Share

Chapter 3

"Di mana rumahmu?" tanya Adnan ketika membawa mobil itu meninggalkan halaman restoran itu. Mereka sudah selesai dengan urusan makan siang mereka, obrolan mereka dan sudah saatnya mereka kembali pada aktivitas masing-masing bukan?

"Saya kost di daerah belakang kampus, Dok," jawab Redita lirih.

"Oke saya antar sampai depan kost," Adnan membawa mobil itu tanpa berkata-kata lagi, ia fokus pada jalanan yang ada di depannya. Matanya masih memerah, namun dadanya sudah tidak lagi sesak seperti tadi, ketika ia harus kembali mengingat kejadian lima tahun yang lalu.

"Maaf saya malah merepotkan Anda, Dokter," guman Redita lirih.

Adnan tertawa kecil, ia menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kemudinya.

"Jangan sungkan, bukankah tadi saya yang mengajakmu? Memaksamu untuk ikut saya? Kamu sama sekali tidak merepotkan."

Redita melirik sekilas, ia tersenyum simpul melihat betapa memenangkannya melihat sosok itu. Kenapa wajahnya begitu teduh? Kenapa rasanya ia sangat suka melihat wajah itu? Dan kenapa ia harus konsulennya sendiri? Kenapa harus seumuran dengan ayahnya? Astaga, rumit sekali sih! Jujur Redita benci dengan perasaan kurang ajar yang tiba-tiba muncul dan menyeruak di dalam hatinya itu.

"Besok pengen ambil spesialisasi apa?" tanya Adnan ketika Redita hanya diam membisu di tempatnya duduk.

"Oh ... a-anu pengen ambil spesialisasi anak, Dok."

"Alasannya?"

"Saya suka berinteraksi dengan anak kecil, mereka lucu, jujur, dan menggemaskan," Redita tiba-tiba tersenyum sendiri membayangkan jika nanti paseinnya anak-anak kecil semua, pasti akan banyak sekali dramanya ketika diperiksa bukan?

"Memang, anak-anak memang lucu. Nggak kepengen ambil bedah kayak saya?"

"Bedah? Nggak deh, saya nggak mau Dok!" guman Redita mendadak merinding, bayangan genangan darah dan scalpel membuat Redita ngeri.

"Lho kenapa?" Adnan mendadak tertawa melihat bertapa pucat wajah koas nya itu.

"Saya lihat scalpel aja merinding, Dok!" Redita tersenyum kecut, apalagi kalau lihat kubangan darah di meja operasi, ia benar-benar dibuat ngeri.

"Lha, emang kamu jadi pediatric besok nggak bakal lihat scalpel? Kalau ada operasi Caesarea kamu wajib ikut obsgyn-nya operasi tahu nggak?" Adnan tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"Tapi kan cuma asistensi aja, Dok! Beda kalau sama dokter bedah," tukas Redita yang masih ngeri membayangkan saat-saat ia harus asistensi di stase bedah kemarin, rasanya ia ingin segera lulus dari stase bedah jadi tidak perlu lagi ia harus masuk ke dalam OK.

"Sama aja ah!" Adnan menoleh dan tersenyum, "Anak saja aja ambil bedah juga lho."

Mendadak Redita tertawa kecil, "Kan itu anaknya Dokter."

"Iya juga sih, tapi serius jadi dokter bedah itu asyik."

"Apakah ini salah satu cara dokter bedah mencari penerus?" Redita tersenyum geli, pokoknya demi apapun ia tidak mau jadi dokter bedah!

"Ya nggak gitu juga sih," Adnan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, sudut matanya melirik Redita yang berusaha menahan tawa itu.

Lebih enak melihat sosok itu dengan senyum merekah seperti ini bukan daripada waktu menangis sesenggukan tadi? Lesung pipinya jadi kelihatan, gigi kelincinya yang putih dan bersih itu makin membuat wajah Redita benar-benar nikmat di pandang.

"Ini dari sini kemana?" tanya Adnan ketika mereka sudah melewati jalanan di belakang gedung perguruan tinggi ternama di kota Solo itu.

"Lurus aja nanti ketemu lampu merah belok kiri ya, Dok."

"Oke, jangan khawatir."

Redita tersenyum, kenapa rasanya berat harus berpisah dengan sosok itu? Rasanya ia masih ingin berlama-lama bersama Adnan? Bayangan Rico dan segala macam pengkhianatan yang sudah ia lakukan mendadak lenyap tak berbekas. Ia sudah lupa dengan rasa sakit itu, ia sudah tidak peduli dengan semua hal yang sudah dilakukan laki-laki itu terhadapnya.

