"Re ... nanti ikut saya sebentar ya!" Dokter Adnan sudah muncul di ruang koas, di sana Redita tengah menatap layar laptopnya, sedang sibuk menerjemahkan beberapa jurnal untuk diskusi ilmiah dan data penguat presentasi kasusnya.
"Kemana, Dok?" Redita mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat Konsulennya itu. Ada urusan apa sampai dia harus ikut Adnan nanti?
"Saya butuh bantuan mu buat bikin materi penelitian," guman Adnan berbohong, padahal tujuannya cuma agar rencana makan siang Redita bersama Andaru gagal, hanya itu! Licik bukan? Sebodoh amat, di sini kuasa Adnan lebih tinggi!
"Bisa, Dokter, nanti saya ketemu Dokter di mana?" tanya Redita yang masih serius menyimak sosok yang duduk di hadapannya itu.
"Saya tunggu di parkiran, jangan telat ya," Adnan bergegas bangkit lalu melangkah pergi dari ruang koas itu, meninggalkan Redita yang tampak bimbang di tempatnya duduk. Pasalnya ia sudah ada janji dengan Andaru bukan?
"Haduh, gagal deh makan siang gratis!" guman Redita lalu merogoh Smartphone miliknya, ia harus mengabari Andaru bahwa ada urusan mendadak yang membuat Redita tidak bisa menepati janjinya untuk makan siang di luar bersama sosok itu.
Adnan yang masih berdiri di dekat pintu ruang koas itu hanya tersenyum geli, pesanlah nanti apa yang mau Redita makan, dia yang bayar. Dengan senyum penuh kemenangan Adnan melangkah pergi dari depan ruang koas itu. Yang jelas nanti siang acara makan berdua mereka gagal! Dan tujuan Adnan berjalan lancar!
"Nan!" teriak sebuah suara yang ia tahu betul itu milik siapa.
"Eh, ada apa, Yud?" sudah ia duga bukan? Internis itu yang memanggilnya.
"Biasa mau oper pasien," jawabnya sambil nyengir lebar dengan map status pasien yang ada di tangannya.
"Kasus apa lagi?" Adnan mengerutkan keningnya, ia melangkah santai beriringan bersama sahabatnya itu, sambil menerima map status itu dari tangan Yudha.
"Biasa appedicitis, bakal dapat banyak jeroan kamu nanti," gurau Yudha sambil tersenyum jahil.
"Mau kau bawa pulang jeroannya? Ntar aku bungkusin deh, biar sama istrimu dibikin soto," kelakar Adnan sambil tertawa lebar.
"Ogah, aku nggak suka makan jeroan, kolesterol!" tukas Yudha gemas, kenapa tidak Adnan bawa pulang sendiri? Kan yang panen jeroan dia, bukan Yudha.
Adnan terkekeh, ia menekan knop pintu ruang praktek nya, mempersilahkan dokter penyakit dalam itu masuk ke dalam.
"Gimana kabar anak-anak? Kamu masih betah sendirian di rumah?" Yudha duduk di kursi yang ada di depan meja Adnan.
"Mereka baik, Edo tiap hari menelepon ku. Hey siapa bilang aku di rumah sendirian? Ada dua asisten rumah tanggaku kok," tukas Adnan yang paham kemana arah bicara Yudha ini.
"Maksudku kamu nggak ada niatan pengen nikah lagi, Nan?" nah sudah dia duga bukan? Ujungnya selalu membahas hal itu.
"Sebenarnya ada sih Yud, tapi ...."
"Belum ada calonnya?" potong Yudha cepat.
"Bukan begitu, kalau calon sih udah dapat bidikan," jawab Adnan santai, enak saja dikatain belum ada calon, bisa turun pamor Adnan kalau begitu.
"Eh siapa? Orang mana?" tanya Yudha antusias, wajahnya berseri-seri, ia akan ikut bahagia kalau akhirnya temannya ini mengakhiri kejombloannya dan mendapat isteri baru.
"Pasti kau akan memakiku habis-habisan deh," Adnan tersenyum kecut, pasti Yudha mencak-mencak kalau tahu siapa calon yang ia maksud itu.
"Siapa? Kenapa harus mencak-mencak?" Yudha mengerutkan keningnya, "Masih punya suami dia?"
"Dia lajang sih, cuma ...."
"Cuma apa?" Yudha benar-benar tidak sabar, kalau sama-sama lajang kenapa ragu?
"Cuma dia masih dua puluh satu tahun, Yud!"
"APA?" Yudha tersentak luar biasa, ditatapnya Adnan dengan tatapan tidak percaya, "Nan kamu sadar? Kamu mau nikahin gadis yang bahkan sama Edo aja tuaan Edo, anak sulungmu?" teriak Yudha histeris.
"Nah kan, kamu mencak-mencak kan," gerutu Adnan sambil tersenyum kecut, sudah ia duga!
