LOGINDunia Biru bak runtuh seketika. Leukemia.. penyakit yang Biru tahu jika itu sangat mematikan. Bibir Biru sampai bergemetar. Dia seakan tak mempercayai ucapan mantan istrinya.
"Kamu nggak berbohong kan, Indah?" Indah mengambil kertas yang ada di dalam tasnya dan memberikan pada Biru. Biru mengerjap melihat kertas yang berisi diagnosa penyakit ini. Terlebih nama penderita yang ada di atasnya. Ia menahan kepalanya yang begitu berat seperti dihantam oleh palu dengan beban yang berat. "Indah.. ini.." Biru sampai ingin kehabisan nafas. Indah mengambil kertas yang berada di tangan mantan suaminya dan mengembalikan ke dalam tasnya. "Aku permisi, mas." Ucap Indah tak mau memandang wajah Biru lagi. Seperti keinginan Biru waktu lalu, dia tidak ingin memandang wajah Indah lagi. Dan wanita ini akan mengabulkannya. Sambil tertatih, Indah membawa tasnya keluar dari rumah. Meninggalkan Biru yang masih tertegun. "Awas! Ada api!" Teriak Jarwo dari luar. Duarr!! Ledakan terdengar dari sound system yang sedang mendendangkan pesta rakyat itu. Semua sontak berlarian dengan panik keluar dari perkarangan rumah. Biru yang melihat kericuhan keluar dan terkejut. "Biru! Tolong telepon pemadam kebakaran!" Pinta Budhe Nur. Biru dengan sigap memanggil damkar dengan ponselnya. Namun teriakan lagi membuat konsentrasinya buyar. Rizka berteriak ketika dia terperangkap di kobaran api. Karena ledakan sound system membuat reruntuhan dan menyudutkan Rizka serta cucu Budhe Nur yang masih berusia 4 tahun itu. "Rizka!" Teriak Davina. "Angga!" Teriak Budhe Nur ketika menyadari cucunya ada disana. Rizka main melompati sebuah pondasi kayu yang terkena ledakan. Tujuannya hanya satu, yaitu menyelamatkan dirinya sendiri. "Rizka! Dimana cucuku?" Tanya Budhe Nur. "Masih di dalam budhe, aku nggak bisa menariknya!" Ujar Rizka panik. Padahal dia tadi berada dekat dengan Angga. "Astaga! Tolong!" Teriak Budhe Nur. "Cucuku ada disana!" Duarr!!! Ledakan kembali menjalar ke bagian lainnya. Biru yang melihat itu mengambil handuk yang dijemur di teras belakang. Menutupi kepalanya dan hendak menyelamatkan Angga, cucu satu-satunya dari keluarga ini. Namun belum sempat ini terjadi.. semua orang terkejut melihat Angga yang menangis sudah ditolong oleh seseorang. Tubuh kecil itu memeluk tantenya dengan erat. Mereka menerobos api dengan cara melompatinya. "Angga!" Teriak Budhe Nur histeris. Dia lalu mengambil cucunya dan mendekap erat. "Syukurlah kamu selamat.." Jarwo dan Davina ikut mendekat. Mereka bergantian memberikan pelukan pada anak yang masih menangis ketakutan itu. "Apa tubuhmu ada yang luka, cu? Coba lihat dulu!" Ujar Davina. Sedangkan Biru membeku. Seseorang yang sudah menolong Angga tadi langsung pergi begitu saja. Tanpa menunggu ucapan terima kasih dari mereka yang sudah dibantunya. "Indah!" Panggil Biru. Pria ini berlari mengejar Indah yang mulai menjauh. Ketika ia sampai di pagar rumah, Indah tak terlihat lagi. Wanita itu sudah pergi meninggalkannya. *** Acara hajatan berubah menjadi musibah. Hampir seperempat rumah ini habis dilalap api. Untung saja petugas damkar bisa datang lebih cepat. Para korban termasuk Angga dibawa ke rumah sakit. Begitu juga Rizka yang mengeluh sesak nafas. "Apa ada lagi yang terluka?" Tanya