Share

Chapter 5

"Ah ... Kenapa pakai bocor segala sih bannya!" teriak Redita gemas, ia celingak-celinguk mencari tukang tambal ban dan syukurlah ada tidak jauh dari tempat ia kena apes itu. Ia sudah niat mau berangkat pagi-pagi kenapa malah harus kena apes begini sih? Sangat menyebalkan sekali!

Dengan bersunggut-sunggut Redita mendorong Honda Beat kesayangannya itu menuju tukang tambal ban. Rasanya nanti sampai rumah sakit ia akan bau keringat dan kusut karena harus mendorong motornya cukup jauh. Sia-sia ia pakai skincare berlapis-lapis, semprot parfum banyak-banyak kalau akhirnya sepagi ini ia sudah harus berkeringat macam ini. Sialan memang!

Apes banget sih? Untung ia berangkat sedikit awal, kalau tidak bisa gawat, ia bisa telat bukan? Mana nanti masih ada visiting beberapa bangsal, diksusi ilmiah, astaga ... kepala Redita sontak menjadi pening.

"Motornya kenapa, Mbak?" tanya tukang tambal ban itu sigap ketika Redita menstandarkan motornya di depan kios tambal bannya.

"Bocor bannya, Pak. Sudah buka kan?" Redita tampak terengah-engah, ia kemudian duduk sejenak di kursi yang ada di depan kios tambal ban.

"Tapi belum siap ini, Mbak, ditunggu dulu nggak apa-apa?"

"Saya tinggal aja gimana, Pak? Saya keburu telat nih, nanti saya ambil sepulang kuliah," guman Redita sambil mengipas-ngipaskan tangannya.

"Oh nggak apa-apa, Mbak. Kuncinya dibawa aja kalau mau ditinggal."

"Saya tinggal nomor handphone ya, Pak. Nanti hubungi saya kalau sudah selesai," Redita menyodorkan selembar kertas yang berisi nomor handphone-nya.

"Oh baik, Mbak. Nanti kalau sudah kelar saya hubungi."

Redita mengangguk, ia kemudian bangkit dan melangkah keluar dari kios tambal ban itu. Ah ... Naik apaan dia ke rumah sakit? Kalau jalan kaki lumayan jauh nih, tiga puluh menitan! Ia memanyunkan bibirnya lalu melangkah sedikit guna pergi ke halte yang tak jauh dari tempatnya itu, eh tapi bus-nya lewat rumah sakit nggak? Dia belum pernah naik bus! Bagaimana kalau nanti dia nyasar naik bus? Konsulennya mana mau tahu Redita nyasar gara-gara salah naik bus!

"Order ojek o****e aja kali ya?" Redita hendak merogoh Smartphone miliknya ketika kemudian mobil Toyota Yaris Merah itu berhenti tepat di depannya.

"Re ...," teriak seseorang dari dalam mobil.

Redita tersentak ketika menyadari siapa sosok yang berteriak dari dalam mobil itu, Andaru, residen bedah yang tengah pendidikan di RS yang sama dengan dirinya. Tampak sosok itu melonggok dan menatapnya dari dalam mobil.

"Kenapa, Bang?" tanya Redita yang sontak berdiri dan sedikit mendekat.

"Kamu mau kemana?"

"Ke rumah sakit lah, Bang! Mau koas," jawab Redita sambil memanyunkan bibirnya, dia memangnya mau kemana? Orang sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan. Sungguh pertanyaan yang menyebalkan sekali.

"Kamu mau jalan kaki?" Andaru tampak terkejut.

"Motorku bocor bannya, Bang. Noh baru ditambal."

"Yaudah, ayo naik!"

"Apa?" Redita menatap sosok itu tidak percaya.

"Cepat naik! Kita satu jalur satu tujuan, masa iya kamu mau jalan?" Andaru membuka pintu mobilnya.

Redita masih tertegun, sedetik kemudian ia sadar dan bergegas masuk ke dalam. Lumayan lah, g****s dan nggak perlu capek. Nggak perlu salah naik bus dan nyasar, nggak perlu order ojek juga bukan?

"Lagian kok bisa bocor sih?" Andaru mulai kembali membawa mobilnya melaju.

"Mana aku tahu sih Bang? Namanya juga lagi apes," Redita mengipas-ngipaskan tangannya, panas dan gerah padahal AC mobil sudah hidup.

"Aku turunin suhu AC-nya ya? Kamu gerah banget kayaknya," Andaru langsung peka, sementara Redita hanya mengangguk dan tersenyum.

