Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram.
"Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.
Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat.
"Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.
Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melepas gown dan mencuci bersih-bersih tangannya, Redita masuk ke ruang transit para dokter guna mengambil tas miliknya ketika kemudian ia sadar sosok itu masih duduk di sana, bersandar sambil memejamkan matanya.
Redita tertegun, sungguh wajah itu tidak menampakkan usia senja, masih begitu tegas tanpa keriput dan tanda-tanda penuaan, ia curiga apakah dokter satu ini gemar perawatan ke klinik kecantikan? Pakai krim-krim mahal jadi wajahnya sama sekali tidak berkerut dan menampakkan usianya yang sebenarnya? Padahal pekerjaannya tidak hanya menguras fisik, tapi juga otak dan rawan stress.
"Kenapa tidak jadi masuk?" tegurnya yang sontak membuat Redita terkejut.
Ia hanya tersenyum kikuk lalu melangkah masuk dan meraih tasnya di loker.
"Jadi saya antar pulang kan? Atau mau pulang sama pacarmu?" tanya sosok itu ketus.
"Pa-pacar?" Redita tergagap, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak, namun tentu takut, konsekuensinya dia bisa disuruh mengulang Stase bagian ini satu kali lagi.
"Iya, pacar kamu si Andaru itu kan?" guman sosok itu dengan tatapan tajam.
"Saya tidak punya pacar, Dok. Sama Bang Andaru ya cuma temen biasa," Redita tersenyum kecut, kenapa rasanya sosok itu tampak sangat tidak suka dengan kedekatan dirinya dengan Andaru.
"Oh ...," hanya itu yang keluar dari mulut Dokter Adnan, ia kemudian bergegas bangkit dan menyambar snelinya.
"Ayo balik kalau gitu!" sosok itu bergegas keluar, melangkah dengan tenang meninggalkan Redita yang masih terpaku dan bertanya-tanya dalam benaknya itu.
Redita tersenyum kecut, ia meraih tasnya dan buru-buru mengekor di belakang konsulennya itu sebelum suasana hati Dokter Adnan makin tidak baik.
Mereka melangkah beriringan, tanpa sepatah kata apapun. Jujur Redita jadi makin canggung, cuma mau tanya-tanya ia takut salah omong dan makin memperkeruh suasana, jadi ia hanya diam membisu dan mengikuti langkah Dokter Adnan menuju mobilnya.
"Ayo naik!" guman laki-laki itu lalu bergegas masuk ke dalam mobilnya.
Redita hanya tersenyum simpul, ia kemudian ikut naik, tampak sosok itu sudah siap dengan seat belt-nya dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Redita pun sama, ia bergegas memakai seat belt-nya tanpa banyak berkata-kata lagi.
"Mau makan lagi?"
Redita tersentak, bukan karena pertanyaannya, namun karena lembut suara itu, berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Kenapa jadi cepat berubah begini suasana hati dokter satu itu? Kenapa? Apa dia bipolar?
"Oh ... Sa-saya masih kenyang, Dok." Redita tergagap, pikirannya masih banyak memikirkan asumsi-asumsinya mengenai sosok itu.
Dokter Adnan hanya mengangguk, ia mulai membawa mobilnya meninggalkan rumah sakit, menembus padatnya jalanan sore itu. Jalanan yang mulai penuh sesak karena memang sudah jam pulang. Membuat mobil itu terpaksa merayap pelan.
"Ikut saya sebentar, ya?" Ia membawa mobilnya ke tengah kota, bukan ke belakang kampus tempat kost Redita berada.
"Memang mau kemana, Dok?" Redita benar-benar gugup, ia tidak akan diculik atau disekap sosok ini bukan? Apa untungya coba Redita diculik? Ia bukan anak konglomerat dan jangan lupa duit Dokter Adnan lebih banyak!
"Temani saya ngopi," jawabnya singkat yang sontak membuat Redita kembali terkejut.
