Share

Chapter 10

last update Last Updated: 2021-05-06 23:57:34

Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram.

"Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.

Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat.

"Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.

Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melepas gown dan mencuci bersih-bersih tangannya, Redita masuk ke ruang transit para dokter guna mengambil tas miliknya ketika kemudian ia sadar sosok itu masih duduk di sana, bersandar sambil memejamkan matanya.

Redita tertegun, sungguh wajah itu tidak menampakkan usia senja, masih begitu tegas tanpa keriput dan tanda-tanda penuaan, ia curiga apakah dokter satu ini gemar perawatan ke klinik kecantikan? Pakai krim-krim mahal jadi wajahnya sama sekali tidak berkerut dan menampakkan usianya yang sebenarnya? Padahal pekerjaannya tidak hanya menguras fisik, tapi juga otak dan rawan stress.

"Kenapa tidak jadi masuk?" tegurnya yang sontak membuat Redita terkejut.

Ia hanya tersenyum kikuk lalu melangkah masuk dan meraih tasnya di loker.

"Jadi saya antar pulang kan? Atau mau pulang sama pacarmu?" tanya sosok itu ketus.

"Pa-pacar?" Redita tergagap, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak, namun tentu takut, konsekuensinya dia bisa disuruh mengulang Stase bagian ini satu kali lagi.

"Iya, pacar kamu si Andaru itu kan?" guman sosok itu dengan tatapan tajam.

"Saya tidak punya pacar, Dok. Sama Bang Andaru ya cuma temen biasa," Redita tersenyum kecut, kenapa rasanya sosok itu tampak sangat tidak suka dengan kedekatan dirinya dengan Andaru.

"Oh ...," hanya itu yang keluar dari mulut Dokter Adnan, ia kemudian bergegas bangkit dan menyambar snelinya.

"Ayo balik kalau gitu!" sosok itu bergegas keluar, melangkah dengan tenang meninggalkan Redita yang masih terpaku dan bertanya-tanya dalam benaknya itu.

Redita tersenyum kecut, ia meraih tasnya dan buru-buru mengekor di belakang konsulennya itu sebelum suasana hati Dokter Adnan makin tidak baik.

Mereka melangkah beriringan, tanpa sepatah kata apapun. Jujur Redita jadi makin canggung, cuma mau tanya-tanya ia takut salah omong dan makin memperkeruh suasana, jadi ia hanya diam membisu dan mengikuti langkah Dokter Adnan menuju mobilnya.

"Ayo naik!" guman laki-laki itu lalu bergegas masuk ke dalam mobilnya.

Redita hanya tersenyum simpul, ia kemudian ikut naik, tampak sosok itu sudah siap dengan seat belt-nya dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Redita pun sama, ia bergegas memakai seat belt-nya tanpa banyak berkata-kata lagi.

"Mau makan lagi?"

Redita tersentak, bukan karena pertanyaannya, namun karena lembut suara itu, berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Kenapa jadi cepat berubah begini suasana hati dokter satu itu? Kenapa? Apa dia bipolar?

"Oh ... Sa-saya masih kenyang, Dok." Redita tergagap, pikirannya masih banyak memikirkan asumsi-asumsinya mengenai sosok itu.

Dokter Adnan hanya mengangguk, ia mulai membawa mobilnya meninggalkan rumah sakit, menembus padatnya jalanan sore itu. Jalanan yang mulai penuh sesak karena memang sudah jam pulang. Membuat mobil itu terpaksa merayap pelan.

"Ikut saya sebentar, ya?" Ia membawa mobilnya ke tengah kota, bukan ke belakang kampus tempat kost Redita berada.

"Memang mau kemana, Dok?" Redita benar-benar gugup, ia tidak akan diculik atau disekap sosok ini bukan? Apa untungya coba Redita diculik? Ia bukan anak konglomerat dan jangan lupa duit Dokter Adnan lebih banyak!

"Temani saya ngopi," jawabnya singkat yang sontak membuat Redita kembali terkejut.

