"Bang, sori ya." guman Redita lirih ketika ia mengatakan bahwa tidak bisa ikut sosok itu makan siang seperti janji mereka tadi pagi.
Andaru hanya menghela nafas panjang sambil tersenyum kecut, mau bagaimana lagi? Konsulen mereka yang minta kan? Bisa-bisa nilai dan kelulusan mereka jadi taruhannya. Jadi untuk masalah seperti ini, lebih baik diam dan mengalah, walaupun kadang permintaan konsulen itu terkesan kejam dan sedikit aneh-aneh.
"Iya aku paham kok, memangnya kamu mau diajak Dokter Adnan kemana?"
"Belum tahu, tadi bilangnya cuma disuruh bantu buat bikin bahan penelitian beliau," Redita benar-benar merasa tidak enak pada residen itu, tapi melawan perintah Dokter Adnan? Sama saja ia ingin tidak di luluskan!
"Tapi nanti pulang bisa bareng kan?" Andaru masih berharap bisa berada dekat dengan sosok itu.
"Insyaallah deh Bang, nanti kabar-kabaran lagi aja ya," Redita sendiri tidak yakin bisa pulang bersama sosok itu, ia sendiri tidak tahu bukan apa yang nanti akan terjadi?
"Okelah, kabari Abang aja ya nanti."
Redita tersenyum, ia kemudian buru-buru melangkah ke parkiran. Dokter Adnan sudah mengirim pesan padanya sejak tadi, pasti sekarang ia sudah menunggu. Sangat tidak sopan bukan membuat konsulen menunggu?
Dan benar saja! Redita buru-buru melangkah mendekati sosok yang tengah bersandar di mobilnya sambil bermain ponsel itu. Sosok yang nampak begitu gagah bersandar di Land Cruisser miliknya itu.
"Maaf Dok, saya baru datang." guman Redita lirih.
"Tak apa, sudah siap? Ayo jalan!" Dokter Adnan buru-buru membuka pintu mobil, Redita sudah tidak banyak berkata-kata lagi, ia pun bergegas masuk dan naik ke dalam mobil.
"Nanti jam dua ada operasi, ikut asistensi ya?" Dokter Adnan mulai menghidupkan mesin mobil, membawa mobilnya pergi dari halaman parkir rumah sakit.
"Sa-saya ikut asistensi lagi, Dok?" Redita mendadak pucat, ahh ... Kenapa harus ikut lagi sih dia?
"Iya lah, memang tugas koas itu ngapain?" tanya Dokter Adnan sambil tersenyum kecut.
"Dok, boleh nolak?" mohon Redita takut-takut.
"Kalau mau ngulang bagian bedah satu kali lagi, ya silahkan kalau mau menolak." jawab Dokter Adnan santai.
Skakmat!
Redita rasanya ingin misuh-misuh. Sama aja bunuh diri dong? Jadi nanti ia harus ikut masuk ke OK lagi? Astaga, mimpi apa dia semalam? Kenapa harus dia lagi yang harus gabung ikut asistensi di OK?
"Lagian, niat jadi dokter kok takut liat scalpel," sindir Dokter Adnan sambil menahan tawa.
"Temen saya ada yang takut sama sryinge, Dok," tukas Redita gemas, memangnya tidak boleh apa? Dokter manusia biasa juga kan? Boleh takut, boleh jijik.
"Dan pas koas ini dia selamat?" Dokter Adnan hanya geleng-geleng kepala, ia masih serius dengan kemudinya.
"Entah, di RSUD sebelah dan tidak satu tim dengan saya, Dok."
"Dokter zaman sekarang itu kebanyakan cuma modal duit sama tampang!" sindirnya pedas.
"Saya termasuk nih?" Redita tersenyum kecut, sialan memang dikatain cuma modal tampang dan duit doang, emang terus kalau banyak duit dan cantik, proses dia pre-klinik jadi mudah gitu? Orang ia setengah mati kemarin biar bisa lulus sarjana kedokteran dan bisa lanjut koas sampai sekarang, eh seenaknya dikatain cuma modal duit dan tampang.
"Saya nggak bilang kalau kamu termasuk lho, kenapa kamu malah tersinggung?" Dokter Adnan menoleh dan tertawa kecil. Menggemaskan sekali wajah Redita kalau sedang merajuk macam ini.
