihkan, ia bangun dari baringnya dan berjalan gontai untuk membukakan pintu.
"Apa?" tanya Nayra datar.
"Udah waktunya makan malam, kamu udah isyaan kan?" tanya Naura.
Nayra mendelikkan matanya "harus banget ya gue jawab?" jawab Nayra.
Naura diam dan menggelengkan kepalanya, memaklumi karena sudah terbiasa. Kadang Nayra enggan walau untuk membuka pintu, tapi hari ini adiknya itu mau membukanya.
"Umi,abi sama bang Rafka udah nungguin, ayok kita ke bawah?" ajak Naura.
"Heemm.." gumam Nayra malas.
Mereka menuruni tangga dan berjalan kearah dapur yang dimana keluarga nya sudah berkumpul , dan dengan kehadiran Nayra,keluarga sudah komplit.
"Assalamualaikum!" salam Naura saat memasuki ruangan dapur, sedangkan Nayra langsung menempati tempat duduknya.
"Waalaikumussalam" jawab abi,umi dan Rafka. Naura pun ikut duduk disamping Nayra.
Nayra dengan lancangnya langsung saja mengambil nasi dan lauk pauknya, tanpa disadari mata semua orang sedang mengarah padanya, apalagi tatapan Rafka yang tak suka. Nayra tidak terlalu memperdulikan, dia lebih sering makan sendirian, sesudah atau sebelum keluarganya, dia bahkan merasa tidak nyaman jika berkumpul seperti ini. Walau ingin, tetap saja dirinya harus berhati-hati jika tidak ingin perdebatan kembali menghancurkan suasana. Bisa dihitung jari berapa kali dia ikut makan bersama, dan malam ini untuk kesekian kalinya.
"Nay, kita berdo'a dulu ya" ucap umi Aminah dengan lembut kepada Nayra.
"Gak sopan banget sih jadi perempuan!" sindir Rafka pada Nayra.
Nayra menatap sinis ke arah Rafka dengan tangan terkepal di bawah meja. Ingin rasanya Nayra menggebrak meja dan mengucapkan kata umpatan untuk pemuda di seberang mejanya jika saja tidak ada abi dan uminya.
"Lo nyindir gue?"
Rafka menatap Nayra "emang iya, kamu ini perempuan enggak punya sopan santun. kalau mau makan itu berdo'a dulu,dan jangan mendahului abi,kamu ngerti?" jelas Rafka.
Nayra bersiap-siap membalas Rafka tapi suara abi berhasil menghentikannya.
"Sudah-sudah, kalian ini sudah besar, kenapa selalu saja ribut. ini itu di meja makan, enggak baik berantem di depan rezeki!" ucap abi Karim, membuat semuanya terdiam.
Nayra bangkit dari duduknya "mau kemana Nay?" tanya umi Aminah.
"Nay sudah kenyang mi, Nay mau ke kamar saja" jawab Nayra dan berlalu meninggalkan dapur. Langkah itu begitu cepat, hentakan pintu terdengar begitu keras kalau Nayra sudah berlalu memasuki kamar.
Umi Aminah menatap Rafka "bang, kalau bicara sama Nayra jangan keras kayak gitu, nanti Nayra malah semakin berubah" ujar umi pada Rafka.
"Tapi mi, Nayra harus tahu mana sikap yang benar dan yang salah,dia sudah keluar batas" ucap Rafka mengingatkan.
"Astagfirullah, berhenti bicara, sekarang kita lanjutkan makan malamnya" timpal abi.
Rafka terdiam, umi tertunduk mengingat Nayra yang belum sempat makan sedikit pun. Sedang Naura hanya diam karena tidak tahu harus berbuat apa, ini sering terjadi jika Nayra ikut bergabung, keributan dimeja makan dengan Rafka.
Dan makan malam pun berlalu tanpa kehadiran Nayra di dalamnya.
-
-
-
Nayra duduk di kursi meja belajar nya, tanganya dengan lihai memegang pulpen dan menuliskan kata perkata di atas buku dairy nya,menyalurkan semua keresahan, keluh kesah,dan sakit hatinya selama ini.
Mungkin iya dia memiliki sahabat,tapi tak selamanya setiap hal harus di ceritakan, ada kalanya masalah itu di simpan dan dirasakan oleh diri sendiri. Begitu lah Nayra,cukup dia dan tuhan yang tahu bagaimana perasaannya selama ini.
Hidupnya mungkin melalui jalan yang salah, tapi banyak hal yang tak pernah diketahui orang lain, bahkan keluarganya sekalipun.
Nayra menghentikan tulisannya, menutup bukunya dan menyimpannya kedalam tas sekolah. Beranjak dan kemudian berbaring di atas ranjang empuknya, menyelimuti tubuhnya sampai dada, tangannya ia gunakan sebagai bantalan kepalanya, matanya menatap ke arah langit-langit kamarnya.
"Kenapa aku selalu salah dimata mereka ya allah?, mereka melihat perubahanku, tapi mereka tak pernah menanyakan satu alasan pun tentang kenapa aku berubah seperti ini. Apa benar mereka memang sudah tak perduli lagi?" gumam Nayra dengan suara lirihnya.
Kreket
Telinga Nayra mendengar sesuatu, ia mengalihkan pandangannya ke asal suara.pintu kamarnya terbuka, dengan cepat Nayra merubah posisi tidurnya jadi menyamping, tubuhnya ia tutup dengan selimut sampai leher, ia tutup matanya seolah ia benar-benar tidur.
Nayra merasakan ada pergerakan pada tempat tidurnya, ia yakin ada seseorang. Dan setelah itu satu elusan lembut mendarat di kepalanya, kehangatan yang sudah sangat ia rindukan sejak lama.
"Nay, umi rindu Nayra yang dulu, kenapa puteri umi jadi berubah seperti ini?, bahkan umi seolah tak mengenalinya, Umi rindu sayang, kembalilah!"
Itu adalah umi Aminah, beliau sengaja mendatangi kamar Nayra. Beliau merasa khawatir pada puterinya itu, pasalnya Nayra belum makan malam, beliau tak ingin Nayra sakit .
Kini beliau hanya bisa melihat Nayra yang sudah terlelap,mengelus kepalanya di waktu Nayra sudah tidur.
Kenapa?
Karena umi merasa Nayra yang dikenalnya ada saat Nayra tidur,bukan orang lain saat Nayra bangun dengan wajah sinis nya, dengan sikap yang keras tak mau diatur.
"Tidur yang nyenyak ya sayang, assalamualaikum!" bisik umi di telinga Nayra kemudian berjalan keluar kamar dan menutup pintunya kembali .
Setelah umi Aminah berlalu, tiba-tiba tubuh Nayra bergetar, ia merubah posisinya menjadi duduk, menatap pintu yang kini sudah tertutup, kemudian menangkup wajahnya dan menangis tanpa suara .
"Hiks.. hiks.. Ini sulit untuk Nay mi,sebenarnya Nay sudah lelah dengan hal ini hiks..hiks.. Tapi Nay seperti ini karena kalian, karena ketidak adilan yang kalian beri untuk Nay. mungkin akan sulit bagi Nay untuk kembali, Nay yang sekarang bukanlah Nay yang dulu, Nay tidak mau disuruh untuk menjadi seperti Naura, Nayra tetaplah Nayra mi" ucap Nayra disela tangis nya. Rasa sakit dan sesak menjalar dirongga dadanya, perasaan yang kini sering menghadirinya.
Nayra menghembuskan nafasnya,menghapus air matanya, bangun dari tempat tidurnya, melangkah dan membuka pintu menuju balkon.
Nayra berdiri di balkon, menatap langit yang terlihat jelas dari arah kamarnya. Langit begitu cerah hari ini, bintang-bintang berkelip begitu jelas, tanpa sadar Nayra menyugingkan bibirnya tersenyum .
