Share

Chapter 2

Adnan merasakan jantungnya berdegup kencang, kenapa sih ia balik jadi kayak anak SMA? Ia melirik sekilas Redita yang tampak sama gugupnya. Gadis itu tampak cantik dengan rambut hitam legamnya. Matanya jernih dengan bulu mata lentik, kulitnya kuning Langsat cantik khas Indonesia. Tubuhnya mungil, dan dimata Adnan, Redita benar-benar menarik!

"Asli mana?" tanya Adnan ketika Redita masih diam membisu, padahal mobil yang mereka tumpangi sudah cukup jauh meninggalkan rumah sakit. Tidak ada percakapan sama sekali sejak Adnan membawa pergi Land Cruisser-nya dari halaman parkir rumah sakit tadi.

"Saya asli Semarang, Dokter." gadis itu tersenyum kikuk, Adnan tahu betul ia begitu gugup, sama dengan dirinya.

"Berapa bersaudara?" Adnan berusaha menekan sekuat tenaga segala gejolak yang menyiksanya itu.

"Dua, Dokter. Adik saya masih SMA," Redita benar-benar tampak gugup, senyumnya begitu kaku, padahal Adnan sering lihat di ruang koas Redita bisa tertawa terbahak-bahak bersama anak-anak koas yang lain. Ia termasuk salah satu mahasiswi yang ceria dan banyak bicara, ya walaupun itu hanya berlaku ketika ia berhadapan dengan teman-temannya saja.

"Jadi, kenapa sampai menangis seperti tadi? Bukan karena saya kan? Karena tadi saya bentak di OK itu? Apa betul karena itu?" Adnan tersenyum, ia melirik sekilas gadis cantik itu, ia benar-benar dibuat penasaran dengan sosok Redita.

"Bu-bukan, Dokter. Saya hanya sedang ada sedikit masalah," desis Redita lirih.

"Saya tidak keberatan kalau kamu mau berbagi duka dengan saya, Re. Siapa tau saya bisa membantu," entah dirasuki apa Adnan sampai bisa berkata demikian, namun mendengar isak tangis Redita, sungguh Adnan tidak tega! Hatinya sakit mendengar Isak tangis Redita.

"Ah ... hanya masalah anak muda yang tidak penting," Redita tersenyum kecut, ia tampak menghela nafas berat.

"Tidak penting ya? Kalau tidak penting kenapa sampai nangis kayak tadi?" Adnan kembali melirik Redita, gadis itu juga melirik dirinya, membuat mata mereka bertemu sesaat.

"Oh ... i-itu ...,"

"Biasanya anak muda kalau sampai nangis heboh gitu dia habis putus cinta, benarkan?" Adnan membelokkan mobilnya di sebuah resto yang cukup terkenal di kotanya.

Setelah mematikan mesin mobil, ia bergegas melepas seat belt-nya dan menatap Redita yang masih membeku di sebelahnya itu. Adnan tahu pasti Redita terkejut setengah mati dengan segala perubahan sikapnya ini, karena jujur ini semua diluar kebiasaan Adnan! Entah kenapa, ia sendiri tidak tahu, kenapa rasanya ia ingin kenal lebih dekat dengan sosok ini?

"Makan dulu ya? Ayo ikut!"

Adnan bergegas turun, membuat Redita mau tidak mau ikut melepas seat belt-nya dan mengekor di belakang langkah dokter bedah itu. Meskipun sudah setengah abad lebih, tapi Redita akui bahwa sosok itu masih begitu tampan dan awet muda! Tubuhnya tegap dan masih gagah!

"Mbak, buat dua orang," guman Adnan sambil menerima buku menu restoran tersebut.

"Mari silahkan ikut saya, Bapak."

Adnan mengangguk, lalu mengikuti langkah waiters itu. Redita menatap sosok konsulennya itu, bahkan di usianya yang sudah senja, tanda penuaan yang tampak pada sosok itu hanyalah beberapa helai uban pada rambutnya itu. Perut Adnan pun bahkan masih rata, benar-benar masih tampak sangat gagah!

"Mari silahkan," pegawai itu mempersilahkan Adnan dan Redita duduk.

"Terima kasih banyak," guman Adnan lirih sambil tersenyum.

Adnan lantas menyodorkan buku menu itu pada Redita yang duduk di depannya.

"Ladies first!"

Mau tidak mau Redita tersenyum, ia benar-benar dibuat kikuk dengan sikap Adnan yang sangat berbeda dengan yang ia dan teman-temannya kenal saat di rumah sakit. Tidak ia sangka bahwa dokter bedah senior itu bahkan bisa semanis dan selembut ini.

"Terima kasih, Dokter."

Adnan mengangguk, membiarkan. Redita memilih apa yang ia ingin pesan. Adnan menatap lekat-lekat gadis yang ada di hadapannya itu. Kenapa menatap wajah itu lama-lama membuat Adnan merasa aneh dengan diri dan perasaannya sendiri.

"Sudah, Dokter," Redita menyodorkan balik buku itu pada Adnan.

Adnan tersentak, ia tersenyum dan pura-pura sibuk memilih menu apa yang mau ia pesan. Sudut matanya melirik Redita yang tampak sibuk dengan smartphone di tangannya. Kenapa rasanya begitu lain jika sedang bersama gadis itu? Apalagi hanya berdua seperti ini. Kenapa rasanya ia jadi macam anak SMA jatuh cinta?

***

"Jadi, benar bukan tadi nangis habis putus cinta?" Adnan benar-benar penasaran, mereka tengah sibuk menyantap makanan pesanan mereka.

"Apakah sopan bercerita tentang masalah itu pada dosen?" Redita tersenyum kecut, ia melirik Adnan takut-takut.

"Jika dilingkungan belajar, mungkin tidak sopan, Re. Tapi lihat sekarang kita dimana!" Adnan meneguk minumannya, lalu kembali serius dengan pembicara dirinya dengan Redita.

"Saya rasa ini bukan hal penting bagi Anda, Dok," guman Redita sambil tersenyum kecut.

"Mungkin, tapi saya pengen tahu, saya penasaran apa yang sampai membuatmu nangis kayak tadi," Adnan belum menyerah, entah mengapa Redita benar-benar menarik perhatiannya.

"Cerita konyol tapi menyedihkan, Dok," Redita tampak menghela nafas panjang, "Ketika berusaha percaya dengan orang yang kita cintai, tapi ujung-ujungnya dikecewakan, itu ternyata benar-benar sakit."

Adnan diam, ia masih menatap Redita, menunggu ia melanjutkan ceritanya.

"Kalau hanya di selingkuhi mungkin sakit tapi tidak sedalam ini, tapi kalau tahu-tahu ditinggal nikah karena ngehamilin bidan magang di RS tempat dia internship, rasanya lebih pedih dan menusuk." Air mata itu kembali mengambang di pelupuk mata Redita, tamapak sosok itu kemudian menghela nafas dalam-dalam, berusaha mengurai sesak yang menghimpit dadanya itu.

Adnan tersentak, ia menatap Redita dengan tatapan tidak percaya. Mendadak rasa pedih yang pernah ia rasa itu kembali muncul, menyeruak dan memporak-porandakan hati Adnan. Pedih yang mendera hatinya lima tahun yang lalu, luka yang menghancurkan harga diri dan wibawanya sebagai seorang laki-laki dan suami dengan begitu luar biasa.

"Ah ... Dokter mana paham, pasti ...,"

"Siapa bilang saya tidak paham? Lima tahun yang lalu ... saya masih ingat betul itu sampai sekarang!" guman Adnan lirih dengan mata berkaca-kaca.

Kini gantian Redita yang tersentak, ia menatap lekat-lekat sosok yang kini tampak sedu dengan mata berkaca-kaca itu. Apa dia sudah salah bicara? Kenapa kemudian konsulennya itu malah ikut berkaca-kaca dan hendak menangis?

"Rasanya memang sakit, Re! Sangat sakit! Rasanya dulu saya sampai mau bunuh diri, tapi anak-anak saya yang membuat saya kemudian tetap kuat berdiri walaupun pedih itu sampai sekarang belum mau pergi." cerita Adnan sambil tersenyum kecut.

"Do-Dokter ...," Redita makin terkejut ketika ia melihat air mata itu menitik dari mata dokter bedah senior itu.

"Ya ... lima tahun yang lalu saya mengalami apa yang kamu rasakan! Sosok yang begitu saya cintai dan percayai itu melenceng hingga sejauh itu, hingga hamil benih laki-laki lain, Re." Adnan tampak menyusut air matanya, menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan.

Redita tercekat, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengarkan itu, namun melihat lelehan air mata itu, ia rasa dokter bedah itu tidak berbohong atau pun bersandiwara. Ia tahu betul apa arti sorot mata itu.

"Maafkan saya, Dokter."

"Tidak apa, bukan salahmu, Re!"

Adnan menghela nafas panjang, mereka diam membisu dalam pikiran masing-masing. Redita menundukkan wajahnya, kenapa suasananya jadi makin canggung macam ini? Adnan sendiri juga tidak mengerti, apa yang membuatnya kemudian sampai seperti ini? Perasaan apa yang muncul secara tiba-tiba dalam hatinya, yang sekarang begitu menganggunya itu?

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Ternyata masa lalu mu pahit dr Adnan dak kisah yg sama pun terjadi pada redita
goodnovel comment avatar
Deli Waryenti
dokter Adnan ikuti langkah dokter Yudha ...
goodnovel comment avatar
Sakura Asahara
owalah....dokter Adnan diatas 50 tahun dan redita 21 tahun....hahahahhahaha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status