Ternyata sosok ini pernah teka-teki juga ya, setelah ketus dan ngamuk-ngamuk sepanjang operasi tadi, kini ia bisa begitu lembut dan halus. Dan jangan lupa. sedikit absurb juga! Jujur ini malah membuat Redita makin penasaran dengan sosok Dokter Adnan Sanjaya itu, ada apa dengannya?
Redita tidak banyak berkata-kata lagi, ia hanya diam dan menurut saja kemana konsulennya itu membawanya, asal tidak diapa-apakan saja deh! Hanya itu point pentingnya. Ia melirik sosok itu, wajah itu begitu teduh dan membuat Redita merasa aman dan nyaman ketika sedang bersama sosok itu. Kenapa rasanya lain? Tidak mungkin kan kalau ia jatuh cinta? Dengan Dokter Adnan? Gila!
"Re ... Boleh tanya?" guman sosok itu kemudian.
"Silahkan, Dokter."
"Berapa umur bapakmu?"
Redita menoleh, ia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dokter itu ucapkan. Ia kira mau tanya soal apa, kenapa malah jadi tanya soal bapaknya? Umur bapaknya? Apa pentingnya untuk dokter satu itu?
"Bapak umurnya sekitar lima puluh satu tahun, Dok."
Tampak raut wajah itu kembali sedikit kaku, Redita bisa langsung membaca itu dengan kedua matanya, tapi ia tidak bertanya apapun. Hingga kemudian mereka kembali hanyut dalam diam masing-masing. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya sunyi yang kembali membelenggu mereka.
Dokter Adnan membelokkan mobilnya ke sebuah mall, setelah memarkirkan mobilnya, ia menoleh dan menatap Redita lekat-lekat.
"Nggak masalahkan nemenin saya ngopi? Anggap aja lagi nemenin pakdhemu, oke?"
***
Gila! Adnan mengumpat dalam hati, bahkan bapaknya Redita dengan dirinya saja lebih tua Adnan! Selisih empat tahun dari dia, dan dengan PD-nya Adnan hendak memacari atau bahkan menikahi anaknya? Edan! Apakah setelah ini Adnan perlu berkonsultasi dengan sejawatnya di poli kejiwaan?
"Mbak saya mau caramel macchiato satu, pakai es," guman Adnan ketika ia dan Redita sudah duduk di salah satu gerai kopi mahal yang ada di mall itu.
"Baik, kalau mbaknya mau minum apa?"
"Saya cappucino ice aja deh," Redita tersenyum tampak sangat jika gadis itu sedikit kikuk.
"Tunggu sebentar ya," waiters itu bergegas pergi meninggalkan Adnan dan Redita sendirian.
Adnan menghela nafas panjang, ia malah jadi makin down ketika tahu umur bapak Redita bahkan lebih muda dari umurnya sendiri. Harapannya seolah menguap, rasanya ia tidak lagi punya celah untuk lebih dekat atau menjalin hubungan dengan gadis yang sekarang sedang bersamanya ini.
"Mohon maaf, Dok. Untuk ...,"
"Kalau di luar rumah sakit jangan panggil Dokter gitulah, Re. Saya bosan dengarnya," potong Adnan jemu."Iya baik, Pak. Maaf," guman Redita sambil tersenyum kecut.
"Kau mau tanya apa?"
"Untuk penelitiannya mau kapan, ya pak?" tampak mata itu begitu lekat menatapanya, membuat gelayar aneh di dalam hati Adnan makin begitu terasa.
"Sudah di handle anak saya kok, jangan khawatir."
Adnan menghela nafas panjang, penelitian apaan sih? Kan sebenarnya tidak ada penelitian bukan? Adnan memejamkan matanya sesaat, rasanya masukan dan dari Yudha memang perlu ia pertimbangkan, sebelum semuanya makin dalam.
'Apa saya salah kalau saya jatuh cinta kepadamu, Re?'
