Adnan merasakan jantungnya berdegup kencang, kenapa sih ia balik jadi kayak anak SMA? Ia melirik sekilas Redita yang tampak sama gugupnya. Gadis itu tampak cantik dengan rambut hitam legamnya. Matanya jernih dengan bulu mata lentik, kulitnya kuning Langsat cantik khas Indonesia. Tubuhnya mungil, dan dimata Adnan, Redita benar-benar menarik!
"Asli mana?" tanya Adnan ketika Redita masih diam membisu, padahal mobil yang mereka tumpangi sudah cukup jauh meninggalkan rumah sakit. Tidak ada percakapan sama sekali sejak Adnan membawa pergi Land Cruisser-nya dari halaman parkir rumah sakit tadi.
"Saya asli Semarang, Dokter." gadis itu tersenyum kikuk, Adnan tahu betul ia begitu gugup, sama dengan dirinya.
"Berapa bersaudara?" Adnan berusaha menekan sekuat tenaga segala gejolak yang menyiksanya itu.
"Dua, Dokter. Adik saya masih SMA," Redita benar-benar tampak gugup, senyumnya begitu kaku, padahal Adnan sering lihat di ruang koas Redita bisa tertawa terbahak-bahak bersama anak-anak koas yang lain. Ia termasuk salah satu mahasiswi yang ceria dan banyak bicara, ya walaupun itu hanya berlaku ketika ia berhadapan dengan teman-temannya saja.
"Jadi, kenapa sampai menangis seperti tadi? Bukan karena saya kan? Karena tadi saya bentak di OK itu? Apa betul karena itu?" Adnan tersenyum, ia melirik sekilas gadis cantik itu, ia benar-benar dibuat penasaran dengan sosok Redita.
"Bu-bukan, Dokter. Saya hanya sedang ada sedikit masalah," desis Redita lirih.
"Saya tidak keberatan kalau kamu mau berbagi duka dengan saya, Re. Siapa tau saya bisa membantu," entah dirasuki apa Adnan sampai bisa berkata demikian, namun mendengar isak tangis Redita, sungguh Adnan tidak tega! Hatinya sakit mendengar Isak tangis Redita.
"Ah ... hanya masalah anak muda yang tidak penting," Redita tersenyum kecut, ia tampak menghela nafas berat.
"Tidak penting ya? Kalau tidak penting kenapa sampai nangis kayak tadi?" Adnan kembali melirik Redita, gadis itu juga melirik dirinya, membuat mata mereka bertemu sesaat.
"Oh ... i-itu ...,"
"Biasanya anak muda kalau sampai nangis heboh gitu dia habis putus cinta, benarkan?" Adnan membelokkan mobilnya di sebuah resto yang cukup terkenal di kotanya.
Setelah mematikan mesin mobil, ia bergegas melepas seat belt-nya dan menatap Redita yang masih membeku di sebelahnya itu. Adnan tahu pasti Redita terkejut setengah mati dengan segala perubahan sikapnya ini, karena jujur ini semua diluar kebiasaan Adnan! Entah kenapa, ia sendiri tidak tahu, kenapa rasanya ia ingin kenal lebih dekat dengan sosok ini?
"Makan dulu ya? Ayo ikut!"
Adnan bergegas turun, membuat Redita mau tidak mau ikut melepas seat belt-nya dan mengekor di belakang langkah dokter bedah itu. Meskipun sudah setengah abad lebih, tapi Redita akui bahwa sosok itu masih begitu tampan dan awet muda! Tubuhnya tegap dan masih gagah!
"Mbak, buat dua orang," guman Adnan sambil menerima buku menu restoran tersebut.
"Mari silahkan ikut saya, Bapak."
Adnan mengangguk, lalu mengikuti langkah waiters itu. Redita menatap sosok konsulennya itu, bahkan di usianya yang sudah senja, tanda penuaan yang tampak pada sosok itu hanyalah beberapa helai uban pada rambutnya itu. Perut Adnan pun bahkan masih rata, benar-benar masih tampak sangat gagah!
"Mari silahkan," pegawai itu mempersilahkan Adnan dan Redita duduk.
