"Di mana rumahmu?" tanya Adnan ketika membawa mobil itu meninggalkan halaman restoran itu. Mereka sudah selesai dengan urusan makan siang mereka, obrolan mereka dan sudah saatnya mereka kembali pada aktivitas masing-masing bukan?
"Saya kost di daerah belakang kampus, Dok," jawab Redita lirih.
"Oke saya antar sampai depan kost," Adnan membawa mobil itu tanpa berkata-kata lagi, ia fokus pada jalanan yang ada di depannya. Matanya masih memerah, namun dadanya sudah tidak lagi sesak seperti tadi, ketika ia harus kembali mengingat kejadian lima tahun yang lalu.
"Maaf saya malah merepotkan Anda, Dokter," guman Redita lirih.
Adnan tertawa kecil, ia menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kemudinya.
"Jangan sungkan, bukankah tadi saya yang mengajakmu? Memaksamu untuk ikut saya? Kamu sama sekali tidak merepotkan."
Redita melirik sekilas, ia tersenyum simpul melihat betapa memenangkannya melihat sosok itu. Kenapa wajahnya begitu teduh? Kenapa rasanya ia sangat suka melihat wajah itu? Dan kenapa ia harus konsulennya sendiri? Kenapa harus seumuran dengan ayahnya? Astaga, rumit sekali sih! Jujur Redita benci dengan perasaan kurang ajar yang tiba-tiba muncul dan menyeruak di dalam hatinya itu.
"Besok pengen ambil spesialisasi apa?" tanya Adnan ketika Redita hanya diam membisu di tempatnya duduk.
"Oh ... a-anu pengen ambil spesialisasi anak, Dok."
"Alasannya?"
"Saya suka berinteraksi dengan anak kecil, mereka lucu, jujur, dan menggemaskan," Redita tiba-tiba tersenyum sendiri membayangkan jika nanti paseinnya anak-anak kecil semua, pasti akan banyak sekali dramanya ketika diperiksa bukan?
"Memang, anak-anak memang lucu. Nggak kepengen ambil bedah kayak saya?"
"Bedah? Nggak deh, saya nggak mau Dok!" guman Redita mendadak merinding, bayangan genangan darah dan scalpel membuat Redita ngeri.
"Lho kenapa?" Adnan mendadak tertawa melihat bertapa pucat wajah koas nya itu.
"Saya lihat scalpel aja merinding, Dok!" Redita tersenyum kecut, apalagi kalau lihat kubangan darah di meja operasi, ia benar-benar dibuat ngeri.
"Lha, emang kamu jadi pediatric besok nggak bakal lihat scalpel? Kalau ada operasi Caesarea kamu wajib ikut obsgyn-nya operasi tahu nggak?" Adnan tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Tapi kan cuma asistensi aja, Dok! Beda kalau sama dokter bedah," tukas Redita yang masih ngeri membayangkan saat-saat ia harus asistensi di stase bedah kemarin, rasanya ia ingin segera lulus dari stase bedah jadi tidak perlu lagi ia harus masuk ke dalam OK.
"Sama aja ah!" Adnan menoleh dan tersenyum, "Anak saja aja ambil bedah juga lho."
Mendadak Redita tertawa kecil, "Kan itu anaknya Dokter."
"Iya juga sih, tapi serius jadi dokter bedah itu asyik."
"Apakah ini salah satu cara dokter bedah mencari penerus?" Redita tersenyum geli, pokoknya demi apapun ia tidak mau jadi dokter bedah!
"Ya nggak gitu juga sih," Adnan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, sudut matanya melirik Redita yang berusaha menahan tawa itu.
Lebih enak melihat sosok itu dengan senyum merekah seperti ini bukan daripada waktu menangis sesenggukan tadi? Lesung pipinya jadi kelihatan, gigi kelincinya yang putih dan bersih itu makin membuat wajah Redita benar-benar nikmat di pandang.
"Ini dari sini kemana?" tanya Adnan ketika mereka sudah melewati jalanan di belakang gedung perguruan tinggi ternama di kota Solo itu.