Jarwo. "Oh, iya.. dimana Indah? Tadi dia ngelompatin api. Pasti badannya ada yang terluka." Sekarang semua keluarga tersentak. Mereka baru sadar jika Indah tak terlihat sama sekali. "Dimana Indah, Biru?" Tanya Budhe Nur. "Dia pergi." "Kemana???" Biru tak bisa menjawab pertanyaan itu karena ia juga tak tahu dimana Indah berada. Sementara Laila menekuk wajahnya. Pasti karena ucapannya semalam yang membuat Indah pergi. Ah, bagaimana ini? "Kita harus berterima kasih pada Indah, bu." Ucap Jarwo pada istrinya. "Iya. Nanti kita telepon aja dia." Beberapa kali panggilan dari Budhe Nur tak terangkat. Begitu juga dengan Biru yang menyadari jika nomor mantan istrinya itu tidak aktif lagi. "Kemana dia sebenarnya?" Davina jadi penasaran. "Kita mau pulang ke Jakarta besok." "Dia pergi, ma.." jawab Biru tercekat. "Dia bilang akan datang lagi ketika persidangan kami." Davina terdiam akan ucapan anaknya. Wanita ini pun tak mau bertanya lagi. Setelah dinyatakan aman oleh dokter, Angga dan Rizka dibawa pulang. Untunglah tak ada luka serius yang dialami oleh mereka berdua. Dan disaat semua orang pergi dari rumah sakit, disanalah seorang wanita menangis sendirian. Ia menatap infus yang terpasang di punggung tangannya. Begitu juga selang oksigen yang mengikat hidungnya. "Jadi anda memilih untuk tidak dirawat?" Tanya dokter pria tersebut pada pasien wanita ini. Datang sendirian dalam keadaan sesak dan mimisan. Saat ditanya, ternyata ia adalah warga pendatang. Apalagi berkas yang berisikan diagnosa penyakit ini membuat para petugas merasa iba. "Nggak perlu, dok. Saya berencana ke Singapore lusa nanti untuk kemoterapi." Jawab Indah. "Baiklah kalau begitu. Nanti kalau sudah stabil, anda bisa pulang." Indah mengangguk dan menutup matanya. Yang dibutuhkannya saat ini adalah istirahat. *** Hari terus bergulir, sebuah paket dikirimkan ke rumah Davina tanpa nama pengirim. "Ada paket katanya untuk mama. Tapi nggak ada nama pengirimnya." Keluh Davina pada Biru yang baru saja pulang bekerja. "Buang aja. Mungkin itu kiriman orang iseng." "Tapi kayaknya paket mahal, deh." Davina bisa melihat sebuah brand ternama dari kotak paket ini. Oleh karena penasaran, Davina membuka isi paket tersebut dan terbelalak. Dia bahkan berjingkrak senang. "Apa, ma?" Biru sampai heran apa yang membuat Davina senang setengah mati. "Lihat ini tas mahal! Tas limited edition yang mama pengen itu!" Davina memeluk erat tas mahal berwarna hijau itu. Dari paper bag serta mereknya, ini dipastikan asli. "Siapa yang kirim?" Tanya Biru. "Nah, iya.." Davina membuka lagi isi dalam tasnya hingga terlihatlah sebuah kartu ucapan. Wanita ini pun membacanya. "Dari siapa, ma?" Tanya Biru ketika melihat Davina terdiam dengan bahu yang merosot. Wajah ceria itu berubah menjadi sedih seketika. "Dari Indah." "Apa??" Biru sontak berdiri dan merebut kartu ucapan tersebut. Saat ia membacanya, hati Biru menjadi teriris-iris. Isinya berupa kalimat perpisahan dari Indah. ["Hai, mama. Ini Indah. Maaf jika aku hanya bisa memberikan ini untuk mama. Semoga mama menyukainya. Ini adalah tas limited edition yang mama sudah idam-idamkan.. Selama 6 bulan ini, banyak sekali sikapku yang selalu membuat mama tidak suka. Bahkan melukai mama. Aku benar-benar menyesal. Aku