"Terima kasih banyak," guman Adnan lirih sambil tersenyum.
Adnan lantas menyodorkan buku menu itu pada Redita yang duduk di depannya.
"Ladies first!"
Mau tidak mau Redita tersenyum, ia benar-benar dibuat kikuk dengan sikap Adnan yang sangat berbeda dengan yang ia dan teman-temannya kenal saat di rumah sakit. Tidak ia sangka bahwa dokter bedah senior itu bahkan bisa semanis dan selembut ini.
"Terima kasih, Dokter."
Adnan mengangguk, membiarkan. Redita memilih apa yang ia ingin pesan. Adnan menatap lekat-lekat gadis yang ada di hadapannya itu. Kenapa menatap wajah itu lama-lama membuat Adnan merasa aneh dengan diri dan perasaannya sendiri.
"Sudah, Dokter," Redita menyodorkan balik buku itu pada Adnan.
Adnan tersentak, ia tersenyum dan pura-pura sibuk memilih menu apa yang mau ia pesan. Sudut matanya melirik Redita yang tampak sibuk dengan smartphone di tangannya. Kenapa rasanya begitu lain jika sedang bersama gadis itu? Apalagi hanya berdua seperti ini. Kenapa rasanya ia jadi macam anak SMA jatuh cinta?
***
"Jadi, benar bukan tadi nangis habis putus cinta?" Adnan benar-benar penasaran, mereka tengah sibuk menyantap makanan pesanan mereka.
"Apakah sopan bercerita tentang masalah itu pada dosen?" Redita tersenyum kecut, ia melirik Adnan takut-takut.
"Jika dilingkungan belajar, mungkin tidak sopan, Re. Tapi lihat sekarang kita dimana!" Adnan meneguk minumannya, lalu kembali serius dengan pembicara dirinya dengan Redita.
"Saya rasa ini bukan hal penting bagi Anda, Dok," guman Redita sambil tersenyum kecut.
"Mungkin, tapi saya pengen tahu, saya penasaran apa yang sampai membuatmu nangis kayak tadi," Adnan belum menyerah, entah mengapa Redita benar-benar menarik perhatiannya.
"Cerita konyol tapi menyedihkan, Dok," Redita tampak menghela nafas panjang, "Ketika berusaha percaya dengan orang yang kita cintai, tapi ujung-ujungnya dikecewakan, itu ternyata benar-benar sakit."
Adnan diam, ia masih menatap Redita, menunggu ia melanjutkan ceritanya.
"Kalau hanya di selingkuhi mungkin sakit tapi tidak sedalam ini, tapi kalau tahu-tahu ditinggal nikah karena ngehamilin bidan magang di RS tempat dia internship, rasanya lebih pedih dan menusuk." Air mata itu kembali mengambang di pelupuk mata Redita, tamapak sosok itu kemudian menghela nafas dalam-dalam, berusaha mengurai sesak yang menghimpit dadanya itu.
Adnan tersentak, ia menatap Redita dengan tatapan tidak percaya. Mendadak rasa pedih yang pernah ia rasa itu kembali muncul, menyeruak dan memporak-porandakan hati Adnan. Pedih yang mendera hatinya lima tahun yang lalu, luka yang menghancurkan harga diri dan wibawanya sebagai seorang laki-laki dan suami dengan begitu luar biasa.
"Ah ... Dokter mana paham, pasti ...,"
"Siapa bilang saya tidak paham? Lima tahun yang lalu ... saya masih ingat betul itu sampai sekarang!" guman Adnan lirih dengan mata berkaca-kaca.
Kini gantian Redita yang tersentak, ia menatap lekat-lekat sosok yang kini tampak sedu dengan mata berkaca-kaca itu. Apa dia sudah salah bicara? Kenapa kemudian konsulennya itu malah ikut berkaca-kaca dan hendak menangis?
"Rasanya memang sakit, Re! Sangat sakit! Rasanya dulu saya sampai mau bunuh diri, tapi anak-anak saya yang membuat saya kemudian tetap kuat berdiri walaupun pedih itu sampai sekarang belum mau pergi." cerita Adnan sambil tersenyum kecut.