"Putra Bapak umur berapa, kalau saya boleh tahu?" guman Redita yang bingung harus bicara apa ketika kemudian sosok itu hanya membisu."Oh, tahun ini dia sudah dua puluh enam tahun," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, sudah sangat tua sekali ternyata dirinya ini."Dua puluh enam tahun dan sudah hampir selesai PPDS?" tampak Redita terkejut.Adnan hanya mengangguk pelan, "Masuk FK umur enam belas tahun dulu.""Wah hebat," Redita berdercak kagum.Adnan hanya tersenyum, rasanya malah Redita lebih pantas dengan Edo daripada Adnan, benar bukan? Rasanya Adnan benar-benar gila! Jatuh cinta pada gadis kemarin sore? Sungguh diluar kendali Adnan sebenarnya."Ah biasa saja kok, Re. Memang dia sedikit ambis sejak dulu," Adnan menghela nafas panjang, ia mulai sedikit tidak nyaman. Rasa percaya dirinya luntur seketika."Pulang sekarang?" tanya Adnan sambil meletakkan cup miliknya."Boleh kalau Bapak tidak keberatan."Adnan mengangguk i
Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh
“Kau yakin, Nan?” Yudha tersenyum setelah mendengar cerita Adnan tentang perubahan perasaan Adnan terhadap mahasiswi koasnya itu. Lucu juga ya kalau laki-laki berumur macam Adnan jatuh cinta? Rasanya Yudha jadi ingin tertawa terbahak-bahak.“Yakin lah, Yud! Kasian juga kalau dipikir Redita harus dapat suami seumuran bapaknya kayak aku gini, eh tapi tuaan aku ketimbang bapaknya Redita, Yud!” Adnan menghela nafas panjang, sebuah alasan yang tidak egois bukan?“Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."Yudha yang tengah meneguk teh hangatnya itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk mendengar apa yang tadi Adnan katakan itu. Apa? Lebih tua Adnan ketimbang bapaknya Redita? Ia tidak salah dengar kan? Memangnya berapa umur bapaknya Redita? Kenapa dengan Adnan masih tua Adnan?“Apa katamu, Nan? Lebih tua kamu ketimbang bapaknya Redita?” Yudha kembali bertanya, ia berharap bahwa ia salah dengar. Ditatapnya Adnan dengan tatapan tidak perc
Adnan menatap sosok itu dari jauh, kenapa rasanya ia ingin terus berada di sisinya? Adnan menghela nafas panjang, kenapa begitu rumit sih? Kenapa ia malah tertarik dan jatuh hati dengan sosok itu? Kenapa bukan pada Manda yang kemarin Yudha sodorkan pada dirinya itu? Atau pada rekan sejawat yang lain? Wanita lain yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan dirinya? Yang bisa diterima akal sehat mengenai perbedaan usia mereka?“Re ... kamu hampir membuaku gila!” desis Adnan gemas lalu dengan gusar melangkah masuk ke ruangannya.Adnan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas, ia masih terbayang-bayang obrolannya dengan Yudha kemarin. Cintanya tentu tidak salah, hanya saja waktu yang salah memisahkan jarak usia mereka begitu jauh. Usia yang terpaut sangat jauh sekali. Redita pantasnya menjadi anak Adnan, bukan menjadi isterinya!Ahh ... Adnan harus menang melawan semua perasaannya itu. Toh belum tentu juga kan gadis itu juga punya rasa yang s
