Share

Chapter 10

Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram.

"Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.

Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat.

"Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.

Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melepas gown dan mencuci bersih-bersih tangannya, Redita masuk ke ruang transit para dokter guna mengambil tas miliknya ketika kemudian ia sadar sosok itu masih duduk di sana, bersandar sambil memejamkan matanya.

Redita tertegun, sungguh wajah itu tidak menampakkan usia senja, masih begitu tegas tanpa keriput dan tanda-tanda penuaan, ia curiga apakah dokter satu ini gemar perawatan ke klinik kecantikan? Pakai krim-krim mahal jadi wajahnya sama sekali tidak berkerut dan menampakkan usianya yang sebenarnya? Padahal pekerjaannya tidak hanya menguras fisik, tapi juga otak dan rawan stress.

"Kenapa tidak jadi masuk?" tegurnya yang sontak membuat Redita terkejut.

Ia hanya tersenyum kikuk lalu melangkah masuk dan meraih tasnya di loker.

"Jadi saya antar pulang kan? Atau mau pulang sama pacarmu?" tanya sosok itu ketus.

"Pa-pacar?" Redita tergagap, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak, namun tentu takut, konsekuensinya dia bisa disuruh mengulang Stase bagian ini satu kali lagi.

"Iya, pacar kamu si Andaru itu kan?" guman sosok itu dengan tatapan tajam.

"Saya tidak punya pacar, Dok. Sama Bang Andaru ya cuma temen biasa," Redita tersenyum kecut, kenapa rasanya sosok itu tampak sangat tidak suka dengan kedekatan dirinya dengan Andaru.

"Oh ...," hanya itu yang keluar dari mulut Dokter Adnan, ia kemudian bergegas bangkit dan menyambar snelinya.

"Ayo balik kalau gitu!" sosok itu bergegas keluar, melangkah dengan tenang meninggalkan Redita yang masih terpaku dan bertanya-tanya dalam benaknya itu.

Redita tersenyum kecut, ia meraih tasnya dan buru-buru mengekor di belakang konsulennya itu sebelum suasana hati Dokter Adnan makin tidak baik.

Mereka melangkah beriringan, tanpa sepatah kata apapun. Jujur Redita jadi makin canggung, cuma mau tanya-tanya ia takut salah omong dan makin memperkeruh suasana, jadi ia hanya diam membisu dan mengikuti langkah Dokter Adnan menuju mobilnya.

"Ayo naik!" guman laki-laki itu lalu bergegas masuk ke dalam mobilnya.

Redita hanya tersenyum simpul, ia kemudian ikut naik, tampak sosok itu sudah siap dengan seat belt-nya dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Redita pun sama, ia bergegas memakai seat belt-nya tanpa banyak berkata-kata lagi.

"Mau makan lagi?"

Redita tersentak, bukan karena pertanyaannya, namun karena lembut suara itu, berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Kenapa jadi cepat berubah begini suasana hati dokter satu itu? Kenapa? Apa dia bipolar?

"Oh ... Sa-saya masih kenyang, Dok." Redita tergagap, pikirannya masih banyak memikirkan asumsi-asumsinya mengenai sosok itu.

Dokter Adnan hanya mengangguk, ia mulai membawa mobilnya meninggalkan rumah sakit, menembus padatnya jalanan sore itu. Jalanan yang mulai penuh sesak karena memang sudah jam pulang. Membuat mobil itu terpaksa merayap pelan.

"Ikut saya sebentar, ya?" Ia membawa mobilnya ke tengah kota, bukan ke belakang kampus tempat kost Redita berada.

"Memang mau kemana, Dok?" Redita benar-benar gugup, ia tidak akan diculik atau disekap sosok ini bukan? Apa untungya coba Redita diculik? Ia bukan anak konglomerat dan jangan lupa duit Dokter Adnan lebih banyak!

"Temani saya ngopi," jawabnya singkat yang sontak membuat Redita kembali terkejut.

