MasukBiru tak bergeming menatap tissue yang berserakan di atas meja sana. Tujuannya adalah satu, mengemasi pakaiannya untuk pergi ke Lampung.
Saat pria itu sampai di kamar, ia lekas membuka lemari. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa yang berada di belakangnya. "Mas butuh bantuan?" Sudah diduga, Indah lah yang setia mengikuti mantan suaminya dari belakang. "Tidak perlu." Biru mengambil pakaian secara asal dan menaruhnya ke dalam koper. Namun, ia kesulitan mengunci koper tersebut karena pakaian yang ditaruhnya bertumpuk dan berantakan. Dia menyerah ketika Indah kembali menawarkan bantuan. "Sudah, mas." Ucap Indah ketika dia berhasil mengunci koper milik Biru. Biru hanya berdeham. Dahinya sedikit mengernyit. "Koperku jadi bau ikan." Cetusnya yang membuat Indah tersentak. "Oh, maaf, mas.. aku tadi cuci tangannya nggak bersih." Indah tadi sedang mengadon pempek sebelum ada insiden mimisan. Jadi, wanita ini hanya mencuci tangannya secara cepat saja. Tanpa mau memandang Indah, Biru main berbalik begitu saja dan keluar dari kamarnya. "Mas Biru.." panggil Indah. "Sudah malam, aku harus pulang." Ucap Biru tanpa menoleh. Dia berjalan menuruni anak tangga dengan menggeret kopernya. "Aku.." kalimat Indah mengambang. Ingin sekali dia mengatakan apa yang saat ini dirahasiakannya. Sebuah penyakit yang sedang mempermainkan nyawanya. Tapi.. apa Biru mau mendengarkan? Sedangkan pria itu terlihat begitu tergesa-gesa. Biru berhenti dan berbalik memandang mantan istrinya. "Aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Tidak perlu hadir di persidangan agar semuanya menjadi mudah. Dua minggu lagi kita resmi berpisah secara hukum. Dan satu lagi.. jika kamu sudah menemukan tempat tinggal, bereskan saja barangmu dan tidak perlu berpamitan." Menetes air mata Indah mendengar dinginnya nada suara Biru. Terlebih pria itu langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Indah lalu terduduk sambil menangis terisak. Samar-samar ia melihat lampu mobil milik Biru keluar dari halaman hingga tak terlihat lagi. Pria itu benar-benar meninggalkannya. Membuangnya ke curam kehancuran, sama seperti yang ibu tirinya pernah lakukan. Oh, kenapa? Indah lagi-lagi menangisi takdir hidupnya. Sekonyong-konyong dia kehilangan arah hidupnya. Dia sudah tak memiliki semangat hidup lagi. *** Empat hari kemudian.. Davina dan Biru sudah bersiap meninggalkan ibukota untuk pergi ke Lampung. Sanak saudara dari luar kotapun sudah berkumpul di rumah Davina karena mereka akan menumpangi mobil van dengan menyewa satu orang sopir. "Dimana Indah? Kok nggak kelihatan." Tanya Laila, adik Davina. "Sebentar lagi datang." Tak lama, Indah datang menggunakan mobil pribadinya. "Lama banget. Kita bisa-bisa terlambat naik kapalnya, Indah." Seru Davina kesal. "Maaf, ma.." ucap Indah tersendat. "Mana pempeknya? Turunkan dan taruh di mobil itu." Indah mengangguk dan memindahkan 10 kilogram pempek yang ia buat ke dalam mobil van. Rencananya akan ada 6 orang yang akan menaiki mobil tersebut. "Bau apa ini?" Tanya Biru ketika dia baru saja masuk dan duduk di samping kemudi. "Pempek." "Pempek dari mana?" "Buatan istrimu." Jawab Laila. Seketika Biru menatap ibunya yang belum masuk ke mobil. Davina melengos begitu saja. "Mama nyuruh Indah buat pempek?" Tanya