Adnan benar-benar tidak mengerti, kenapa ia jadi seperti ini sih? Bukankah ia kemarin sudah memutuskan untuk mencoba menjauh dan membuka diri untuk Amanda, residen interna yang Yudha sodorkan? Wanita yang menurut otaknya pantas mendampingi dirinya yang berstatus duda dua anak itu. Kalau dengan gadis ini? Mana pantas sih? Ia masih terlalu muda dan belia! Sangat tidak pantas mendampingi laki-laki yang hampir masuk masa lansia seperti dia ini.“Kenapa tumben tadi cuma sendirian, yang lain pada ngapain di ruang koas?” Adnan mulai buka suara, sejak tadi hingga sekarang mereka sudah hampir sampai di lokasi, tidak ada obrolan sama sekali. Mereka larut dalam diam masing-masing.“Teman-teman sedang mengerjakan presentasi kasus untuk besok, Dok.”Adnan melirik Redita, ia tampak cantik dengan setelan scrub warna dusty pink itu. Rambutnya ia gerai dengan jepit mutiara ya menjepit rambut bagian kirinya.“Punya kamu gimana, sudah beres?&rd
Yudha tengah membaca laporan follow up yang tadi dihantarkan ke mejanya ketika kemudian iPhone miliknya berdering. Edo? Yudha yakin Edo menelepon hendak bertanya perihal papanya bukan? Tentang siapa wanita yang hendak menggantikan posisi Yuri sebagai wanita spesial di hati Adnan. Haruskah Yudha menceritakan yang sebenarnya? Atau biarkan Adnan yang bercerita sendiri pada Edo? Atau bagaimana?“Halo, gimana Do?” sapa Yudha lirih, jantung Yudha jadi berdegup kencang.“Halo Om, Edo ganggu Om Yudha nggak nih?”“Ah ... santai aja deh, memangnya ada apa, Do?” Yudha mencoba tetap tenang , rasanya perihal Redita ia tidak perlu buka suara pada Edo bukan? Itu di luar kewenangan Yudha, urusan pribadi keluarga sejawatnya, ya walaupun nanti kalau Arra menikah dengan Edo otomatis mereka jadi keluarga besar, tapi untuk sekarang rasanya Yudha tidak ada hak untuk mencampuri urusan mereka. Itu tidak etis.“Om sudah dapat info perihal wanita yang sekarang d
Yudha terkejut ketika kemudian ada yang membuka pintu prakteknya, tampak Adnan muncul dengan senyum kecut. Yudha hanya menatap sosok itu sekilas dan menghela nafas panjang, sementara Adnan melangkah masuk kemudian duduk dihadapan internis sahabat baiknya itu. Datang juga si bapak-bapak bucin ini menemui dirinya.“Sekarang jelaskan kepadaku, kenapa hari ini kamu seolah lupa dengan apa yang kemarin sudah kita bicarakan, Nan?” cecar Yudha yang masih begitu santai bersandar di kursinya. Tentulah dia minta penjelasan, ia sudah menyusun rencana sedemikian rupa untuk memperkenalkan Adnan dengan Amanda, eh sekarang malah Adnan berubah haluan lagi.“Entahlah, Yud. Aku benar-benar lemah beradapan dengan dirinya. Rasanya aku ...,” Adnan tidak melanjutkan kalimatnya, ia kemudian menatap nanar Yudha yang masih serius menanti penjelasan dari Adnan. Adnan tidak masalah kalau Yudha mau memaki-makinya, karena faktanya perasaan ini benar-benar tidak bisa ia kenda
Dada Adnan terasa begitu sesak, hatinya pedih dan matanya sontak memerah. Ia dengar semua percakapan itu, tentang Andaru yang menyatakan perasaannya pada sosok yang ia cintai. Tentang bagaimana dia mencintai Redita Fernanda, gadis yang berhasil mengobrak-abrik perasaannya.Adnan bergegas pergi dari ruang koas itu, ia yakin Redita akan menerima Andaru bukan? Apa sih yang kurang dari laki-laki itu? Masih muda, ganteng dan jangan lupa dia calon dokter spesialis bedah juga! Rasanya Adnan harus segera menyetujui rencana Yudha untuk memperkenalkan dia dengan Manda! Ia harus meralat keputusannya yang tadi sempat ragu diperkenalkan dengan sosok itu.Adnan terlalu terburu-buru melangkah hingga kemudian ia tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuat berkas-berkas yang ada di tangan orang itu jatuh dan terhambur di lantai.“Aduh!”“Ma-maaf, saya tidak sengaja,” Adnan buru-buru membantu sosok itu memunguti lembaran-lembaran kertas yang ber