Ternyata sosok ini pernah teka-teki juga ya, setelah ketus dan ngamuk-ngamuk sepanjang operasi tadi, kini ia bisa begitu lembut dan halus. Dan jangan lupa. sedikit absurb juga! Jujur ini malah membuat Redita makin penasaran dengan sosok Dokter Adnan Sanjaya itu, ada apa dengannya?

Redita tidak banyak berkata-kata lagi, ia hanya diam dan menurut saja kemana konsulennya itu membawanya, asal tidak diapa-apakan saja deh! Hanya itu point pentingnya. Ia melirik sosok itu, wajah itu begitu teduh dan membuat Redita merasa aman dan nyaman ketika sedang bersama sosok itu. Kenapa rasanya lain? Tidak mungkin kan kalau ia jatuh cinta? Dengan Dokter Adnan? Gila!

"Re ... Boleh tanya?" guman sosok itu kemudian.

"Silahkan, Dokter."

"Berapa umur bapakmu?"

Redita menoleh, ia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dokter itu ucapkan. Ia kira mau tanya soal apa, kenapa malah jadi tanya soal bapaknya? Umur bapaknya? Apa pentingnya untuk dokter satu itu?

"Bapak umurnya sekitar lima puluh satu tahun, Dok."

Tampak raut wajah itu kembali sedikit kaku, Redita bisa langsung membaca itu dengan kedua matanya, tapi ia tidak bertanya apapun. Hingga kemudian mereka kembali hanyut dalam diam masing-masing. Tidak ada percakapan yang terjadi, hanya sunyi yang kembali membelenggu mereka.

Dokter Adnan membelokkan mobilnya ke sebuah mall, setelah memarkirkan mobilnya, ia menoleh dan menatap Redita lekat-lekat.

"Nggak masalahkan nemenin saya ngopi? Anggap aja lagi nemenin pakdhemu, oke?"

***

Gila! Adnan mengumpat dalam hati, bahkan bapaknya Redita dengan dirinya saja lebih tua Adnan! Selisih empat tahun dari dia, dan dengan PD-nya Adnan hendak memacari atau bahkan menikahi anaknya? Edan! Apakah setelah ini Adnan perlu berkonsultasi dengan sejawatnya di poli kejiwaan?

"Mbak saya mau caramel macchiato satu, pakai es," guman Adnan ketika ia dan Redita sudah duduk di salah satu gerai kopi mahal yang ada di mall itu.

"Baik, kalau mbaknya mau minum apa?"

"Saya cappucino ice aja deh," Redita tersenyum tampak sangat jika gadis itu sedikit kikuk.

"Tunggu sebentar ya," waiters itu bergegas pergi meninggalkan Adnan dan Redita sendirian.

Adnan menghela nafas panjang, ia malah jadi makin down ketika tahu umur bapak Redita bahkan lebih muda dari umurnya sendiri. Harapannya seolah menguap, rasanya ia tidak lagi punya celah untuk lebih dekat atau menjalin hubungan dengan gadis yang sekarang sedang bersamanya ini.

"Mohon maaf, Dok. Untuk ...,"

"Kalau di luar rumah sakit jangan panggil Dokter gitulah, Re. Saya bosan dengarnya," potong Adnan jemu.

"Iya baik, Pak. Maaf," guman Redita sambil tersenyum kecut.

"Kau mau tanya apa?"

"Untuk penelitiannya mau kapan, ya pak?" tampak mata itu begitu lekat menatapanya, membuat gelayar aneh di dalam hati Adnan makin begitu terasa.

"Sudah di handle anak saya kok, jangan khawatir."

Adnan menghela nafas panjang, penelitian apaan sih? Kan sebenarnya tidak ada penelitian bukan? Adnan memejamkan matanya sesaat, rasanya masukan dan dari Yudha memang perlu ia pertimbangkan, sebelum semuanya makin dalam.

'Apa saya salah kalau saya jatuh cinta kepadamu, Re?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
yesss langsung nembak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Ujung Senja   Extra Part 15

    Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama

  • Di Ujung Senja   Extra Part 14

    Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric

  • Di Ujung Senja   Extra Part 13

    Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang

  • Di Ujung Senja   Extra Part 12

    "Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung

  • Di Ujung Senja   Extra Part 11

    Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan

  • Di Ujung Senja   Extra Part 10

    Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status