"Malam, aku sangat menyukaimu, kenapa?, karena kamu memberikan sisi ruang ketenangan dan kedamaian untukku, menghilangkan duka dan kesedihanku dengan hembusan angin malam mu yang menerpa tubuh dan wajahku"
"Yaa Allah. Terimakasih karena engkau menciptakan malam, karena hal itu menjadikan kehidupanku terasa damai" ujar Nayra sembari menatap langit. Bulir bening turun secara bebas melalui pipinya, dengan cepat ia hapus air mata itu, sudah cukup untuk malam ini, masih ada hari esok, berharap jauh lebih baik dari sekarang.
Merasa angin malam mulai masuk lebih dingin, Nayra memilih untuk kembali masuk kedalam kamarnya dan menyegerakan diri untuk tidur.
Karena di beberapa jam berikutnya,tak ada yang tahu, bahwa Nayra selalu melakukan satu hal yang tak pernah ia tinggalkan.
****
-
Di keluarga tuan Karim. Sepi. Tak ada sedikitpun pembicaraan diruang keluarga. Abi Karim, umi Aminah, dan Naura hanya mengarahkan pandangannya ke arah tv yang sedang menayangkan sebuah acara show.Suara dari tv tersebut yang meramaikan ruang keluarga. Setelah kepergian Nayra, Naura hanya diam tak terlalu peduli, apalagi ia tahu hal itu saat dimeja makan kemarin malam, yang tidak disangkanya adalah bahwa Nayra pergi hari ini. Hati kecilnya merasa damai, tak perlu lagi dirinya sok baik didepan banyak orang, apalagi pura-pura perduli dan perhatian.Keadaan rumah seolah tenang tanpa ada hal yang membuat berantakan, percekcokan atau hal yang memusingkan seperti saat ada Nayra.Selama ada Nayra pun, Naura tak terlalu dekat dengan adiknya itu, lebih memilih masing-masing. Naura tak menyukai Nayra karena sang kakak selalu lebih memperhatikan Nayra dari pada dirinya, walau dari matanya sang kakak begitu jahat pada gadis itu. Belum lagi banyak orang yang menyangkut pautkan nya denga Nayra, mem
Seorang pemuda tampan sedang termenung di kesendiriannya. Merindukan seseorang yang belum lama dikenalnya tapi sudah terasa amat berharga bagi dirinya. Ia tahu, rasa rindu itu tak dapat dihilangkan. Menemui nya seperti mustahil. Gadis yang dirindukannya kini sudah terlalu jauh dari pandangannya, bagaimana ia bisa melepas rindu sebebas sebelumnya. Perempuan yang telah mengambil hatinya pergi entah kemana.Tak tahu pindah kemana. Dimana gadis itu sekarang? Ingin sekali ia menemuinya. Bertemu dengan gadis pujaannya. Ia ingin melihat senyumnya, dan kemudian memeluk gadis itu seerat mungkin. Terakhir kali bertemu saat gadis itu menemui sahabatnya, ia hanya melihat sekilas sebelum gadis itu benar-benar pergi, menatap matanya yang terlihat berat untuk melangkah menjauh. Hati pemuda itu terluka saat gadis pujaannya hanya melambaikan tangan perpisahan. Andai ia mampu untuk menahannya. Kalau iya dia bisa, dia akan menculiknya dan mengurungnya dirumah keluarganya supaya gadis itu tak perg