"Ya tadikan Dokter ngatain saya karena takut lihat scalpel," Redita mendengus kesal, ia mengerucutkan bibirnya.
Sontak Dokter Adnan tertawa terbahak-bahak ia membelokkan mobilnya ke sebuah restoran cepat saji.
"Sudahlah, ayo makan dulu!" Ia bergegas mematikan mesin mobil, melepas seat belt-nya lalu melangkah turun.
Redita mengerutkan keningnya, katanya mau nyusun bahan buat penelitian? Kok jadi ke McD? Namun ia sudah tidak sempat bertanya-tanya karena sosok itu sudah berdiri sambil berkacak pinggang di depan mobil. Ia bergegas turun dan mengekor di belakang Konsulennya itu.
"Dok, katanya mau ...."
"Nyusun bahan penelitian butuh energi nggak? Memang tadi kamu sudah makan?" tukas Dokter Adnan tidak peduli, ia terus melangkah dan berdiri di depan kasir. Membiarkan Redita melonggo dengan pikirannya sendiri.
"Mari silahkan," petugas itu dengan ramah menyunggingkan senyum.
"Double Cheeseburger, Iced Toffee Coffe with Jelly, Re ... Kamu mau apa?" Dokter Adnan menoleh, menatap Redita yang terbengong-bengong di belakangnya itu.
"A-anu ... Paket beef burger deluxe aja, Dokter."
"Tambah paket beef burger deluxe sama sharebox satu, Re ... Mau Mcflurry?" Dokter Adnan kembali menoleh menatap Redita yang masih setia berdiri di belakangnya.
"Bo-boleh, Dok." gila ini mau makan atau mau ngeledakin lambung? Kenapa jadi banyak sekali menu yang dipesan?
"Mau yang ... ?"
"Mango coconut Mcflurry, Dokter."
"Tambah mango coconut Mcflurry satu sama strawberry sundae satu."
Redita garuk-garuk kepala, itu pesan segitu banyak yang mau makan siapa? Astaga! Ia kira dengan bertambahnya usia sosok itu akan sedikit berhati-hati dengan apa yang ia makan, nyatanya ... Redita hanya menghela nafas panjang ketika kemudian sosok itu selesai membayar dan melangkah menuju salah satu meja yang kosong.
"Itu nanti kita yang makan semua, Dok?" Redita duduk di depan sosok itu, wajahnya masih tersenyum masam.
"Iya lah, kan yang makan hanya kita berdua." jawab Dokter Adnan gemas.
Redita kembali garuk-garuk kepala, berapa total kalori semua makanan itu nantinya? Alamat dietnya gagal total!
"Kenapa? Belum keramas?" tanya Dokter Adnan santai sambil memainkan Smartphone miliknya.
"Bu-bukan Dok, heran saja. Saya kira dokter senior akan pilih-pilih dalam hal makanan," tanya Redita terus terang.
"Saya manusia biasa kok, masih doyan junk food juga, Re." Dokter Adnan terkekeh, ditatapnya wajah Redita dengan seksama.
"Oh iya Dok, saya paham." Redita nyengir lebar, yang bilang sosok itu bukan manusia siapa sih tadi?
"Kamu pulang naik apa nanti?" Dokter Adnan menatap Redita lekat-lekat, sorot matanya nampak begitu lembut dan teduh.
"Belum tahu Dokter, motor saya saya tinggal di kios tambal ban, tadi motor saya bocor," jawab Redita jujur.
"Bagus, nanti saya antar."
Redita menatap sosok itu tidak berkedip, apa tadi laki-laki itu bilang? Bagus? Dan Dokter Adnan mau kembali mengantar dia pulang? Kenapa semuanya jadi lain seperti ini? Ada apa dengan sosok itu? Kenapa lain dari kebiasannya? Sikapnya jadi aneh, apa yang terjadi?
"Ahh ... Ti ...."
"Tidak boleh nolak, oke? Saya antar pulang setelah operasi selesai nanti." titah Dokter Adnan yang tidak menekankan bahwa dia tidak mau dibantah.
Akhirnya Redita pasrah, ia tertegun di tempatnya duduk, sebenarnya Konsulennya itu kenapa? Jujur dalam hati Redita bertanya-tanya, kenapa sosok itu jadi berbeda tidak seperti yang selama ini ia dan teman-temannya bicarakan di ruang koas. Apa yang membuatnya jadi demikian?
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak