"Mbak.. kita tidur diluar aja." Ajak Marni pada Indah. "Disini panas."
Tubuh Indah sudah bersimbah peluh. Siang tadi panas sekali, padahal dia sudah berharap Tuhan mengirimkan hujan malam ini. Tapi rupanya sengat matahari dikirim melalui perantara bulan. Indah mengangguk setuju. Dia lalu ikut Marni tidur diluar bersama pelayan yang lain. Tepatnya di teras belakang rumah. "Disini lebih sejuk dibanding di dalam." Indah bisa merasakan hembusan angin menerpa dirinya. Ia pun mengambil tempat tidur di bagian ujung karpet ini. "Kita pasang obat nyamuk dulu." Ujar Marni. Obat nyamuk dipasang, kini tak ada lagi yang akan mengganggu tidur mereka. Indah pun ikut merebahkan diri dan tidur di lantai yang beralaskan karpet tipis itu. "Mbak Indah.. bener ya mbak udah dicerai sama mas Biru?" Tiba-tiba saja Marni menanyakan hal itu. "Iya." Jawab Indah tercekat. "Kasihan sekali, mbak. Kalau aku jadi mbak Indah, mana mau aku kemari." Apalagi untuk dijadikan pembantu. Astaga! Padahal Indah ini orang yang berada, kenapa dia mau-mau saja sih? "Nggak masalah, bi. Sekalian silahturami terakhir." Ujar Indah sambil memejamkan matanya. Di jendela kaca, Biru melihat Indah yang tertidur di antara pembantu. Hati ini meringis. Tak selayaknya dia membiarkan Indah diperlakukan semena-mena oleh keluarganya. Tapi apa yang bisa Biru perbuat? Dia hanya pria lemah yang tak memiliki daya untuk sekedar membela istrinya. Ralat. Mantan istri secara agama. Pagi menjelang. Semua orang sibuk dengan persiapan pernikahan. Begitu juga Biru yang sejak tadi memanggil Davina. Tapi ibunya itu sibuk sendiri. "Ada yang bisa dibantu, mas?" Tanya Indah. "Aku mencari jasku." "Tunggu sebentar. Biar aku carikan." Indah menemukan sebuah jas milik Biru yang digantung dan lekas memberikannya. "Mau ku bantu?" Tawar Indah. Biru mengangguk. Ia membiarkan Indah membantunya memasangkan jas. Tak hanya disana, tatanan rambut Biru pun diperbaikinya. "Sudah selesai." Sejenak kedua mata itu saling memandang, Biru lekas memutusnya karena tak tahan melihat kesakitan itu. "Kamu juga bersiaplah!" Indah juga ikut bersiap ketika sudah selesai membantu Biru. Ia lalu bergabung dengan keluarga Biru lainnya pada acara pernikahan anak Budhe Nur ini. "Keluarga besar siap-siap! Setelah ini foto bersama." Ucap fotografer. Davina dan lainnya sudah naik ke atas panggung untuk mengambil posisi. Begitu juga dengan Indah yang hendak menyusul. Namun Indah hampir terjatuh karena bahunya di dorong begitu saja dari belakang. Ternyata Rizka yang mengambil posisi untuk menyusul Biru. Di atas panggung kini sudah berdiri seluruh keluarga besar Biru. Mereka tampak kompak dengan memakai pakaian berwarna senada. Indah tertegun sesaat. Fotografer itu mengarahkan gerakan dan juga menghitung mundur untuk melakukan prosesi pemotretan. Tapi tak ada satupun dari mereka yang memanggil Indah untuk naik ke atas panggung. Malah yang ada, Rizka tampak akrab bercengkrama bersama Davina. Indah memundurkan langkahnya dan berbalik. Salahnya yang sudah datang kemari disaat kehadirannya tak terlihat. Ia pun memutuskan keluar dari gedung dan duduk di bawah tenda. Yang gelisah malah Biru, sejak tadi pandangan matanya memandang Indah yang semakin menjauh. Mulut ini ingin memanggil, tapi pegangan di lengan ini begitu kuat. Rizka seolah takut kehilangan pria ini. Akhirnya, Biru memutuskan untuk tidak perlu mengejar Indah. Resepsi selesai, malamnya diadakan pesta rakyat dikediaman Budhe Nur. Para warga perumahan ini tampak berkumpul. Begitu juga dengan Indah yang duduk di bagian paling belakang menyaksikan pertunjukan ini. Biru memandang sesekali mantan istrinya itu. Indah tampak termenung. Wanita ini menyendiri dibalik ramainya orang-orang yang tengah bahagia bergemuruh. "Indah.." Indah menoleh. Ternyata Laila, saudara dari mertuanya. "Ya, tante?" "Gimana ya cara mengatakannya.. kamu kan udah ditalak tiga, tapi kenapa masih disini?" "Maksud tante?" Tiba-tiba saja perasaan Indah jadi tak enak. "Kamu udah dicerai oleh Biru. Kami bukan lagi keluargamu, harusnya kamu sadar diri. Kalau tante jadi kamu sih tante malu.. kecuali kamu yang memang kecintaan banget sama mantan suamimu." Mati-matian Indah menahan air matanya yang ingin menetes. "Iya, tante. Maaf jika kehadiranku sudah mengganggu kalian." Ucap Indah serak. Indah memang naif. Bukan! Tapi, bodoh! Sudah disindir berkali-kali. Bahkan sadar jika dirinya sudah dimanfaatkan. Bukannya pergi, tapi tetap bergabung dengan orang-orang yang tidak menganggapnya keluarga lagi. Wanita ini lalu masuk ke dalam rumah sambil mengusap air matanya yang terjatuh. Biru yang melihat Indah menangis ikut masuk ke dalam rumah dan menyusulnya. "Mau kemana kamu?" Tanya Biru saat melihat Indah mengemasi pakaiannya. "Mau pulang, mas." "Malam begini?" Indah mengangguk. "Aku bisa naik pesawat." "Ya sudah kalau itu keputusanmu." Ucap Biru enggan menahan. "Aku permisi pulang, mas. Soal perpisahan kita.. nanti kamu kasih tahu aja tanggal sidangnya. Aku akan datang." "Tunggu sebentar!" Indah yang baru saja melewati Biru lalu berbalik. "Waktu itu kamu ingin menyampaikan sesuatu padaku. Apa itu?" "Menyampaikan sesuatu?" Indah seakan lupa. "Saat aku memberikan gugatan cerai." "Oh.." Indah sudah mengingatnya. "Bukan apa-apa." "Katakan saja. Apa itu? Kamu membawa sebuah kertas waktu itu. Apa itu juga gugatan cerai?" Selidik Biru. Indah menatap Biru sejenak dengan getir. "Bukan. Aku cuma mau minta izin untuk ke Singapore." "Kenapa? Kamu keterima kerja disana?" Biru menebak. Indah menggeleng. "Aku mau kemoterapi." Biru terkejut. "Kemoterapi???? Memangnya kamu sakit apa?" "Leukemia. Tapi nggak usah kamu pikirkan, mas. Kita juga sudah berpisah. Aku tidak akan membebanimu dengan penyakit ini." Mendengar ucapan Indah barusan membuat dunia Biru runtuh seketika."Mbak.. kita tidur diluar aja." Ajak Marni pada Indah. "Disini panas."Tubuh Indah sudah bersimbah peluh. Siang tadi panas sekali, padahal dia sudah berharap Tuhan mengirimkan hujan malam ini. Tapi rupanya sengat matahari dikirim melalui perantara bulan.Indah mengangguk setuju. Dia lalu ikut Marni tidur diluar bersama pelayan yang lain. Tepatnya di teras belakang rumah."Disini lebih sejuk dibanding di dalam."Indah bisa merasakan hembusan angin menerpa dirinya. Ia pun mengambil tempat tidur di bagian ujung karpet ini."Kita pasang obat nyamuk dulu." Ujar Marni.Obat nyamuk dipasang, kini tak ada lagi yang akan mengganggu tidur mereka. Indah pun ikut merebahkan diri dan tidur di lantai yang beralaskan karpet tipis itu."Mbak Indah.. bener ya mbak udah dicerai sama mas Biru?" Tiba-tiba saja Marni menanyakan hal itu."Iya." Jawab Indah tercekat."Kasihan sekali, mbak. Kalau aku jadi mbak Indah, mana mau aku kemari." Apalagi untuk dijadikan pembantu. Astaga! Padahal Indah ini orang yan
Biru sudah tak berminat bergabung dengan yang lain yang sedang berbincang di ruang keluarga. Padahal sudah ada calon pengantin yang akan menikah, tapi Biru lebih memilih masuk ke kamarnya. Badannya terasa gemetara setelah berhadapan dengan Indah tadi. Astaga! Kenapa dia jadi bisa merasakan sakit dari pancaran mata wanita itu? Seperti hanya ada keputus asaan dari salam sana. Lupakan soal itu. Lebih baik Biru beristirahat karena hari sudah malam. Apalagi besok akan banyak acara menjelang pernikahan yang harus dihadiri. Begitu juga dengan Indah yang kembali ke kamar gudangnya. Beberapa kali Indah membolak balik tubuh ini untuk menjemput mimpi, tapi mata ini masih enggan tertutup. "Panas sekali.." Indah beringsut bangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling kamar yang hanya berluaskan 2x3 meter ini. Sempit. Pengap karena tak ada ventilasi udara. Indah mengambil bantalnya dan keluar dari kamar. Nah, terasa sejuk dari luar sini. Akhirnya, Indah memutuskan untuk tidur di permadani y