Kenapa harus dengan Dokter Adnan ia merasa seperti ini? Kenapa bukan dengan anak koas lain? Atau dokter magang? Dokter residen? Kenapa malah harus dengan sosok lima puluh lima tahun ini? Apakah ini sebuah dosa? Dosakah ia jatuh cinta pada sosok yang umurnya sama dengan umur bapaknya itu?

***

"Saya pamit balik ya, Re. Terima kasih sudah nemenin saya makan siang ini," Adnan tersenyum ketika ia menghentikan mobilnya di depan sebuah gerbang rumah kost putri itu.

"Saya yang harusnya terima kasih, Dokter.  Sudah ditraktir makan, diajak sharing cerita, dihibur dan masih diantar pulang lagi." guman Redita sambil tersenyum manis, kenapa mendadak sakit hatinya hilang?

"Jangan sungkan, saya pamit balik ya. Kamu jangan lupa istirahat," Adnan tersenyum.

Redita tersenyum, ia melepas seat belt-nya lalu melangkah turun ke bawah. Adnan hanya menatap sosok itu sambil tersenyum, ketika sosok itu sudah turun dan berdiri di depan gerbang kostnya.

Redita melambaikan tangannya ketika Adnan mulai membawa pergi mobil itu dari depan gerbang kostnya. Hatinya mendadak merasa hampa, kenapa jadi seperti ini sih? Kenapa kerjadian hari ini meninggalkan sebuah perasaan aneh di dalam hatinya? Redita menggelengkan kepalanya lalu bergegas masuk ke dalam kostnya, mencoba membuang jauh-jauh semua perasaan aneh itu dari dalam hatinya.

Sementara Adnan ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia menatap jalanan di depannya dengan tatapan nanar, ia teringat tangisan dan senyum yang tadi terbayang di wajah cantik itu. Adnan masih terbayang dengan sosok itu ketika kemudian Smartphone miliknya berdering. Ia menepikan mobilnya lalu mengangkat panggilan yang rupanya dari anak sulungnya itu.

"Hallo, gimana Do?" sapa Adnan sambil tersenyum, ia sudah cukup rindu dengan Edo yang tengah menempuh pendidikan dokter spesialis-nya di Jogja.

"Papa apa kabar?" tanya suara di seberang dengan riang.

"Baik. Papa baik, Do. Kamu baik-baik saja bukan?" Adnan menyandarkan tubuhnya di jok mobil, membayangkan saat-saat ketika sedang bersama sang anak sulungnya itu.

"Baik, Pa. Sudah makan?"

"Baru aja selesai makan, kamu sudah makan belum? Kapan pulang Solo?"

"Insyaallah nanti Kamis Edo balik Solo deh, Papa mau dibawain apa nih?"

"Bawain calon mantu buat papa gimana?" goda Adnan sambil tersenyum.

"Calon mantu mulu, memang sudah boleh beneran nih Edo nikah?" tantang suara itu dari seberang.

"Kalau yang mau kamu nikahi itu beneran Arra, tentu boleh dong!"

"Beneran? Ada syarat khususnya nggak nih?" suara itu terdengar begitu riang, membuat Adnan rasanya ingin tertawa, sudah ngebet nikah juga anak sulungnya itu.

"Syarat khususnya kan sudah papa bilang, nikahnya harus sama Arra!" tukas Adnan tegas.

"Ya tentu sama Arra dong, memang mau siapa lagi sih, Pa?"

"Siapa tahu kamu punya yang lain, kan papa tidak tahu, Do."

"Itu namanya minta dihajar om Yudha sampai babak belur, Pa. Macarin anaknya bertahun-tahun ujungnya cuma ditinggal." tampak Edo mendengus kesal, membuat Adnan ingin tertawa geli.

"Bagus kalau kamu tahu, cepat pulang, papa tunggu!" Adnan kembali tersenyum, ia sudah begitu rindu dengan anak sulungnya itu.

"Siap, ngomong-ngomong Papa sendiri gimana?"

"Gimana apanya?" Adnan mengerutkan keningnya.

"Sudah berhasil move on kah? Atau sudah siap mau menikah lagi?"

Adnan tersenyum penuh arti, "Kalau papa bilang sudah siap, bagaimana?"

"APA?" suara itu terdengar begitu terkejut, "Pah, Papa serius sudah mau menikah lagi?"

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
wah ternyata dr yudha calon besannya dr Adnan
goodnovel comment avatar
Dite
ini dr yudha nya karin bukan sih thor?
goodnovel comment avatar
Dede Maulana
ketuaan thor,kenapa nggak 40 tahunan aja sih,rere baru 21 tahun,dokter adnan 55 tahun,jadi bedanya 33 tahunan,hadeh.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status