memohon maaf atas semuanya.. Terima kasih karena pernah menjadi mertuaku.. Semoga mama selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan."] Dering ponsel menyadarkan kesedihan Biru dan juga Davina. Kabar yang ia dapatkan kini membuat hati Davina semakin sakit. "Siapa yang menelpon, ma?" Tanya Biru dengan suara bergetar. "Tante Laila dan Budhe Nur. Mereka bilang mendapatkan hadiah perpisahan dari Indah." Biru sampai terduduk saat mendengarnya. Ternyata, Indah sudah mempersiapkan sendiri perpisahannya..Nasib sial dipeluk Riska saat ini. Kinerjanya yang terus menurun akhir-akhir ini, belum lagi kejadian malam ini yang begitu memalukan membuat Riska kehilangan pekerjaannya.Percuma jika Riska merengek bahkan merayu manajernya. Sekarang ia tak bisa diandalkan lagi. Wanita ini dipecat setelah selesai pertemuan.Sambil menyeka air matanya, Riska jadi teringat akan wanita itu tadi. Sial! Gara-gara Riska yang sibuk melihat Indah bermesraan dengan seorang pria, dia jadi hilang fokus dan lalai."Aku tidak akan membiarkanmu tenang, Indah."Riska yang geram mengambil ponsel dan menekan sebuah nomor.Wanita ini sampai mengumpat beberapa kali karena nomor yang ditujunya seakan tak ingin mengangkat panggilan."Halo! Kamu sengaja menghindariku, ya?" Riska jadi kesal sendiri.["Astaga. Kamu ini nggak punya sopan santun! Harusnya kamu mengucap salam, tapi kenapa kamu malah marah-marah?"] Terdengar gerutuan dari seberang."Apa kamu tahu, mas? Wanita yang sedang kamu perjuangkan itu sekarang sudah mem
"Aku cuma bercanda.""Lagian kamu begitu.." Indah jadi merajuk. Wanita ini beringsut bangun dari dekapan suaminya."Maaf.."Tangan Indah ditariknya lagi. Kali ini lebih lembut hingga wanita itu terduduk di sampingnya. Sekarang Ryan mencoba berani dengan menyentuh jemari halus itu dan mengaitkannya."Apa kamu ingin tahu alasanku melakukan semua ini?" Ryan memandang lekat. "Karena kamu.."Indah ikut membalas tatapan lekat itu dengan penuh pertanyaan."Kamu bukan hanya teman masa kecilku, tapi juga cinta pertamaku. Jujur saja saat kamu menikah dengan pria itu aku jadi marah sekali.. terlebih saat aku tahu dia menyakitimu, rasanya aku muak hingga membencimu. Tapi sekarang sudah berakhir.."Indah melipat bibirnya menahan tangis. Ia pun mengedipkan beberapa kali matanya agar air ini tak tumpah."Kenapa?" Dahi Ryan sampai mengkerut. "Matamu kelilipan?""Nggak. Aku ingin meleleh.."Ryan sampai tertawa. "Apa kulitmu terbuat dari lilin sampai meleleh?"Tapi setelah melihat Indah menjatuhkan air
"Mau apa lagi dia?"Indah sampai tak habis pikir, hari sudah malam begini tapi Biru malah berkunjung. Aduh, apalagi wajah pria di sebelahnya ini jadi tak sedap dipandang.Bisa-bisa Ryan mengomel semalaman. Apa yang harus Indah lakukan?"Temui aja dia. Mungkin Biru rindu padamu."Indah sampai berdecak. "Apa sih maksud kamu, mas?""Nggak mungkin dia kemari tanpa tujuan. Apalagi malam-malam begini. Temui sana." Ryan mencoba memaksimalkan raut wajahnya agar tak terlihat kesal."Tunggu sebentar."Akhirnya Indah keluar dari kamar dan pergi ke ruang tamu. Benar ternyata Biru sudah menunggu."Kamu sudah istirahat, Indah? Maaf aku mengganggu." Biru jadi tak enak hati."Belum, kok. Baru ngobatin mas Ryan. Ada apa mas malam-malam kemari?""Aku hanya ingin menyampaikan turut duka cita. Aku baru tahu kalau mama Meriam meninggal.""Terima kasih atas belasungkawanya..""Kamu kelihatan tegar.." ucap Biru memandang mantan istrinya."Aku sudah terbiasa untuk itu.""Indah.. sebenarnya kedatanganku kemar
