"Ah ... Kenapa pakai bocor segala sih bannya!" teriak Redita gemas, ia celingak-celinguk mencari tukang tambal ban dan syukurlah ada tidak jauh dari tempat ia kena apes itu. Ia sudah niat mau berangkat pagi-pagi kenapa malah harus kena apes begini sih? Sangat menyebalkan sekali!
Dengan bersunggut-sunggut Redita mendorong Honda Beat kesayangannya itu menuju tukang tambal ban. Rasanya nanti sampai rumah sakit ia akan bau keringat dan kusut karena harus mendorong motornya cukup jauh. Sia-sia ia pakai skincare berlapis-lapis, semprot parfum banyak-banyak kalau akhirnya sepagi ini ia sudah harus berkeringat macam ini. Sialan memang!
Apes banget sih? Untung ia berangkat sedikit awal, kalau tidak bisa gawat, ia bisa telat bukan? Mana nanti masih ada visiting beberapa bangsal, diksusi ilmiah, astaga ... kepala Redita sontak menjadi pening.
"Motornya kenapa, Mbak?" tanya tukang tambal ban itu sigap ketika Redita menstandarkan motornya di depan kios tambal bannya.
"Bocor bannya, Pak. Sudah buka kan?" Redita tampak terengah-engah, ia kemudian duduk sejenak di kursi yang ada di depan kios tambal ban.
"Tapi belum siap ini, Mbak, ditunggu dulu nggak apa-apa?"
"Saya tinggal aja gimana, Pak? Saya keburu telat nih, nanti saya ambil sepulang kuliah," guman Redita sambil mengipas-ngipaskan tangannya.
"Oh nggak apa-apa, Mbak. Kuncinya dibawa aja kalau mau ditinggal."
"Saya tinggal nomor handphone ya, Pak. Nanti hubungi saya kalau sudah selesai," Redita menyodorkan selembar kertas yang berisi nomor handphone-nya.
"Oh baik, Mbak. Nanti kalau sudah kelar saya hubungi."
Redita mengangguk, ia kemudian bangkit dan melangkah keluar dari kios tambal ban itu. Ah ... Naik apaan dia ke rumah sakit? Kalau jalan kaki lumayan jauh nih, tiga puluh menitan! Ia memanyunkan bibirnya lalu melangkah sedikit guna pergi ke halte yang tak jauh dari tempatnya itu, eh tapi bus-nya lewat rumah sakit nggak? Dia belum pernah naik bus! Bagaimana kalau nanti dia nyasar naik bus? Konsulennya mana mau tahu Redita nyasar gara-gara salah naik bus!
"Order ojek o****e aja kali ya?" Redita hendak merogoh Smartphone miliknya ketika kemudian mobil Toyota Yaris Merah itu berhenti tepat di depannya.
"Re ...," teriak seseorang dari dalam mobil.
Redita tersentak ketika menyadari siapa sosok yang berteriak dari dalam mobil itu, Andaru, residen bedah yang tengah pendidikan di RS yang sama dengan dirinya. Tampak sosok itu melonggok dan menatapnya dari dalam mobil.
"Kenapa, Bang?" tanya Redita yang sontak berdiri dan sedikit mendekat.
"Kamu mau kemana?"
"Ke rumah sakit lah, Bang! Mau koas," jawab Redita sambil memanyunkan bibirnya, dia memangnya mau kemana? Orang sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan. Sungguh pertanyaan yang menyebalkan sekali.
"Kamu mau jalan kaki?" Andaru tampak terkejut.
"Motorku bocor bannya, Bang. Noh baru ditambal."
"Yaudah, ayo naik!"
"Apa?" Redita menatap sosok itu tidak percaya.
"Cepat naik! Kita satu jalur satu tujuan, masa iya kamu mau jalan?" Andaru membuka pintu mobilnya.
Redita masih tertegun, sedetik kemudian ia sadar dan bergegas masuk ke dalam. Lumayan lah, g****s dan nggak perlu capek. Nggak perlu salah naik bus dan nyasar, nggak perlu order ojek juga bukan?
"Lagian kok bisa bocor sih?" Andaru mulai kembali membawa mobilnya melaju.
"Mana aku tahu sih Bang? Namanya juga lagi apes," Redita mengipas-ngipaskan tangannya, panas dan gerah padahal AC mobil sudah hidup.