"Lurus aja nanti ketemu lampu merah belok kiri ya, Dok."
"Oke, jangan khawatir."
Redita tersenyum, kenapa rasanya berat harus berpisah dengan sosok itu? Rasanya ia masih ingin berlama-lama bersama Adnan? Bayangan Rico dan segala macam pengkhianatan yang sudah ia lakukan mendadak lenyap tak berbekas. Ia sudah lupa dengan rasa sakit itu, ia sudah tidak peduli dengan semua hal yang sudah dilakukan laki-laki itu terhadapnya.
Kenapa harus dengan Dokter Adnan ia merasa seperti ini? Kenapa bukan dengan anak koas lain? Atau dokter magang? Dokter residen? Kenapa malah harus dengan sosok lima puluh lima tahun ini? Apakah ini sebuah dosa? Dosakah ia jatuh cinta pada sosok yang umurnya sama dengan umur bapaknya itu?
***
"Saya pamit balik ya, Re. Terima kasih sudah nemenin saya makan siang ini," Adnan tersenyum ketika ia menghentikan mobilnya di depan sebuah gerbang rumah kost putri itu.
"Saya yang harusnya terima kasih, Dokter. Sudah ditraktir makan, diajak sharing cerita, dihibur dan masih diantar pulang lagi." guman Redita sambil tersenyum manis, kenapa mendadak sakit hatinya hilang?
"Jangan sungkan, saya pamit balik ya. Kamu jangan lupa istirahat," Adnan tersenyum.
Redita tersenyum, ia melepas seat belt-nya lalu melangkah turun ke bawah. Adnan hanya menatap sosok itu sambil tersenyum, ketika sosok itu sudah turun dan berdiri di depan gerbang kostnya.
Redita melambaikan tangannya ketika Adnan mulai membawa pergi mobil itu dari depan gerbang kostnya. Hatinya mendadak merasa hampa, kenapa jadi seperti ini sih? Kenapa kerjadian hari ini meninggalkan sebuah perasaan aneh di dalam hatinya? Redita menggelengkan kepalanya lalu bergegas masuk ke dalam kostnya, mencoba membuang jauh-jauh semua perasaan aneh itu dari dalam hatinya.
Sementara Adnan ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia menatap jalanan di depannya dengan tatapan nanar, ia teringat tangisan dan senyum yang tadi terbayang di wajah cantik itu. Adnan masih terbayang dengan sosok itu ketika kemudian Smartphone miliknya berdering. Ia menepikan mobilnya lalu mengangkat panggilan yang rupanya dari anak sulungnya itu.
"Hallo, gimana Do?" sapa Adnan sambil tersenyum, ia sudah cukup rindu dengan Edo yang tengah menempuh pendidikan dokter spesialis-nya di Jogja.
"Papa apa kabar?" tanya suara di seberang dengan riang.
"Baik. Papa baik, Do. Kamu baik-baik saja bukan?" Adnan menyandarkan tubuhnya di jok mobil, membayangkan saat-saat ketika sedang bersama sang anak sulungnya itu.
"Baik, Pa. Sudah makan?"
"Baru aja selesai makan, kamu sudah makan belum? Kapan pulang Solo?"
"Insyaallah nanti Kamis Edo balik Solo deh, Papa mau dibawain apa nih?"
"Bawain calon mantu buat papa gimana?" goda Adnan sambil tersenyum.
"Calon mantu mulu, memang sudah boleh beneran nih Edo nikah?" tantang suara itu dari seberang.
"Kalau yang mau kamu nikahi itu beneran Arra, tentu boleh dong!"
"Beneran? Ada syarat khususnya nggak nih?" suara itu terdengar begitu riang, membuat Adnan rasanya ingin tertawa, sudah ngebet nikah juga anak sulungnya itu.
"Syarat khususnya kan sudah papa bilang, nikahnya harus sama Arra!" tukas Adnan tegas.
"Ya tentu sama Arra dong, memang mau siapa lagi sih, Pa?"
"Siapa tahu kamu punya yang lain, kan papa tidak tahu, Do."