Indah ikut menoleh ketika wanita dengan senyuman manis itu mendekat dan merangkul Biru. Pria yang secara hukum negara masih sah menjadi suaminya.Rupanya, Rizka juga hadir disini. Menunggu kedatangan Biru serta menyapa Davina dengan hangat.Wajah mertuanya nampak sumringah. Terlihat sekali jika Davina memang merestui hubungan Biru dan Rizka. Tanpa menebak Indah pun tahu, jika sudah resmi bercerai nanti, mereka berdua pasti akan segera menikah."Apa kabar mbak Indah?"Indah menoleh ke belakang ketika disapa oleh seseorang. Ternyata bi Marni. Bibi yang bekerja sebagai pelayan di rumah budhe Nur."Baik, bi. Bibi apa kabar?" Sapa Indah balik dengan senyumannya."Baik juga. Mana barangnya, mbak? Biar bibi bantu bawain."Bersama Marni, Indah menurunkan koper serta oleh-oleh buatan tangannya. Mereka bersama memasuki rumah milik Nur.Sedangkan di dalam, para keluarga sudah berkumpul dan bercengkrama. Termasuk Rizka yang tak memiliki status dalam keluarga ini ikut berbaur dengan hangat."Jadi
Biru tak bergeming menatap tissue yang berserakan di atas meja sana. Tujuannya adalah satu, mengemasi pakaiannya untuk pergi ke Lampung. Saat pria itu sampai di kamar, ia lekas membuka lemari. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa yang berada di belakangnya."Mas butuh bantuan?" Sudah diduga, Indah lah yang setia mengikuti mantan suaminya dari belakang."Tidak perlu."Biru mengambil pakaian secara asal dan menaruhnya ke dalam koper. Namun, ia kesulitan mengunci koper tersebut karena pakaian yang ditaruhnya bertumpuk dan berantakan. Dia menyerah ketika Indah kembali menawarkan bantuan."Sudah, mas." Ucap Indah ketika dia berhasil mengunci koper milik Biru.Biru hanya berdeham. Dahinya sedikit mengernyit."Koperku jadi bau ikan." Cetusnya yang membuat Indah tersentak."Oh, maaf, mas.. aku tadi cuci tangannya nggak bersih."Indah tadi sedang mengadon pempek sebelum ada insiden mimisan. Jadi, wanita ini hanya mencuci tangannya secara cepat saja.Tanpa mau memandang Indah, Biru main berbalik
Sinar mentari mulai masuk menembus jendela yang tertutup oleh tirai berwarna oranye itu. Mata Indah terbuka perlahan. Kepalanya berat. Pasti karena ia baru bisa tertidur ketika menjelang subuh.Semalaman pekerjaannya hanya menangis. Terus mengasihi takdir hidupnya yang begitu buruk.Indah beringsut bangun dari tidurnya. Namun ia langsung menundukkan kepala ketika sesuatu keluar lagi dari hidungnya.Darah segar berwarna merah menodai seprai yang Indah pakai. Sudah berbulan-bulan ini Indah selalu mimisan, dan ketika dia memeriksakan dirinya, Indah malah menelan kenyataan pahit. Jika dirinya terdiagnosis Leukemia.Wanita ini mengambil tissue yang ada di atas nakas samping tempat tidur dan menyumbat hidungnya. Setelah itu, dia bangkit meraih tas untuk mengambil obat yang ada di dalam sana.Indah menoleh. Gelas yang ada di atas nakasnya kosong. Kalau begitu, Indah lebih baik turun ke dapur dan meminum obatnya disana.Langkah kaki terdengar menuruni anak tangga, namun Indah terkejut ketika
Selesai memberikan deklarasi perpisahan, Biru pulang ke rumah ibunya. Mereka sudah resmi berpisah secara agama, itu artinya tak mungkin lagi bagi Biru dan Indah untuk tinggal bersama. Setidaknya Biru masih berbaik hati dengan mengizinkan Indah tinggal di rumahnya."Kamu benar-benar menggugat cerai istrimu?" Devana, Ibu Biru bertanya.Biru mengangguk. Di wajahnya tak ada ekspresi sedih maupun bahagia. Berbeda dengan Devana yang tersenyum senang."Syukurlah. Dari awal memang kalian tidak perlu menikah. Jangan karena dia orang kaya jadi dia ingin memilikimu seutuhnya. Ingat siapa itu Indah, nak. Hanya seorang anak yang tidak jelas. Kekayaan yang ia dapat juga bukan karena haknya."Masih ingat betul Devana wanita yang menjadi menantunya itu. Seorang anak konglomerat yang membuat Devana awalnya jatuh hati.Tak hanya itu, Indah juga seorang dokter. Walaupun tak pernah bekerja menyentuh pasien dan memilih menjalani hidup dengan tidak bekerja. Tapi secara pendidikan, Indah tak bisa diragukan.