Selesai memberikan deklarasi perpisahan, Biru pulang ke rumah ibunya. Mereka sudah resmi berpisah secara agama, itu artinya tak mungkin lagi bagi Biru dan Indah untuk tinggal bersama. Setidaknya Biru masih berbaik hati dengan mengizinkan Indah tinggal di rumahnya.
"Kamu benar-benar menggugat cerai istrimu?" Devana, Ibu Biru bertanya. Biru mengangguk. Di wajahnya tak ada ekspresi sedih maupun bahagia. Berbeda dengan Devana yang tersenyum senang. "Syukurlah. Dari awal memang kalian tidak perlu menikah. Jangan karena dia orang kaya jadi dia ingin memilikimu seutuhnya. Ingat siapa itu Indah, nak. Hanya seorang anak yang tidak jelas. Kekayaan yang ia dapat juga bukan karena haknya." Masih ingat betul Devana wanita yang menjadi menantunya itu. Seorang anak konglomerat yang membuat Devana awalnya jatuh hati. Tak hanya itu, Indah juga seorang dokter. Walaupun tak pernah bekerja menyentuh pasien dan memilih menjalani hidup dengan tidak bekerja. Tapi secara pendidikan, Indah tak bisa diragukan. Namun, semuanya menjadi terganjal ketika detik-detik pernikahan Indah dan Biru. Saat sebuah rahasia besar terkuak. Indah nyatanya hanya anak haram. Anak yang dihasilkan dari perselingkuhan ayahnya di masa lalu. Karena rasa bersalah, ayah Indah mengambil putrinya dan membesarkannya. Walau ia harus berhadapan dengan istrinya yang saat itu menentang kehadiran Indah. Tak punya pilihan, ibu tiri Indah menerima wanita itu. Sampai akhirnya ayah kandung Indah meninggal, Indah terusir dari rumah mewahnya. Ia hanya diberikan 5% kekayaan dari ayahnya. Kematian ibu dan ayahnya, konflik perebutan harta dengan ibu tiri serta saudara tiri yang tak berujung membuat Indah depresi dan berusaha mengakhiri hidupnya. Diujung kehidupannya, Indah bertemu dengan Biru. Pria itulah yang datang, mengulurkan tangan dan menawarkan diri untuk menjadi bahu tempat Indah bersandar. Jangan salahkan Indah jika jatuh cinta padanya. Dulu, Biru benar-benar menjelma menjadi seorang pangeran yang berjasa menyelamatkan hidupnya. "Jadi dia dimana sekarang? Sudah pergi dari rumah?" "Belum. Biarkan saja dulu dia tinggal disana. Seenggaknya sampai dia mendapatkan tempat tinggal." Jawab Biru. "Kamu masih berbaik hati ternyata. Kalau mama jadi kamu, mungkin mama sudah mengusirnya malam ini." "Mama.." tegur Biru. "Aku tidak sejahat itu." "Iya." Davina tersenyum lagi. "Sekarang kamu dan Rizka bisa bersatu. Setelah perpisahanmu maka siapkan dirimu untuk pernikahan." Biru hanya diam tak menanggapi. Terlalu dini merencanakan pernikahan sedangkan perpisahannya saja belum dinyatakan sah. Bohong jika ia tak mencintai Rizka. Karena seluruh cintanya sudah habis diberikannya pada wanita itu. Wanita yang sempat memberikannya luka namun sekarang kembali dan berusaha menyembuhkannya. Rizka yang cantik dan manis. Wanita impiannya sejak SMA. Cinta mereka yang kandas karena impian yang berbeda. Keduanya memisahkan diri ketika tak mendapatkan kata sepakat untuk bersama. Di perjalanan memisahkan diri, hati keduanya malah semakin tertaut. Itu terbukti dari Biru yang selama enam bulan ini tak pernah menyentuh Indah. Tak pernah menjalankan tugasnya sebagai seorang suami karena bayangan Rizka yang selalu melintas di benaknya. Sedangkan, Indah sendiri sudah tahu apa yang terjadi pada suaminya. Bahwa hati Biru bukanlah miliknya. Bahwa dirinya adalah wanita pelarian ketika Biru kehilangan arah soal cinta. "Oh, ya.." cetus Davina memecah lamunan Biru. "Lima hari lagi kita berangkat ke Lampung. Kamu udah minta cuti, kan?" Biru mengangguk. "Bagus. Abisnya ini pernikahan anak bungsu budhemu, jadi acaranya mau diselenggarakan secara besar-besaran." "Iya, aku mengerti." "Kita bawa mobil saja kesana. Sekalian rombongan dengan keluargamu yang lain." Sekali lagi Biru hanya mengangguk. Sedangkan di sisi lain, Indah sudah tak bisa lagi membendung