Dor!Dor!Senjata yang ditembakkan ke segala arah berhasil melukai 2 orang. Haikal dilumpuhkan oleh petugas, terpaksa harus memakai kekerasan karena Haikal yang sulit dikendalikan.Pria ini diseret dengan tangan yang terborgol, ia lalu dilempar masuk ke dalam mobil yang akan membawanya kembali ke penjara.Di rumah, dua korban yang menjadi tembakan Haikal langsung dibawa ke rumah sakit. Sekarang hukuman Haikal menjadi bertambah. Jangan harap meminta keringanan hukuman setelah ini.Sementara Indah masih merunduk sambil menutup kedua telinganya.Untung saja dia cepat menyelamatkan diri karena tahu Haikal yang ingin menargetkan dirinya.Sekarang, Indah sebagai perwakilan keluarga mengambil alih kegaduhan yang terjadi. Bagaimana pun ada musibah kematian disini. Dia harus bijak dalam menghadapinya.Dua hari ini, Indah sibuk mengurus pemakaman untuk ibu tirinya. Dia baru mengunjungi Ryan yang sekarang sedang bersama Nani di rumah sakit."Ibu turut berduka cita." Nani memeluk Indah erat."Te
"Indah." Panggil Ryan lagi sembari menepuk sisi tempat tidurnya."Sempit. Mas tidur sendiri aja." Jawab Indah memalingkan wajahnya. Rasa panas mulai menjalari pipi ranumnya."Ini udah hampir jam 1 tapi kamu belum tidur juga. Kamu mau sakit lagi?"Indah cemberut karena mendengar nada garang itu lagi. Akhirnya, Ryan kembali ke mode normal."Kemarilah. Aku udah bergeser." Sambung Ryan meringis."Kamu terlalu banyak bergerak, nanti kalau pen mu patah lagi, gimana?""Tinggal dipasang lagi."Indah sampai geleng-geleng kepala karena mendengar jawaban suaminya.Ia pun terpaksa naik ke ranjang suaminya. Sejujurnya tubuhnya juga masih lelah. Ini saja rasanya sudah panas dingin.Indah pun akhirnya berbaring di ranjang yang sama dengannya. Lumayan. Kasur ini besar juga. Mungkin karena tipe bednya yang berbeda dengan yang lain."Jangan banyak bergerak, mas. Nanti kakinya sakit lagi."Ryan berdeham. Pria ini nampak memejamkan matanya."Gimana transplantasimu? Lancar?""Lancar. Aku sudah mengucapkan
Haikal mengamuk di dalam sel penjaranya. Kabar yang baru saja ia terima membaut emosinya tak tertahan.Meriam dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Karena masih memiliki hati, Indah mengantar ibu tirinya ke rumah sakit.Tapi setelah itu dia meninggalkan wanita itu begitu saja di unit gawat darurat. Terserah mau mati atau hidup, Indah sudah tak perduli lagi.Hingga akhirnya pada malam hari, Indah baru bisa mengunjungi suaminya. Kebetulan Meriam dan Ryan di rawat di rumah sakit yang sama. Jadi, Indah langsung menuju kamar rawat setelah Nani memberi tahu jika Ryan sudah dipindahkan kesana."Kamu nggak apa-apa, nak?" Tanya Nani tampak khawatir. Dia sudah diberi tahu oleh Rafael mengenai kejadian yang ada di penjara."Nggak apa-apa, bu." Jawab Indah penuh haru. Selama ini dia pikir hidup sendirian. Tak ada yang menyayangi dan mengharapkannya. Namun, rupanya Ryan benar.Ada orang lain yang begitu menyayangi dan menjaganya, yaitu Nani dan putra semata wayangnya."Gimana keadaan