"Do-Dokter ...," Redita makin terkejut ketika ia melihat air mata itu menitik dari mata dokter bedah senior itu.
"Ya ... lima tahun yang lalu saya mengalami apa yang kamu rasakan! Sosok yang begitu saya cintai dan percayai itu melenceng hingga sejauh itu, hingga hamil benih laki-laki lain, Re." Adnan tampak menyusut air matanya, menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Redita tercekat, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengarkan itu, namun melihat lelehan air mata itu, ia rasa dokter bedah itu tidak berbohong atau pun bersandiwara. Ia tahu betul apa arti sorot mata itu.
"Maafkan saya, Dokter."
"Tidak apa, bukan salahmu, Re!"
Adnan menghela nafas panjang, mereka diam membisu dalam pikiran masing-masing. Redita menundukkan wajahnya, kenapa suasananya jadi makin canggung macam ini? Adnan sendiri juga tidak mengerti, apa yang membuatnya kemudian sampai seperti ini? Perasaan apa yang muncul secara tiba-tiba dalam hatinya, yang sekarang begitu menganggunya itu?
"Di mana rumahmu?" tanya Adnan ketika membawa mobil itu meninggalkan halaman restoran itu. Mereka sudah selesai dengan urusan makan siang mereka, obrolan mereka dan sudah saatnya mereka kembali pada aktivitas masing-masing bukan?"Saya kost di daerah belakang kampus, Dok," jawab Redita lirih."Oke saya antar sampai depan kost," Adnan membawa mobil itu tanpa berkata-kata lagi, ia fokus pada jalanan yang ada di depannya. Matanya masih memerah, namun dadanya sudah tidak lagi sesak seperti tadi, ketika ia harus kembali mengingat kejadian lima tahun yang lalu."Maaf saya malah merepotkan Anda, Dokter," guman Redita lirih.Adnan tertawa kecil, ia menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kemudinya."Jangan sungkan, bukankah tadi saya yang mengajakmu? Memaksamu untuk ikut saya? Kamu sama sekali tidak merepotkan."Redita melirik sekilas, ia tersenyum simpul melihat betapa memenangkannya melihat sosok itu. Kenapa wajahnya begitu teduh? Kenapa rasanya i
Adnan menghela nafas panjang, Edo sudah heboh mengira dirinya sudah akan menikah lagi, memang dia akan menikah sama siapa? Redita? Memangnya gadis itu mau? Dia bahkan hanya selisih dua tahun lebih tua dari Aldo, anak bungsunya yang tahun ini baru delapan belas tahun. Edo anak sulungnya sudah dua puluh enam tahun! Masa iya anak tiri sama ibu tiri tuaan anak tirinya sih? Lelucon macam apa ini?Adnan mendadak gelisah. Di rumahnya itu ia hanya seorang diri bersama dua orang asisten rumah tangga. Aldo? Jangan tanya, dia sedang pendidikan militer, anak itu benar-benar ingin masuk angkatan darat daripada mengikuti jejak sang ayah menjadi dokter atau jejak sang mama yang menjadi pengacara."Redita Fernanda ...."Adnan terkejut ketika ia secara tidak sadar menyebutkan nama itu. Apakah benar ia sudah jatuh cinta padanya? Namun apa pantas? Antara mereka selisih tiga puluh empat tahun! Tidak main-main, selisih tiga puluh empat tahun! Masa iya Adnan mau menikahi gadis yang s
"Ah ... Kenapa pakai bocor segala sih bannya!" teriak Redita gemas, ia celingak-celinguk mencari tukang tambal ban dan syukurlah ada tidak jauh dari tempat ia kena apes itu. Ia sudah niat mau berangkat pagi-pagi kenapa malah harus kena apes begini sih? Sangat menyebalkan sekali!Dengan bersunggut-sunggut Redita mendorong Honda Beat kesayangannya itu menuju tukang tambal ban. Rasanya nanti sampai rumah sakit ia akan bau keringat dan kusut karena harus mendorong motornya cukup jauh. Sia-sia ia pakai skincare berlapis-lapis, semprot parfum banyak-banyak kalau akhirnya sepagi ini ia sudah harus berkeringat macam ini. Sialan memang!Apes banget sih? Untung ia berangkat sedikit awal, kalau tidak bisa gawat, ia bisa telat bukan? Mana nanti masih ada visiting beberapa bangsal, diksusi ilmiah, astaga ... kepala Redita sontak menjadi pening."Motornya kenapa, Mbak?" tanya tukang tambal ban itu sigap ketika Redita menstandarkan motornya di depan kios tambal bannya.