Biru memandang tajam. "Iya. Untuk oleh-oleh." "Kan bisa pesen aja di jalan. Jadi nggak perlu dibawa ke dalam mobil. Mama tahu kalau hidungku sensitif." Gerutu Biru. "Biarin aja. Lagian kita harus memanfaatkan tenaga yang ada. Nanti nggak ada lagi yang bisa buatin kita pempek gratis." Jawab Davina cuek. Biru sampai melotot mendengar jawaban ibunya. Di belakang sana, ada Indah yang mendengar semuanya. Wanita ini diam saja karena masih sibuk menyusun hasil masakannya. Walau hati ini rasanya ingin menjerit karena sakit. "Ayo, naik. Sebentar lagi berangkat." Seru Gia, anak dari Laila yang sudah lebih dulu duduk di kursi tengah. Semua orang mengambil posisi, sedangkan Indah bingung sendiri. Di kursi depan sudah ada Biru dan sopir, sedangkan di tengah sudah ada Davina, Laila dan Gia. "Kok melamun? Masuk sana!" Ucap Davina. "Duduk di belakang." Sekali lagi Indah mengangguk, ternyata dia ditempatkan di belakang bersama dengan tumpukan barang. Kalau tahu begini, Indah rasanya tidak ingin berangkat. Tapi tak mungkin juga dia mundur di saat seperti ini. Bisa jadi nanti Davina akan mengeluarkan tanduknya. Sepanjang perjalanan, Indah banyak diam. Dia tak diajak bicara, diberikan pertanyaan atau disapa. Wanita ini juga enggan mengeluarkan suaranya. Ia takut membuat orang yang duduk di depan sana menjadi risih karena kehadirannya. Sekitar 4 jam perjalanan, mobil yang membawa rombongan ini berhenti pada sebuah rumah makan. Keenamnya singgah dulu untuk memesan makanan. Davina memilih meja yang besar dan memiliki kursi berjumlah lima buah. Oleh karena Indah duduk di belakang, wanita ini menjadi orang terakhir yang keluar. Ketika masuk ke rumah makan padang, Indah menyadari jika tak ada kursi yang disediakan untuknya. Indah pun langsung menarik kursi yang lain dan bergabung dengan mereka. "Nih, pesen dulu." Ucap Davina pada sopir bawaan mereka. Sopir pria ini menyebutkan menu yang ia pesan, ketika tangannya terulur hendak memberikan menu tersebut pada Indah, Davina segera mengambilnya. "Itu aja, mbak!" Seru Davina menyerahkan menu tersebut pada pramusaji. Sedangkan, Indah terdiam. Dia bahkan belum memesan makanan apapun, tapi Davina seakan tak perduli dengan dirinya. Indah melirik kepada Biru, pria itu sedang asyik dengan ponselnya. Mengirim pesan sambil tersenyum. Di depan Indah, ada Laila dan putrinya yang sibuk bercengkrama. Indah hanya bisa tertunduk. Salahnya yang terperangkap dalam perjalanan tidak menyenangkan ini. Hingga 15 menit kemudian, makanan tiba. Tak ada satupun dari mereka yang menanyakan makanan untuk Indah. Seakan tak perduli wanita ini mau makan atau tidak. Sadar jika kehadirannya tak digubris, Indah mundur perlahan dari meja makan ini. Biru hanya melirik sekilas kemana mantan istrinya ini pergi. Rupanya Indah pergi keluar dan membeli roti. Nafsu makannya sudah hilang entah kemana. Namun, Biru juga enggan menegur. Dia tahu jika Davina sengaja melakukan hal itu pada Indah. Tapi dia tak mau untuk membela. Biarkan saja. Toh, sebentar lagi mereka akan berpisah. Selesai makan, perjalanan kembali dilanjutkan hingga akhirnya mereka tiba di Lampung. Kota tempat Nur, adik dari Davina tinggal. Disana sudah ada Nur dan suaminya yang berdiri di depan rumah menyambut kedatangan mereka. "Indah. Bantuin pak sopirnya turunin barang." Perintah Davina. Sekali lagi, Indah hanya mengangguk. Dia sudah paham jika kehadirannya disini tak lepas untuk dijadikan pembantu. Ya, sudah 4 kali Indah diikutkan dalam acara keluarga suaminya. Sudah biasa dia diperlakukan seperti ini. "Biru!" Indah sampai menoleh ketika mendengar suara wanita yang memanggil nama mantan suaminya. Biru tak menjawab, tapi senyumnya terbingkai di wajahnya yang tampan. Ia lalu menyambut wanita yang menyapanya itu dengan sebuah rangkulan. "Rizka.." gumam Indah sedih. Ternyata mantan kekasih Biru ikut hadir di acara keluarga ini.Nasib sial dipeluk Riska saat ini. Kinerjanya yang terus menurun akhir-akhir ini, belum lagi kejadian malam ini yang begitu memalukan membuat Riska kehilangan pekerjaannya.Percuma jika Riska merengek bahkan merayu manajernya. Sekarang ia tak bisa diandalkan lagi. Wanita ini dipecat setelah selesai pertemuan.Sambil menyeka air matanya, Riska jadi teringat akan wanita itu tadi. Sial! Gara-gara Riska yang sibuk melihat Indah bermesraan dengan seorang pria, dia jadi hilang fokus dan lalai."Aku tidak akan membiarkanmu tenang, Indah."Riska yang geram mengambil ponsel dan menekan sebuah nomor.Wanita ini sampai mengumpat beberapa kali karena nomor yang ditujunya seakan tak ingin mengangkat panggilan."Halo! Kamu sengaja menghindariku, ya?" Riska jadi kesal sendiri.["Astaga. Kamu ini nggak punya sopan santun! Harusnya kamu mengucap salam, tapi kenapa kamu malah marah-marah?"] Terdengar gerutuan dari seberang."Apa kamu tahu, mas? Wanita yang sedang kamu perjuangkan itu sekarang sudah mem
"Aku cuma bercanda.""Lagian kamu begitu.." Indah jadi merajuk. Wanita ini beringsut bangun dari dekapan suaminya."Maaf.."Tangan Indah ditariknya lagi. Kali ini lebih lembut hingga wanita itu terduduk di sampingnya. Sekarang Ryan mencoba berani dengan menyentuh jemari halus itu dan mengaitkannya."Apa kamu ingin tahu alasanku melakukan semua ini?" Ryan memandang lekat. "Karena kamu.."Indah ikut membalas tatapan lekat itu dengan penuh pertanyaan."Kamu bukan hanya teman masa kecilku, tapi juga cinta pertamaku. Jujur saja saat kamu menikah dengan pria itu aku jadi marah sekali.. terlebih saat aku tahu dia menyakitimu, rasanya aku muak hingga membencimu. Tapi sekarang sudah berakhir.."Indah melipat bibirnya menahan tangis. Ia pun mengedipkan beberapa kali matanya agar air ini tak tumpah."Kenapa?" Dahi Ryan sampai mengkerut. "Matamu kelilipan?""Nggak. Aku ingin meleleh.."Ryan sampai tertawa. "Apa kulitmu terbuat dari lilin sampai meleleh?"Tapi setelah melihat Indah menjatuhkan air
"Mau apa lagi dia?"Indah sampai tak habis pikir, hari sudah malam begini tapi Biru malah berkunjung. Aduh, apalagi wajah pria di sebelahnya ini jadi tak sedap dipandang.Bisa-bisa Ryan mengomel semalaman. Apa yang harus Indah lakukan?"Temui aja dia. Mungkin Biru rindu padamu."Indah sampai berdecak. "Apa sih maksud kamu, mas?""Nggak mungkin dia kemari tanpa tujuan. Apalagi malam-malam begini. Temui sana." Ryan mencoba memaksimalkan raut wajahnya agar tak terlihat kesal."Tunggu sebentar."Akhirnya Indah keluar dari kamar dan pergi ke ruang tamu. Benar ternyata Biru sudah menunggu."Kamu sudah istirahat, Indah? Maaf aku mengganggu." Biru jadi tak enak hati."Belum, kok. Baru ngobatin mas Ryan. Ada apa mas malam-malam kemari?""Aku hanya ingin menyampaikan turut duka cita. Aku baru tahu kalau mama Meriam meninggal.""Terima kasih atas belasungkawanya..""Kamu kelihatan tegar.." ucap Biru memandang mantan istrinya."Aku sudah terbiasa untuk itu.""Indah.. sebenarnya kedatanganku kemar