air matanya. Dalam diam, wanita ini menangis. Tanpa suara dan isakan. Matanya penuh dengan air mata yang membanjiri pipi. Di hadapannya ada dua buah kertas. Satu kertas berisi gugatan perceraian. Dan satu lagi berisi surat yang bahkan ia belum sempat memberitahukannya kepada Biru. Ya, lebih baik seperti itu. Padahal tadi Indah ingin memberikan kabar buruk ini pada suaminya. Namun nyatanya, kabar buruk lagi yang diterima oleh Indah. Entah dosa apa yang dilakukan wanita ini di masa lalu, kenapa hidup yang dijalaninya seperti penuh dengan penebusan dosa. Indah menghapus air matanya dan menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ketika panggilan itu tersambung, Indah mengatakan tujuannya. "Aku ingin ke Singapore dan berobat disana. Kamu masih kerja disana, Rum?" Indah mendengar jawaban sekaligus pertanyaan yang diberikan oleh si penerima telepon bernama Arum. "Iya. Aku mau kemoterapi. Aku.. terdiagnosis leukemia." Ucap Indah pahit. ["Astaga.. "] terdengar suara syok dari sebrang sana. ["Kemarilah, akan kucarikan dokter onkologi terbaik untukmu."] "Terima kasih, Arum. Dua minggu lagi aku akan kesana." ["Lebih cepat lebih baik, Indah. Aku menunggumu disini."] Indah tersenyum penuh haru. Untung saja dia masih memiliki Arum, sahabat terbaiknya. Sahabat yang sekarang menjadi dokter kandungan dan berkarir di Singapura. Ya, Indah sudah memutuskan. Tidak ada lagi harapan baginya disini. Jadi, dia akan pergi dan mengobati dirinya sendiri. Semoga saja, kanker darah ini belum menyebar dengan luas ke organ lain. Indah berharap masih bisa bertahan hidup lebih lama walau ia sudah tak memiliki tujuan hidup kembali."Mbak.. kita tidur diluar aja." Ajak Marni pada Indah. "Disini panas."Tubuh Indah sudah bersimbah peluh. Siang tadi panas sekali, padahal dia sudah berharap Tuhan mengirimkan hujan malam ini. Tapi rupanya sengat matahari dikirim melalui perantara bulan.Indah mengangguk setuju. Dia lalu ikut Marni tidur diluar bersama pelayan yang lain. Tepatnya di teras belakang rumah."Disini lebih sejuk dibanding di dalam."Indah bisa merasakan hembusan angin menerpa dirinya. Ia pun mengambil tempat tidur di bagian ujung karpet ini."Kita pasang obat nyamuk dulu." Ujar Marni.Obat nyamuk dipasang, kini tak ada lagi yang akan mengganggu tidur mereka. Indah pun ikut merebahkan diri dan tidur di lantai yang beralaskan karpet tipis itu."Mbak Indah.. bener ya mbak udah dicerai sama mas Biru?" Tiba-tiba saja Marni menanyakan hal itu."Iya." Jawab Indah tercekat."Kasihan sekali, mbak. Kalau aku jadi mbak Indah, mana mau aku kemari." Apalagi untuk dijadikan pembantu. Astaga! Padahal Indah ini orang yan
Biru sudah tak berminat bergabung dengan yang lain yang sedang berbincang di ruang keluarga. Padahal sudah ada calon pengantin yang akan menikah, tapi Biru lebih memilih masuk ke kamarnya. Badannya terasa gemetara setelah berhadapan dengan Indah tadi. Astaga! Kenapa dia jadi bisa merasakan sakit dari pancaran mata wanita itu? Seperti hanya ada keputus asaan dari salam sana. Lupakan soal itu. Lebih baik Biru beristirahat karena hari sudah malam. Apalagi besok akan banyak acara menjelang pernikahan yang harus dihadiri. Begitu juga dengan Indah yang kembali ke kamar gudangnya. Beberapa kali Indah membolak balik tubuh ini untuk menjemput mimpi, tapi mata ini masih enggan tertutup. "Panas sekali.." Indah beringsut bangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling kamar yang hanya berluaskan 2x3 meter ini. Sempit. Pengap karena tak ada ventilasi udara. Indah mengambil bantalnya dan keluar dari kamar. Nah, terasa sejuk dari luar sini. Akhirnya, Indah memutuskan untuk tidur di permadani y