Dzul duduk di bangku taman dengan Vivia disampingnya. Pemuda itu sibuk melepas dasi dan seragam untuk dikeluarkan. Vivia tidak bersuara, gadis itu hanya termenung memikirkan hal yang terjadi. Tentang Nayra, persahabatannya dengan Santia, juga tentang Dzul yang ternyata kakak dari Santia.Vivia melirik Dzul sekilas, ingin menanyakan banyak hal pun tak berani, berakhir Vivia hanya menunduk dan terdiam. Hingga kemudian Fikri datang dengan sekantung keresek makanan dan minuman.Fikri berjalan mendekati keduanya "nih!" Fikri menjulurkan bawaannya pada Dzul, pemuda itu dengan cepat menerimanya, melihat isinya dan mengambil satu botol air mineral. Dzul melirik Vivia dan memberikan kantung tersebut kepada gadis itu, Vivia menerimanya ragu.Fikri yang melihatnya kesal sendiri, dia kesini untuk mendengar penjelasan dari Dzul, bukan untuk melihat adegan menjijikan sok malu-malu kodok begitu.Fikri melipatkan tangannya sejajar dada bawah "jadi gimana?, gue masih butuh penjelasan!"Dzul menggerlin
Vivia terkejut.Siapakah dia?.---Seorang pemuda rapih berdasi datang menghampiri pertikaian antara Santia dan Vivia. Berdiri kokoh didepan Vivia seolah melindungi. Semua pasang mata penghuni kantin tak mau ketinggalan, fokus mereka tentu pada pembicaraan Santia, sang primadona sekolah."Gue rasa mulut lo gak pernah disekolahin. Percuma lo sekolah sampe SMA kalo gak punya adab. Tu mulut di jaga. Jangan sok tahu sama kehidupan orang. Lo pikir lo lebih baik?" sulut pemuda itu membuat santia kicep.Tangan sudah terkepal, Santia tak suka di bantah. Tak suka dipermalukan seperti sekarang. Dia anak pemilik sekolah, dirinya sudah pasti harus dihormati kalau mereka tidak mau dirinya mengadu pada sang ayah."Lo gak pantes ngomong gitu sama gue ya. Lo belum tahu gue. Lo siapa disini?. Ooooh, lo mau jadi pahlawan?. Suka sama cewek dibelakang lo, sicupu berkacamata itu?" balas Santia seraya tersenyum sinis dengan tangan menunjuk Vivia yang berada dibelakang pemuda itu. Ejekan tak pernah terting
***Dzul, pemuda tampan tak rapih itu memasuki kelas dengan malas. Dzul menghembuskan nafas kasar saat melihat suasana kelasnya yang ramai dan berbisik dari sebagian siswa yang sedang asyik bermain game bersama. Beralih pada pojokan yang dipenuhi para gadis yang sedang maraton drakor. "Kayaknya gue yang aneh nih. Masa cowok ganteng plus keren kayak gue masuk kelas yang anak-anaknya cupu. Ngedrakor sama ngegame pada gak ngajak, kan guenya jadi kesel!" gerutunya dengan penuh percaya diri.Dengan terpaksa Dzul mendudukkan dirinya disamping sahabatnya, Fikri. Pemuda itu belum ngeuh jika sang sahabat sedang merenung."Fik?" panggilnya, tangannya sibuk mengeluarkan ponsel dari tas.Fikri tak menjawab. Pemuda itu sedang bertopang dagu seraya menghembuskan nafas kasarnya berkali-kali. Menatap malas orang-orang disekitarnya. Fikri bahkan malas walau untuk bernafas.Jiwa seorang Fikri sedang berkelana entah kemana. Sosok pemuda ini biasanya tak mau diam. Selalu saja menyempatkan waktu berjalan
***Seorang pria paruh baya berpeci putih yang sedang bersantai diruang keluarga itu mengambil ponsel yang terus bersuara. Beliau mendekatkan ponsel tersebut ditelinga."Halo, Assalamualaikum?"..."Tumben telepon ane, ada apa nih?"...."Oooh.. Anak ente mau pesantren kesini?. terus kenapa ente telpon?. Emangnya enggak ente anter kesini?" tanya beliau seraya menyeruput teh manis dingin yang disediakan istrinya....."Oh,iya iya. semoga aja anak ente mau berubah kalau sudah pesantren disini ya!" obrolnya entah dengan siapa...."Sama-sama, waalaikumussalam"....Pri paruh baya tersebut kembali menyimpan ponsel di atas meja, menghela nafasnya dan menyeruput lagi teh yang ada di hadapannya."Siapa bi?" tanya seorang wanita cantik