"Nanti pulang aku antar aja, kan nanti aku lewat sini lagi," Andaru menoleh, menatap Redita yang masih merasa gerah itu.

"Ngerepotin nggak nih, Bang?" tanya Redita yang masih tampak sungkan dan tidak enak itu.

"Nggak, orang kita satu arah, ngerepotin apa sih?" sosok itu tersenyum, "Moga aja ntar nggak ada cito!"

"Nah itu, enak ya jadi dokter bedah?" goda Redita sambil tersenyum kecut.

"Menantang banget pokoknya, ada niatan ambil bedah?" Andaru membelokkan mobilnya masuk ke dalam halaman parkir rumah sakit. Cepat sampai kok kalau naik mobil, kalau tadi Redita jalan, mana mungkin secepat ini sampainya?

"Ogah, lihat scalpel aja aku gemetaran, disuruh ambil bedah," Redita bersunggut-sunggut, pokoknya Stase bedah bagi dia lebih mengerikan dari Stase forensik! Redita lebih memilih bergelut dengan mayat-mayat di kamar jenazah daripada harus bergelud dengan scalpel di OK.

"Idih segitunya," Andaru tergelak ia mematikan mobilnya lalu melepas seat belt-nya.

"Biarin, by the way makasih banyak ya, Bang," Redita tersenyum, lalu melepas seat belt-nya dan bergegas turun.

"Ree ...."

Redita kembali menoleh ia berhenti sejenak menunggu Andaru yang tampak berlari mengejarnya.

"Kenapa lagi, Bang?" Redita menatap Andaru yang sudah berdiri di dekatnya itu.

"Nanti makan siang di luar yuk!" ajak Andaru sambil tersenyum dan menatap Redita lekat-lekat. Wajah itu tampak begitu bersih dan menawan, Redita akui itu.

"Di mana?" Redita mengerutkan keningnya, kok sepertinya dari kemarin ia mujur terus ditraktir makan g****s melulu? Kemarin Dokter Adnan, sekarang Dokter Andaru, besok siapa lagi?

"Sudah lah, ngikut aja deh!" Andaru tersenyum, ia melangkah di sisi Redita, mereka hendak pergi ke poli bedah.

"Oke lah, nanti WA aja, Bang." guman Redita akhirnya mengiyakan ajakan Andaru untuk makan di luar.

"Siap deh!" Andaru mengacungkan jempolnya, senyum itu mengembang begitu indah di wajah residen bedah itu.

Mereka kemudian tertawa, tanpa mereka sadari sosok itu menatap mereka lekat-lekat sambil bersandar di Land Cruisser putihnya yang terparkir di bawah pohon mahoni. Sorot mata laki-laki itu tampak sangat tidak suka melihat kedekatan mereka berdua, wajahnya jadi begitu kaku dan keras.

"Macam-macam dia," guman Adnan sambil tersenyum kecut.

Namun bukankah Redita memang lebih pantas bersanding dengan sosok Andaru itu? Ganteng dan yang pasti masih cukup muda, sedangkan Adnan? Sudah setengah abad lebih! Adnan harus sadar diri bukan?

Tapi kenapa rasanya ia tidak suka melihat kedekatan mereka? Kenapa rasanya ia tidak terima Andaru mendekati Redita? Ah sial! Ia benar-benar jatuh cinta!

Dan sekarang ia harus bersaing dengan residennya sendiri? Yang jelas lebih muda dari dia, bukan tidak mungkin kan nanti Redita lebih memilih Andaru daripada Adnan? Sudah dapat ditebak bukan sebenarnya? Lantas kenapa Adnan sedikit tidak terima? Kenapa ia tidak suka dengan apa yang tadi ia lihat itu? Mereka cocok kok, orang manapun Adnan rasa akan berpendapat dan berkata demikian.

"Aku benar-benar sudah gila!" desis Adnan lalu melangkah pergi dari mobilnya.

"Tapi lihat saja, tidak akan kubiarkan mereka dekat!" guman Adnan sambil tersenyum sinis.

Dimana-mana menang konsulen daripada residennya bukan?

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
mulai jealous niih
goodnovel comment avatar
Neng Linda
kebetulan keponakan aku kedokteran n lg koas jg.. dia kadang pake beat kadang scoopy hehehe.. pake mobil kena macet katanya
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Andaru kurang cepet deketin Redita. Jd nya yg dpt dr. Adnan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status