"Itu namanya minta dihajar om Yudha sampai babak belur, Pa. Macarin anaknya bertahun-tahun ujungnya cuma ditinggal." tampak Edo mendengus kesal, membuat Adnan ingin tertawa geli.
"Bagus kalau kamu tahu, cepat pulang, papa tunggu!" Adnan kembali tersenyum, ia sudah begitu rindu dengan anak sulungnya itu.
"Siap, ngomong-ngomong Papa sendiri gimana?"
"Gimana apanya?" Adnan mengerutkan keningnya.
"Sudah berhasil move on kah? Atau sudah siap mau menikah lagi?"
Adnan tersenyum penuh arti, "Kalau papa bilang sudah siap, bagaimana?"
"APA?" suara itu terdengar begitu terkejut, "Pah, Papa serius sudah mau menikah lagi?"
Adnan menghela nafas panjang, Edo sudah heboh mengira dirinya sudah akan menikah lagi, memang dia akan menikah sama siapa? Redita? Memangnya gadis itu mau? Dia bahkan hanya selisih dua tahun lebih tua dari Aldo, anak bungsunya yang tahun ini baru delapan belas tahun. Edo anak sulungnya sudah dua puluh enam tahun! Masa iya anak tiri sama ibu tiri tuaan anak tirinya sih? Lelucon macam apa ini?Adnan mendadak gelisah. Di rumahnya itu ia hanya seorang diri bersama dua orang asisten rumah tangga. Aldo? Jangan tanya, dia sedang pendidikan militer, anak itu benar-benar ingin masuk angkatan darat daripada mengikuti jejak sang ayah menjadi dokter atau jejak sang mama yang menjadi pengacara."Redita Fernanda ...."Adnan terkejut ketika ia secara tidak sadar menyebutkan nama itu. Apakah benar ia sudah jatuh cinta padanya? Namun apa pantas? Antara mereka selisih tiga puluh empat tahun! Tidak main-main, selisih tiga puluh empat tahun! Masa iya Adnan mau menikahi gadis yang s
"Ah ... Kenapa pakai bocor segala sih bannya!" teriak Redita gemas, ia celingak-celinguk mencari tukang tambal ban dan syukurlah ada tidak jauh dari tempat ia kena apes itu. Ia sudah niat mau berangkat pagi-pagi kenapa malah harus kena apes begini sih? Sangat menyebalkan sekali!Dengan bersunggut-sunggut Redita mendorong Honda Beat kesayangannya itu menuju tukang tambal ban. Rasanya nanti sampai rumah sakit ia akan bau keringat dan kusut karena harus mendorong motornya cukup jauh. Sia-sia ia pakai skincare berlapis-lapis, semprot parfum banyak-banyak kalau akhirnya sepagi ini ia sudah harus berkeringat macam ini. Sialan memang!Apes banget sih? Untung ia berangkat sedikit awal, kalau tidak bisa gawat, ia bisa telat bukan? Mana nanti masih ada visiting beberapa bangsal, diksusi ilmiah, astaga ... kepala Redita sontak menjadi pening."Motornya kenapa, Mbak?" tanya tukang tambal ban itu sigap ketika Redita menstandarkan motornya di depan kios tambal bannya.