"Ya gimana nggak mencak-mencak sih, yang tuaan dikit nggak ada, Nan? Masa iya Edo sama ibu tirinya tuaan dia sih?" protes Yudha tidak habis pikir, sudah gila mungkin Adnan ini.
"Entah lah, Yud. Yang jelas aku belum berani cerita ke anak-anak soal perasaanku ini, baru kamu yang tahu soal ini." Adnan menutup wajahnya dengan kedua tangan, tampak ia mengusap wajahnya dengan gusar.
"Tapi kalian udah ... maksudku udah pacaran?" kok jadi kayak anak muda sih? Pakai pacaran segala?
"Belum sih," Adnan garuk-garuk kepala sambil nyengir, membuat Yudha rasanya ingin memukul kepala dokter bedah itu sekeras-kerasnya.
"Astaga Adnan!" pekik Yudha gemas, "Dah lah aku pamit duluan, ntar kalau udah jadian atau mau lamaran nih, telepon aja, oke?" guman Yudha lalu bangkit dan melangkah pergi dari ruang praktek Adnan.
Adnan hanya tersenyum kecut, memang benar Redita mau sama dia? Ah ... ia benar-benar sudah gila!
***
Yudha tidak habis pikir, yang benar aja Adnan mau nikahin anak dua puluh satu tahun? Edo anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun umurnya! Cocoknya jadi menantunya bukan jadi isterinya. Eh tapi siapa sih gadis yang Adnan maksud? Kenapa tadi Yudha tidak tanya sih? Dasar Yudha, kenapa tidak kepikiran sampai sana?
Yudha melangkah kembali ke polinya ketika iPhone miliknya berdering, ia merogoh snelinya dan menemukan nama Edo terpampang di sana. Tumben anak itu telepon? Ada kabar apa soal Arra?
"Halo gimana, Do?" tanya Yudha sambil tersenyum.
"Om, Edo mau tanya nih, siapa tahu Om Yudha tahu," guman suara dari seberang.
"Soal apa, Do?" Yudha mengerutkan keningnya, jangan bilang kalau soal ...,
"Papa kayaknya udah ada tanda-tanda mau nikah lagi, Om. Om Yudha tahu siapa orangnya? Calonnya papa maksudnya, Om"
Nah kan! Benar dugaan Yudha! Kepala Yudha jadi pusing. Yudha harus jawab apa? Jawab kalau calon mama tiri Edo lebih muda lima tahun dari usia Edo sendiri? Bisa pingsan di tempat anak itu nanti!
"Betulkah? Kenapa Om malah baru tahu, Do?" tanya Yudha berbohong, biarlah masalah itu Adnan bicarakan sendiri dengan anak-anaknya bukan? Yudha tidak berhak.
"Jadi Om Yudha malah belum tahu?" tampak suara itu terdengar kecewa.
"Baru tahu dari kamu, memang papamu bilang apa?" sukses, Edo percaya kebohongannya.
"Ya nggak bilang sih, cuma Edo ngerasa aja kayaknya papa sudah nemu pengganti mama, Om."
"Edo nggak setuju emang papa mau nikah lagi?" Yudha mencoba mencari tahu, anak-anak adalah objek yang paling dirugikan dari kejadian lima tahun yang lalu itu bukan?
"Setuju sih, kasian juga papa cuma sendirian. Tapi ya lihat-lihat calonnya dulu, Om."
Yudha menghela nafas panjang, masalahnya ia juga tidak tahu siapa gadis itu, gila sih! Masa iya masih dua puluh satu tahun? Adnan kesambet apa kemarin?
"Coba Om cari tahu dulu ya, Do. Nanti Om kabari," jujur Yudha juga penasaran.
"Baik Om, terima kasih banyak ya, Om!"
Yudha mengangguk, ia kembali memasukkan iPhone miliknya, sebenarnya siapa gadis itu?
"Bang, sori ya." guman Redita lirih ketika ia mengatakan bahwa tidak bisa ikut sosok itu makan siang seperti janji mereka tadi pagi.Andaru hanya menghela nafas panjang sambil tersenyum kecut, mau bagaimana lagi? Konsulen mereka yang minta kan? Bisa-bisa nilai dan kelulusan mereka jadi taruhannya. Jadi untuk masalah seperti ini, lebih baik diam dan mengalah, walaupun kadang permintaan konsulen itu terkesan kejam dan sedikit aneh-aneh."Iya aku paham kok, memangnya kamu mau diajak Dokter Adnan kemana?""Belum tahu, tadi bilangnya cuma disuruh bantu buat bikin bahan penelitian beliau," Redita benar-benar merasa tidak enak pada residen itu, tapi melawan perintah Dokter Adnan? Sama saja ia ingin tidak di luluskan!"Tapi nanti pulang bisa bareng kan?" Andaru masih berharap bisa berada dekat dengan sosok itu."Insyaallah deh Bang, nanti kabar-kabaran lagi aja ya," Redita sendiri tidak yakin bisa pulang bersama sosok itu, ia sendiri tidak tahu bukan apa y
Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya."Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya."Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ....""Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat."I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!"Oke, nanti saya kabari.""Kalau begitu, mari Dokt
"Selisih tiga puluh empat tahun, itu sama aja aku punya mantu setahun lebih muda dari aku, Nan! Lili lahiran Arra aku pas sudah tiga puluh lima tahun," guman Yudha sambil tersenyum kecut. Lagipula Adnan benar-benar aneh, kenapa juga harus gadis semuda itu yang ia incar? Ingat umur, astaga!Biasanya laki-laki kalau bahas wanita tentu hal-hal yang berhubungan dengan fisik, rupa atau bahkan tentang hal-hal berbau nakal, namun kini dua laki-laki dewasa itu membahas selisih umur, membahas puber kedua Adnan yang tidak main-main, jatuh cinta sama gadis dua puluh satu tahun."Yud, aku pusing," desis Adnan sambil tersenyum kecut, ia meremas rambutnya sambil memejamkan mata sejenak."Aku saja yang dengar dan lihat masalahmu saja pusing, apalagi kamu, Nan!" guman Yudha sambil memijit pelipisnya, sungguh masalah Adnan ini sedikit pelik. Yudha sendiri tidak tahu bagaimana nantinya reaksi anak-anak Adnan kalau tahu bapaknya jatuh cinta pada gadis ABG yang lebih pantas jadi an
Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram."Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat."Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melep
"Putra Bapak umur berapa, kalau saya boleh tahu?" guman Redita yang bingung harus bicara apa ketika kemudian sosok itu hanya membisu."Oh, tahun ini dia sudah dua puluh enam tahun," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, sudah sangat tua sekali ternyata dirinya ini."Dua puluh enam tahun dan sudah hampir selesai PPDS?" tampak Redita terkejut.Adnan hanya mengangguk pelan, "Masuk FK umur enam belas tahun dulu.""Wah hebat," Redita berdercak kagum.Adnan hanya tersenyum, rasanya malah Redita lebih pantas dengan Edo daripada Adnan, benar bukan? Rasanya Adnan benar-benar gila! Jatuh cinta pada gadis kemarin sore? Sungguh diluar kendali Adnan sebenarnya."Ah biasa saja kok, Re. Memang dia sedikit ambis sejak dulu," Adnan menghela nafas panjang, ia mulai sedikit tidak nyaman. Rasa percaya dirinya luntur seketika."Pulang sekarang?" tanya Adnan sambil meletakkan cup miliknya."Boleh kalau Bapak tidak keberatan."Adnan mengangguk i
Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh
“Kau yakin, Nan?” Yudha tersenyum setelah mendengar cerita Adnan tentang perubahan perasaan Adnan terhadap mahasiswi koasnya itu. Lucu juga ya kalau laki-laki berumur macam Adnan jatuh cinta? Rasanya Yudha jadi ingin tertawa terbahak-bahak.“Yakin lah, Yud! Kasian juga kalau dipikir Redita harus dapat suami seumuran bapaknya kayak aku gini, eh tapi tuaan aku ketimbang bapaknya Redita, Yud!” Adnan menghela nafas panjang, sebuah alasan yang tidak egois bukan?“Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."Yudha yang tengah meneguk teh hangatnya itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk mendengar apa yang tadi Adnan katakan itu. Apa? Lebih tua Adnan ketimbang bapaknya Redita? Ia tidak salah dengar kan? Memangnya berapa umur bapaknya Redita? Kenapa dengan Adnan masih tua Adnan?“Apa katamu, Nan? Lebih tua kamu ketimbang bapaknya Redita?” Yudha kembali bertanya, ia berharap bahwa ia salah dengar. Ditatapnya Adnan dengan tatapan tidak perc
Adnan menatap sosok itu dari jauh, kenapa rasanya ia ingin terus berada di sisinya? Adnan menghela nafas panjang, kenapa begitu rumit sih? Kenapa ia malah tertarik dan jatuh hati dengan sosok itu? Kenapa bukan pada Manda yang kemarin Yudha sodorkan pada dirinya itu? Atau pada rekan sejawat yang lain? Wanita lain yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan dirinya? Yang bisa diterima akal sehat mengenai perbedaan usia mereka?“Re ... kamu hampir membuaku gila!” desis Adnan gemas lalu dengan gusar melangkah masuk ke ruangannya.Adnan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas, ia masih terbayang-bayang obrolannya dengan Yudha kemarin. Cintanya tentu tidak salah, hanya saja waktu yang salah memisahkan jarak usia mereka begitu jauh. Usia yang terpaut sangat jauh sekali. Redita pantasnya menjadi anak Adnan, bukan menjadi isterinya!Ahh ... Adnan harus menang melawan semua perasaannya itu. Toh belum tentu juga kan gadis itu juga punya rasa yang s