"Re ... nanti ikut saya sebentar ya!" Dokter Adnan sudah muncul di ruang koas, di sana Redita tengah menatap layar laptopnya, sedang sibuk menerjemahkan beberapa jurnal untuk diskusi ilmiah dan data penguat presentasi kasusnya."Kemana, Dok?" Redita mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat Konsulennya itu. Ada urusan apa sampai dia harus ikut Adnan nanti?"Saya butuh bantuan mu buat bikin materi penelitian," guman Adnan berbohong, padahal tujuannya cuma agar rencana makan siang Redita bersama Andaru gagal, hanya itu! Licik bukan? Sebodoh amat, di sini kuasa Adnan lebih tinggi!"Bisa, Dokter, nanti saya ketemu Dokter di mana?" tanya Redita yang masih serius menyimak sosok yang duduk di hadapannya itu."Saya tunggu di parkiran, jangan telat ya," Adnan bergegas bangkit lalu melangkah pergi dari ruang koas itu, meninggalkan Redita yang tampak bimbang di tempatnya duduk. Pasalnya ia sudah ada janji dengan Andaru bukan?"Haduh, gagal deh makan siang g
"Bang, sori ya." guman Redita lirih ketika ia mengatakan bahwa tidak bisa ikut sosok itu makan siang seperti janji mereka tadi pagi.Andaru hanya menghela nafas panjang sambil tersenyum kecut, mau bagaimana lagi? Konsulen mereka yang minta kan? Bisa-bisa nilai dan kelulusan mereka jadi taruhannya. Jadi untuk masalah seperti ini, lebih baik diam dan mengalah, walaupun kadang permintaan konsulen itu terkesan kejam dan sedikit aneh-aneh."Iya aku paham kok, memangnya kamu mau diajak Dokter Adnan kemana?""Belum tahu, tadi bilangnya cuma disuruh bantu buat bikin bahan penelitian beliau," Redita benar-benar merasa tidak enak pada residen itu, tapi melawan perintah Dokter Adnan? Sama saja ia ingin tidak di luluskan!"Tapi nanti pulang bisa bareng kan?" Andaru masih berharap bisa berada dekat dengan sosok itu."Insyaallah deh Bang, nanti kabar-kabaran lagi aja ya," Redita sendiri tidak yakin bisa pulang bersama sosok itu, ia sendiri tidak tahu bukan apa y
Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya."Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya."Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ....""Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat."I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!"Oke, nanti saya kabari.""Kalau begitu, mari Dokt
"Selisih tiga puluh empat tahun, itu sama aja aku punya mantu setahun lebih muda dari aku, Nan! Lili lahiran Arra aku pas sudah tiga puluh lima tahun," guman Yudha sambil tersenyum kecut. Lagipula Adnan benar-benar aneh, kenapa juga harus gadis semuda itu yang ia incar? Ingat umur, astaga!Biasanya laki-laki kalau bahas wanita tentu hal-hal yang berhubungan dengan fisik, rupa atau bahkan tentang hal-hal berbau nakal, namun kini dua laki-laki dewasa itu membahas selisih umur, membahas puber kedua Adnan yang tidak main-main, jatuh cinta sama gadis dua puluh satu tahun."Yud, aku pusing," desis Adnan sambil tersenyum kecut, ia meremas rambutnya sambil memejamkan mata sejenak."Aku saja yang dengar dan lihat masalahmu saja pusing, apalagi kamu, Nan!" guman Yudha sambil memijit pelipisnya, sungguh masalah Adnan ini sedikit pelik. Yudha sendiri tidak tahu bagaimana nantinya reaksi anak-anak Adnan kalau tahu bapaknya jatuh cinta pada gadis ABG yang lebih pantas jadi an
Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram."Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat."Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melep