Ternyata sosok ini pernah teka-teki juga ya, setelah ketus dan ngamuk-ngamuk sepanjang operasi tadi, kini ia bisa begitu lembut dan halus. Dan jangan lupa. sedikit absurb juga! Jujur ini malah membuat Redita makin penasaran dengan sosok Dokter Adnan Sanjaya itu, ada apa dengannya?

Redita tidak banyak berkata-kata lagi, ia hanya diam dan menurut saja kemana konsulennya itu membawanya, asal tidak diapa-apakan saja deh! Hanya itu point pentingnya. Ia melirik sosok itu, wajah itu begitu teduh dan membuat Redita merasa aman dan nyaman ketika sedang bersama sosok itu. Kenapa rasanya lain? Tidak mungkin kan kalau ia jatuh cinta? Dengan Dokter Adnan? Gila!

"Re ... Boleh tanya?" guman sosok itu kemudian.

"Silahkan, Dokter."

"Berapa umur bapakmu?"

Redita menoleh, ia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dokter itu ucapkan. Ia kira mau tanya soal apa, kenapa malah jadi tanya soal bapaknya? Umur bapaknya? Apa pentingnya untuk dokter satu itu?

"Bapak umurnya sekitar lima puluh satu tahun, Dok."

Tampak raut wajah itu kembali sedikit kaku, Redita bisa langsung membaca itu dengan kedua matanya, tapi ia tidak bertanya apapun. Hingga kemudian mereka kembali hanyut dalam diam masing-masing. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya sunyi yang kembali membelenggu mereka.

Dokter Adnan membelokkan mobilnya ke sebuah mall, setelah memarkirkan mobilnya, ia menoleh dan menatap Redita lekat-lekat.

"Nggak masalahkan nemenin saya ngopi? Anggap aja lagi nemenin pakdhemu, oke?"

***

Gila! Adnan mengumpat dalam hati, bahkan bapaknya Redita dengan dirinya saja lebih tua Adnan! Selisih empat tahun dari dia, dan dengan PD-nya Adnan hendak memacari atau bahkan menikahi anaknya? Edan! Apakah setelah ini Adnan perlu berkonsultasi dengan sejawatnya di poli kejiwaan?

"Mbak saya mau caramel macchiato satu, pakai es," guman Adnan ketika ia dan Redita sudah duduk di salah satu gerai kopi mahal yang ada di mall itu.

"Baik, kalau mbaknya mau minum apa?"

"Saya cappucino ice aja deh," Redita tersenyum tampak sangat jika gadis itu sedikit kikuk.

"Tunggu sebentar ya," waiters itu bergegas pergi meninggalkan Adnan dan Redita sendirian.

Adnan menghela nafas panjang, ia malah jadi makin down ketika tahu umur bapak Redita bahkan lebih muda dari umurnya sendiri. Harapannya seolah menguap, rasanya ia tidak lagi punya celah untuk lebih dekat atau menjalin hubungan dengan gadis yang sekarang sedang bersamanya ini.

"Mohon maaf, Dok. Untuk ...,"

"Kalau di luar rumah sakit jangan panggil Dokter gitulah, Re. Saya bosan dengarnya," potong Adnan jemu.

"Iya baik, Pak. Maaf," guman Redita sambil tersenyum kecut.

"Kau mau tanya apa?"

"Untuk penelitiannya mau kapan, ya pak?" tampak mata itu begitu lekat menatapanya, membuat gelayar aneh di dalam hati Adnan makin begitu terasa.

"Sudah di handle anak saya kok, jangan khawatir."

Adnan menghela nafas panjang, penelitian apaan sih? Kan sebenarnya tidak ada penelitian bukan? Adnan memejamkan matanya sesaat, rasanya masukan dan dari Yudha memang perlu ia pertimbangkan, sebelum semuanya makin dalam.

'Apa saya salah kalau saya jatuh cinta kepadamu, Re?'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
yesss langsung nembak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status