"Re ... nanti ikut saya sebentar ya!" Dokter Adnan sudah muncul di ruang koas, di sana Redita tengah menatap layar laptopnya, sedang sibuk menerjemahkan beberapa jurnal untuk diskusi ilmiah dan data penguat presentasi kasusnya."Kemana, Dok?" Redita mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat Konsulennya itu. Ada urusan apa sampai dia harus ikut Adnan nanti?"Saya butuh bantuan mu buat bikin materi penelitian," guman Adnan berbohong, padahal tujuannya cuma agar rencana makan siang Redita bersama Andaru gagal, hanya itu! Licik bukan? Sebodoh amat, di sini kuasa Adnan lebih tinggi!"Bisa, Dokter, nanti saya ketemu Dokter di mana?" tanya Redita yang masih serius menyimak sosok yang duduk di hadapannya itu."Saya tunggu di parkiran, jangan telat ya," Adnan bergegas bangkit lalu melangkah pergi dari ruang koas itu, meninggalkan Redita yang tampak bimbang di tempatnya duduk. Pasalnya ia sudah ada janji dengan Andaru bukan?"Haduh, gagal deh makan siang g
"Bang, sori ya." guman Redita lirih ketika ia mengatakan bahwa tidak bisa ikut sosok itu makan siang seperti janji mereka tadi pagi.Andaru hanya menghela nafas panjang sambil tersenyum kecut, mau bagaimana lagi? Konsulen mereka yang minta kan? Bisa-bisa nilai dan kelulusan mereka jadi taruhannya. Jadi untuk masalah seperti ini, lebih baik diam dan mengalah, walaupun kadang permintaan konsulen itu terkesan kejam dan sedikit aneh-aneh."Iya aku paham kok, memangnya kamu mau diajak Dokter Adnan kemana?""Belum tahu, tadi bilangnya cuma disuruh bantu buat bikin bahan penelitian beliau," Redita benar-benar merasa tidak enak pada residen itu, tapi melawan perintah Dokter Adnan? Sama saja ia ingin tidak di luluskan!"Tapi nanti pulang bisa bareng kan?" Andaru masih berharap bisa berada dekat dengan sosok itu."Insyaallah deh Bang, nanti kabar-kabaran lagi aja ya," Redita sendiri tidak yakin bisa pulang bersama sosok itu, ia sendiri tidak tahu bukan apa y
Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya."Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya."Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ....""Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat."I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!"Oke, nanti saya kabari.""Kalau begitu, mari Dokt
"Selisih tiga puluh empat tahun, itu sama aja aku punya mantu setahun lebih muda dari aku, Nan! Lili lahiran Arra aku pas sudah tiga puluh lima tahun," guman Yudha sambil tersenyum kecut. Lagipula Adnan benar-benar aneh, kenapa juga harus gadis semuda itu yang ia incar? Ingat umur, astaga!Biasanya laki-laki kalau bahas wanita tentu hal-hal yang berhubungan dengan fisik, rupa atau bahkan tentang hal-hal berbau nakal, namun kini dua laki-laki dewasa itu membahas selisih umur, membahas puber kedua Adnan yang tidak main-main, jatuh cinta sama gadis dua puluh satu tahun."Yud, aku pusing," desis Adnan sambil tersenyum kecut, ia meremas rambutnya sambil memejamkan mata sejenak."Aku saja yang dengar dan lihat masalahmu saja pusing, apalagi kamu, Nan!" guman Yudha sambil memijit pelipisnya, sungguh masalah Adnan ini sedikit pelik. Yudha sendiri tidak tahu bagaimana nantinya reaksi anak-anak Adnan kalau tahu bapaknya jatuh cinta pada gadis ABG yang lebih pantas jadi an
Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram."Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat."Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melep
"Putra Bapak umur berapa, kalau saya boleh tahu?" guman Redita yang bingung harus bicara apa ketika kemudian sosok itu hanya membisu."Oh, tahun ini dia sudah dua puluh enam tahun," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, sudah sangat tua sekali ternyata dirinya ini."Dua puluh enam tahun dan sudah hampir selesai PPDS?" tampak Redita terkejut.Adnan hanya mengangguk pelan, "Masuk FK umur enam belas tahun dulu.""Wah hebat," Redita berdercak kagum.Adnan hanya tersenyum, rasanya malah Redita lebih pantas dengan Edo daripada Adnan, benar bukan? Rasanya Adnan benar-benar gila! Jatuh cinta pada gadis kemarin sore? Sungguh diluar kendali Adnan sebenarnya."Ah biasa saja kok, Re. Memang dia sedikit ambis sejak dulu," Adnan menghela nafas panjang, ia mulai sedikit tidak nyaman. Rasa percaya dirinya luntur seketika."Pulang sekarang?" tanya Adnan sambil meletakkan cup miliknya."Boleh kalau Bapak tidak keberatan."Adnan mengangguk i