Share

Bab 5. Akhir Rumah Tangga Lisa.

Siapa yang menyangka, kejadian Lisa malam-malam berjalan kaki sepulang dari Pesta sambil menggendong bayinya itu dilihat beberapa tetangga.

Mereka menggosipkan keluarga Mertua Lisa yang kejam dan tidak punya perasaan pada Lisa.

"Suaminya juga sama saja. Eh, malah sekarang gila sama janda!"

Bu Marni yang mendengar langsung kesal dan mengadu pada Tomi yang baru saja pulang dari rumah Juli.

Tanpa bertanya lagi, Tomi segera pergi ke kamar untuk membuat perhitungan dengan Lisa.

Lisa yang masih termenung di tepi tempat tidur terkejut melihat Tomi masuk dan menatapnya dengan penuh marah.

"Mas,"

PLAK!

Baru saja Lisa ingin menegur, tangan Tomi sudah mendarat di pipinya.

"Kenapa tidak menungguku menjemput, malah pulang jalan kaki!

"Kamu sengaja ingin membuat aku malu kan?"

Lisa menangis, meraba pipinya yang terasa sakit dan panas. "Bukan begitu Mas. Aku pikir ini sudah sangat malam. Aku kasihan Kiki."

"Orang-orang membicarakan aku! Gara-gara kamu Lisa! Kamu itu benar-benar bikin malu! Sudah di pesta bikin malu keluarga karena penampilan kamu yang kucel! Pulang juga masih sempat bikin malu!"

Lisa menghapus air matanya, menguatkan hati untuk melawan ucapan suaminya yang sudah kelewatan itu.

"Bikin malu? Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran kamu Mas! Bukankah seharusnya kamu memang merasa malu? Membiarkan istrinya terlihat kucel di depan orang dan harus berdiri di pinggir jalan menunggu kamu yang sedang mengantar wanita lain?"

Tomi terbelalak.

"Ini jam berapa? Hampir jam Dua belas! Kalau aku tidak pulang jalan kaki, harus berapa lama aku berdiri di pinggir jalan untuk menunggu kamu Mas?" sambung Lisa kembali. Karena memang saat usai pesta tadi baru jam setengah sepuluh. Dan sekarang sudah hampir tengah malam.

Bukannya merenungkan ucapan istrinya, Tomi malah semakin marah. "Tidak seharusnya kamu jalan kaki! Orang-orang melihatmu dan membicarakan aku! Puas kamu sekarang!"

"Mereka melihat kamu mengantar mbak Juli Mas! Mereka tentu membicarakan itu! Mereka gak buta! Kenapa seorang suami lebih mementingkan wanita lain daripada istrinya yang sedang mempunyai bayi?"

Tomi semakin marah mendengar Lisa kembali mengungkit masalah Juli. Dia mencengkram dagu Lisa dengan kuat.

"Memangnya kenapa kalau aku mengantar Juli? Dia itu sudah sering berbuat baik pada keluargaku! Sering mengantar makanan, bahkan sering memberi uang Ibu buat belanja dapur. Kamu juga ikut makan uang pemberian dia! Sudah seharusnya aku membalas kebaikannya!"

Deg! Jantung Lisa berdenyut.

Memang benar, selama pulang dari luar negeri, dan selama Juli terlihat dekat dengan Suaminya, Lisa beberapa kali melihat Juli datang mengantar makanan dan memberi uang pada Ibu.

"Tapi aku ini istri kamu Mas. Aku lebih butuh perhatian kamu daripada mbak Juli yang bukan siapa-siapa kamu!"

Mata Tomi melotot, menghempas tubuh Lisa ke atas kasur.

"Kalau begitu, detik ini juga kamu aku Talak! Besok pagi, pulang kamu ke rumah orang tuamu! Aku tidak mau lagi kamu menjadi istri ku karena Juli lebih pantas jadi istri aku! Dengar kamu Lisa. Kamu aku Talak!"

Bagai disambar Petir, Lisa terkejut bukan main.

"Apa Mas? Kamu menceraikan aku karena ingin menikah dengan Mbak Juli?"

"Iya! Aku menceraikan kamu! Karena aku ingin segera menikah dengan Juli. Wanita cantik yang disukai ibuku!" selesai bicara Tomi melangkah keluar kamar dan membanting pintu dengan keras.

"Ya Allah!" Lisa menangis tersedu-sedu. Menatap pintu yang telah tertutup. Hatinya sangat hancur saat Tomi mengatakan kata talak tadi.

Dia tidak menyangka suaminya pada akhirnya menceraikannya malam ini juga hanya karena janda anak dua itu.

Tubuh Lisa lemas, merosot ke lantai dan tersadar di tepi dipan. Pikirannya melayang.

Mau kemana dia membawa diri jika menjadi seorang janda di usia muda? Belum lagi anaknya masih terlalu kecil untuk kehilangan orang tua yang utuh.

Semalaman Lisa tidak bisa tidur memikirkan ucapan kejam suaminya. Hingga pagi datang, dia langsung mencari keberadaan Tomi. Dia melihat Tomi sedang duduk di ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi buatan ibunya dan kue yang diantar Juli pagi-pagi buta tadi.

Lisa menghampiri, memberanikan diri untuk bicara pada suaminya.

"Mas Tomi. Aku ingin bicara."

Tomi mendongak, dia langsung berdiri. "Kamu kenapa masih belum siap-siap? Cepat pulang ke rumah orang tuamu!" Tomi segera menyeret Lisa ke dalam kamar dan melempar Lisa ke lantai. Tomi mengeluarkan semua baju Lisa dari lemari.

"Mas." Lisa menangis, merangkak dan memeluk kaki suaminya.