Dor!Dor!Senjata yang ditembakkan ke segala arah berhasil melukai 2 orang. Haikal dilumpuhkan oleh petugas, terpaksa harus memakai kekerasan karena Haikal yang sulit dikendalikan.Pria ini diseret dengan tangan yang terborgol, ia lalu dilempar masuk ke dalam mobil yang akan membawanya kembali ke penjara.Di rumah, dua korban yang menjadi tembakan Haikal langsung dibawa ke rumah sakit. Sekarang hukuman Haikal menjadi bertambah. Jangan harap meminta keringanan hukuman setelah ini.Sementara Indah masih merunduk sambil menutup kedua telinganya.Untung saja dia cepat menyelamatkan diri karena tahu Haikal yang ingin menargetkan dirinya.Sekarang, Indah sebagai perwakilan keluarga mengambil alih kegaduhan yang terjadi. Bagaimana pun ada musibah kematian disini. Dia harus bijak dalam menghadapinya.Dua hari ini, Indah sibuk mengurus pemakaman untuk ibu tirinya. Dia baru mengunjungi Ryan yang sekarang sedang bersama Nani di rumah sakit."Ibu turut berduka cita." Nani memeluk Indah erat."Te
"Indah." Panggil Ryan lagi sembari menepuk sisi tempat tidurnya."Sempit. Mas tidur sendiri aja." Jawab Indah memalingkan wajahnya. Rasa panas mulai menjalari pipi ranumnya."Ini udah hampir jam 1 tapi kamu belum tidur juga. Kamu mau sakit lagi?"Indah cemberut karena mendengar nada garang itu lagi. Akhirnya, Ryan kembali ke mode normal."Kemarilah. Aku udah bergeser." Sambung Ryan meringis."Kamu terlalu banyak bergerak, nanti kalau pen mu patah lagi, gimana?""Tinggal dipasang lagi."Indah sampai geleng-geleng kepala karena mendengar jawaban suaminya.Ia pun terpaksa naik ke ranjang suaminya. Sejujurnya tubuhnya juga masih lelah. Ini saja rasanya sudah panas dingin.Indah pun akhirnya berbaring di ranjang yang sama dengannya. Lumayan. Kasur ini besar juga. Mungkin karena tipe bednya yang berbeda dengan yang lain."Jangan banyak bergerak, mas. Nanti kakinya sakit lagi."Ryan berdeham. Pria ini nampak memejamkan matanya."Gimana transplantasimu? Lancar?""Lancar. Aku sudah mengucapkan
Haikal mengamuk di dalam sel penjaranya. Kabar yang baru saja ia terima membaut emosinya tak tertahan.Meriam dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Karena masih memiliki hati, Indah mengantar ibu tirinya ke rumah sakit.Tapi setelah itu dia meninggalkan wanita itu begitu saja di unit gawat darurat. Terserah mau mati atau hidup, Indah sudah tak perduli lagi.Hingga akhirnya pada malam hari, Indah baru bisa mengunjungi suaminya. Kebetulan Meriam dan Ryan di rawat di rumah sakit yang sama. Jadi, Indah langsung menuju kamar rawat setelah Nani memberi tahu jika Ryan sudah dipindahkan kesana."Kamu nggak apa-apa, nak?" Tanya Nani tampak khawatir. Dia sudah diberi tahu oleh Rafael mengenai kejadian yang ada di penjara."Nggak apa-apa, bu." Jawab Indah penuh haru. Selama ini dia pikir hidup sendirian. Tak ada yang menyayangi dan mengharapkannya. Namun, rupanya Ryan benar.Ada orang lain yang begitu menyayangi dan menjaganya, yaitu Nani dan putra semata wayangnya."Gimana keadaan