Indah ikut menoleh ketika wanita dengan senyuman manis itu mendekat dan merangkul Biru. Pria yang secara hukum negara masih sah menjadi suaminya.Rupanya, Rizka juga hadir disini. Menunggu kedatangan Biru serta menyapa Davina dengan hangat.Wajah mertuanya nampak sumringah. Terlihat sekali jika Davina memang merestui hubungan Biru dan Rizka. Tanpa menebak Indah pun tahu, jika sudah resmi bercerai nanti, mereka berdua pasti akan segera menikah."Apa kabar mbak Indah?"Indah menoleh ke belakang ketika disapa oleh seseorang. Ternyata bi Marni. Bibi yang bekerja sebagai pelayan di rumah budhe Nur."Baik, bi. Bibi apa kabar?" Sapa Indah balik dengan senyumannya."Baik juga. Mana barangnya, mbak? Biar bibi bantu bawain."Bersama Marni, Indah menurunkan koper serta oleh-oleh buatan tangannya. Mereka bersama memasuki rumah milik Nur.Sedangkan di dalam, para keluarga sudah berkumpul dan bercengkrama. Termasuk Rizka yang tak memiliki status dalam keluarga ini ikut berbaur dengan hangat."Jadi
Biru tak bergeming menatap tissue yang berserakan di atas meja sana. Tujuannya adalah satu, mengemasi pakaiannya untuk pergi ke Lampung. Saat pria itu sampai di kamar, ia lekas membuka lemari. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa yang berada di belakangnya."Mas butuh bantuan?" Sudah diduga, Indah lah yang setia mengikuti mantan suaminya dari belakang."Tidak perlu."Biru mengambil pakaian secara asal dan menaruhnya ke dalam koper. Namun, ia kesulitan mengunci koper tersebut karena pakaian yang ditaruhnya bertumpuk dan berantakan. Dia menyerah ketika Indah kembali menawarkan bantuan."Sudah, mas." Ucap Indah ketika dia berhasil mengunci koper milik Biru.Biru hanya berdeham. Dahinya sedikit mengernyit."Koperku jadi bau ikan." Cetusnya yang membuat Indah tersentak."Oh, maaf, mas.. aku tadi cuci tangannya nggak bersih."Indah tadi sedang mengadon pempek sebelum ada insiden mimisan. Jadi, wanita ini hanya mencuci tangannya secara cepat saja.Tanpa mau memandang Indah, Biru main berbalik
Sinar mentari mulai masuk menembus jendela yang tertutup oleh tirai berwarna oranye itu. Mata Indah terbuka perlahan. Kepalanya berat. Pasti karena ia baru bisa tertidur ketika menjelang subuh.Semalaman pekerjaannya hanya menangis. Terus mengasihi takdir hidupnya yang begitu buruk.Indah beringsut bangun dari tidurnya. Namun ia langsung menundukkan kepala ketika sesuatu keluar lagi dari hidungnya.Darah segar berwarna merah menodai seprai yang Indah pakai. Sudah berbulan-bulan ini Indah selalu mimisan, dan ketika dia memeriksakan dirinya, Indah malah menelan kenyataan pahit. Jika dirinya terdiagnosis Leukemia.Wanita ini mengambil tissue yang ada di atas nakas samping tempat tidur dan menyumbat hidungnya. Setelah itu, dia bangkit meraih tas untuk mengambil obat yang ada di dalam sana.Indah menoleh. Gelas yang ada di atas nakasnya kosong. Kalau begitu, Indah lebih baik turun ke dapur dan meminum obatnya disana.Langkah kaki terdengar menuruni anak tangga, namun Indah terkejut ketika
Selesai memberikan deklarasi perpisahan, Biru pulang ke rumah ibunya. Mereka sudah resmi berpisah secara agama, itu artinya tak mungkin lagi bagi Biru dan Indah untuk tinggal bersama. Setidaknya Biru masih berbaik hati dengan mengizinkan Indah tinggal di rumahnya."Kamu benar-benar menggugat cerai istrimu?" Devana, Ibu Biru bertanya.Biru mengangguk. Di wajahnya tak ada ekspresi sedih maupun bahagia. Berbeda dengan Devana yang tersenyum senang."Syukurlah. Dari awal memang kalian tidak perlu menikah. Jangan karena dia orang kaya jadi dia ingin memilikimu seutuhnya. Ingat siapa itu Indah, nak. Hanya seorang anak yang tidak jelas. Kekayaan yang ia dapat juga bukan karena haknya."Masih ingat betul Devana wanita yang menjadi menantunya itu. Seorang anak konglomerat yang membuat Devana awalnya jatuh hati.Tak hanya itu, Indah juga seorang dokter. Walaupun tak pernah bekerja menyentuh pasien dan memilih menjalani hidup dengan tidak bekerja. Tapi secara pendidikan, Indah tak bisa diragukan.