"Tolong jangan ceraikan aku Mas. Kasihan Kiki. Dia masih kecil." Lisa memohon pada Tomi.

Bu Marni tiba-tiba sudah berdiri di pintu.

"Tomi sudah mengambil keputusan untuk menceraikan kamu Lisa. Sebaiknya cepat kamu pergi dari rumah ini. Bawa serta bayi kamu. Secepatnya, surat cerai akan diantar!" ucap Bu Marni dengan tatapan puas ke arah Lisa.

"Ya Allah.." Lisa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya bisa menatap Tomi dan Ibunya yang memasukkan beberapa pakaian Lisa dan Kiki kedalam tas ransel.

Bu Marni mengambil Kiki yang menangis tanpa sedikit pun merasa iba.

"Cepat sana!" Bu Marni menaruh Kiki ke pangkuan Lisa.

Lisa menguatkan diri, dia bangun perlahan dan meraih kain untuk menggendong Kiki.

Menangis dan memohon pun tidak berguna bagi Lisa. Mereka begitu membenci Dirinya. Mungkin jalan ini memang yang terbaik untuk Lisa.

Lisa menjinjing tas ransel kumel itu dan melangkah keluar dari kamar. Dia sempat menoleh pada Tomi yang membuang muka. Lisa tidak bisa lagi mengeluarkan sepatah kata karena tenggorokannya terasa kering. Hatinya sangat sesak. Dengan membawa luka begitu dalam, akhirnya Lisa pergi meninggalkan rumah yang selama ini tidak pernah menerima kehadirannya itu.

Bu Marni tersenyum puas melihat punggung Lisa yang semakin menjauh.

"Akhirnya. Wanita sampah itu pergi juga dari rumahku. Kamu segera urus surat cerai kalian, Tomi. Dan kamu bisa menikah dengan Juli secepatnya."

Tomi hanya mengangguk mendengar ucapan Ibunya.

Sementara Lisa, dia menyusuri jalanan yang sepi menuju kampungnya yang lumayan jauh dari sini.

Tubuhnya terasa lelah, karena sudah ada satu jam lebih dia berjalan menuju jalanan besar. Dia beberapa kali mencium kepala Kiki yang terlelap didekapannya. Anak itu tidak tahu apa yang terjadi pada ibunya.

Lisa kembali berurai air mata. Tidak pernah bermimpi jika hidupnya akan berakhir seperti ini.

Lisa berhenti di pinggir jalan besar. Menoleh ke kiri-kanan.

Jalanan tampak sepi. Tidak ada angkot yang lewat, padahal biasanya ada.

Apa karena sudah siang?

Lisa melirik matahari yang memang mulai meninggi. Perutnya terasa keroncongan. Dia bahkan belum sempat menelan apapun dari bangun pagi tadi.

Saat Lisa sedang termenung, tiba-tiba dari arah berlawanan, dia melihat sebuah mobil mewah yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi.

"Ya Allah!"

Lisa menjerit kala menyadari jika Mobil itu bukan ngebut tapi sepertinya lepas kendali.

BRUAK!

Sesuai dengan apa yang ditakutkan Lisa, Mobil itu menabrak sebuah pohon besar yang tidak jauh dari jarak Lisa berdiri.

"Astagfirullah..!" Lisa berteriak. Dia berpikir jika orang di dalam mobil itu pasti sedang mengalami kesulitan. Dengan panik, Lisa berlari untuk melihat keadaan orang di dalam mobil itu.

Dia mengintip ke dalam dari kaca mobil, dia melihat seorang pria didalam mobil itu meringis kesakitan. Darah mengucur dari kepala pria itu.

"Mas.. Keluar dari mobil. Mobil ini sepertinya akan meledak!" Lisa menggedor-gedor pintu mobil.

"Tolong.. Siapapun kamu tolong aku. Aku terjepit. Tidak bisa keluar." Pria itu berbicara dengan terbata-bata.

"Ya Allah!" Lisa panik luar biasa.

Bagian belakang mobil sudah mengeluarkan asap tebal. Lisa kebingungan. Tanpa ada orang yang lewat satupun di jalanan itu.

"Bertahan Mas. Tunggu sebentar!" Lisa berbalik badan, kemudian menaruh Kiki yang terlelap di bawah pohon lain yang lumayan jauh dari mobil itu. Kemudian dia meraih batu besar dan berlari kembali pada mobil itu.

Dia memecah kaca mobil itu dan berusaha menolong pria yang sudah penuh darah itu.

Dengan sekuat tenaga Lisa berusaha mengeluarkan pria itu. "Pegang kuat pinggangku mas. Aku akan menarikmu. Cepat! Mobil ini mau meledak!"

Karena banyak darah yang sudah keluar, pria itu tampak lemah. Dia menurut, memeluk pinggang Lisa dengan erat.

Akhirnya Lisa berhasil menarik pria itu keluar dari mobil dan terus membawanya dengan sisa tenaga untuk menjauh dari mobil itu.

Selang beberapa detik saat mereka berhasil menjauh, mobil itu benar-benar meledak.

"Astagfirullahaladzim..!" Lisa terjatuh lemas disamping pria yang juga duduk lemas itu. Pria itu menatap linglung ke arah mobilnya yang meledak dan dilahap api.

"Ya Allah!" Pria itu berkali-kali mengusap wajahnya dan penuh darah. Dia menoleh pada Lisa yang duduk berselonjor sambil ngos-ngosan.

"Mbak. Terima kasih." Pria itu tidak menyangka jika akan selamat dari kecelakaan maut itu. Jika wanita ini tidak datang tepat waktu dan berusaha sekuatnya untuk menolongnya, jadi apa dia sekarang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status