"Aku turunin suhu AC-nya ya? Kamu gerah banget kayaknya," Andaru langsung peka, sementara Redita hanya mengangguk dan tersenyum.
"Nanti pulang aku antar aja, kan nanti aku lewat sini lagi," Andaru menoleh, menatap Redita yang masih merasa gerah itu.
"Ngerepotin nggak nih, Bang?" tanya Redita yang masih tampak sungkan dan tidak enak itu.
"Nggak, orang kita satu arah, ngerepotin apa sih?" sosok itu tersenyum, "Moga aja ntar nggak ada cito!"
"Nah itu, enak ya jadi dokter bedah?" goda Redita sambil tersenyum kecut.
"Menantang banget pokoknya, ada niatan ambil bedah?" Andaru membelokkan mobilnya masuk ke dalam halaman parkir rumah sakit. Cepat sampai kok kalau naik mobil, kalau tadi Redita jalan, mana mungkin secepat ini sampainya?
"Ogah, lihat scalpel aja aku gemetaran, disuruh ambil bedah," Redita bersunggut-sunggut, pokoknya Stase bedah bagi dia lebih mengerikan dari Stase forensik! Redita lebih memilih bergelut dengan mayat-mayat di kamar jenazah daripada harus bergelud dengan scalpel di OK.
"Idih segitunya," Andaru tergelak ia mematikan mobilnya lalu melepas seat belt-nya.
"Biarin, by the way makasih banyak ya, Bang," Redita tersenyum, lalu melepas seat belt-nya dan bergegas turun.
"Ree ...."
Redita kembali menoleh ia berhenti sejenak menunggu Andaru yang tampak berlari mengejarnya.
"Kenapa lagi, Bang?" Redita menatap Andaru yang sudah berdiri di dekatnya itu.
"Nanti makan siang di luar yuk!" ajak Andaru sambil tersenyum dan menatap Redita lekat-lekat. Wajah itu tampak begitu bersih dan menawan, Redita akui itu.
"Di mana?" Redita mengerutkan keningnya, kok sepertinya dari kemarin ia mujur terus ditraktir makan g****s melulu? Kemarin Dokter Adnan, sekarang Dokter Andaru, besok siapa lagi?
"Sudah lah, ngikut aja deh!" Andaru tersenyum, ia melangkah di sisi Redita, mereka hendak pergi ke poli bedah.
"Oke lah, nanti WA aja, Bang." guman Redita akhirnya mengiyakan ajakan Andaru untuk makan di luar.
"Siap deh!" Andaru mengacungkan jempolnya, senyum itu mengembang begitu indah di wajah residen bedah itu.
Mereka kemudian tertawa, tanpa mereka sadari sosok itu menatap mereka lekat-lekat sambil bersandar di Land Cruisser putihnya yang terparkir di bawah pohon mahoni. Sorot mata laki-laki itu tampak sangat tidak suka melihat kedekatan mereka berdua, wajahnya jadi begitu kaku dan keras.
"Macam-macam dia," guman Adnan sambil tersenyum kecut.
Namun bukankah Redita memang lebih pantas bersanding dengan sosok Andaru itu? Ganteng dan yang pasti masih cukup muda, sedangkan Adnan? Sudah setengah abad lebih! Adnan harus sadar diri bukan?
Tapi kenapa rasanya ia tidak suka melihat kedekatan mereka? Kenapa rasanya ia tidak terima Andaru mendekati Redita? Ah sial! Ia benar-benar jatuh cinta!
Dan sekarang ia harus bersaing dengan residennya sendiri? Yang jelas lebih muda dari dia, bukan tidak mungkin kan nanti Redita lebih memilih Andaru daripada Adnan? Sudah dapat ditebak bukan sebenarnya? Lantas kenapa Adnan sedikit tidak terima? Kenapa ia tidak suka dengan apa yang tadi ia lihat itu? Mereka cocok kok, orang manapun Adnan rasa akan berpendapat dan berkata demikian.
"Aku benar-benar sudah gila!" desis Adnan lalu melangkah pergi dari mobilnya.
"Tapi lihat saja, tidak akan kubiarkan mereka dekat!" guman Adnan sambil tersenyum sinis.
Dimana-mana menang konsulen daripada residennya bukan?
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak