Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!
Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya.
"Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya.
"Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ...."
"Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat.
"I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!
"Oke, nanti saya kabari."
"Kalau begitu, mari Dokter, saya balik ke ruang koas dulu," Redita bergegas turun dari mobil Konsulennya itu.
Dengan gemas ia melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit. Terus apa gunanya tadi ia ikut dokter bedah itu keluar kalau ujungnya nggak jadi disuruh bantuin nyusun penelitian? Flashdisk tertinggal katanya, tapi laptop saja tadi juga nggak bawa! Aneh kan? Tapi mana bisa ia menolak perintah Konsulennya itu? Bisa-bisa ia benar dibuat mengulang Stase bedah satu kali lagi! Ogah! Lihat scalpel saja ia langsung tremor!
"Re ... Dari mana sih?" Tasya mengejar langkah Redita, ia salah satu koas bedah juga.
"Dikasih tugas Dokter Adnan, bantu nyusun penelitian," jawab Redita sedikit malas, nyusun penelitian apaan? Cuma diajak makan siang!
"Kok cuma kamu? Lainnya enggak nih?" Tasya melangkah di sisi Redita, mereka hendak menuju ke poli bedah.
"Mana kutahu, aku kan juga cuma disuruh." jawab Redita yang masih bertanya-tanya sebenarnya.
"Tapi untung deh aku nggak disuruh, aman!" guman Tasya sambil nyengir kuda.
Redita hanya bersunggut-sunggut sambil memanyunkan bibirnya, ia masih tidak habis pikir, kenapa tadi ia harus ikut? Atau jangan-jangan Dokter Adnan sengaja mengajaknya makan keluar? Menyusun penelitian itu hanya ia gunakan untuk modus?
Ah ... Masa sih? Mendadak wajah Redita memerah, tapi mana mungkin sih Konsulennya itu seperti itu? Sosok Dokter Adnan memang lain, kharisma laki-laki lima puluh lima tahun itu begitu luar biasa. Residennya saja kalah kok dengan pesona sosok itu. Diusianya yang sematang itu, Dokter Adnan semakin kuat wibawanya, ditambah postur tubuhnya yang masih tetap dan gagah, ia menjelma menjadi laki-laki matang yang paripurna, gambaran laki-laki dewasa yang perfect!
"Re ... Kenapa senyam-senyum? Kesambet?" Tasya menyenggol lengan Redita yang mesam-mesem sendiri itu.
"Ahh ... Nggak apa-apa!" tukas Redita lalu memalingkan wajahnya, jangan sampai Tasya melihat rona wajahnya yang bersemu merah itu.
"Nanti jalan yuk!" ajak Tasya penuh semangat.
"Kemana? Jam berapa?" tanya Redita cepat, ia sudah ada janji!
"Paragon gitu, pulang koas langsung lah bablas sana aja!" ajak Redita dengan berapi-api, ia lelah dan butuh hiburan. Stase bedah membuatnya sering Tremor dan sakit kepala.
Pulang koas? Astaga! Mana bisa sih? Dokter Adnan sudah mati-matian memaksa untuk mengantarkan dia pulang. Eh tapi kenapa dia tidak menolak saja sih? Kan dia bisa menolak? Terus dia bisa ikut Tasya meredamkan pikiran sambil Windows shopping di mall?
"Kayaknya nggak bisa deh," tolak Redita halus, kenapa malah ajakan Tasya sih yang dia tolak? Astaga, Redita!!
"Mau kemana emangnya?" tanya Tasya penuh selidik. Ditatapnya ya Redita penuh tanda tanya, tumben diajak ke mall nolak!
"Motorku bermasalah, udah janjian sama temen mau dibenerin sama dia," lah ... Kenapa Redita pakai bohong segala sekarang?
"Yaudah deh, ngajakin Situmorang aja kalau gitu," guman Tasya santai. Mereka terus melangkah menuju ruang koas.
Redita hanya nyengir lebar, kenapa jadi ia banyak bohong gini sih? Hanya demi nanti biar jadi diantar Dokter Adnan pulang? Eh ... Lalu bagaimana dengan janjinya sama Bang Andaru? Bukankah dia yang lebih dulu menawari dia untuk diantar pulang?
Ahh ... Biarlah nanti bagaimana, Redita malah jadi pusing tujuh keliling. Ia bergegas mempercepat langkahnya kembali ke ruang koas. Nanti jam dua ia harus asistensi bukan? Masuk OK lagi, ruangan sedingin es yang sangat ia hindari itu, astaga ... menyeramkan!
***
Adnan tersenyum geli, ia benar-benar balik jadi macam anak SMA yang sedang jatuh cinta! Puber kedua itu ternyata memang benar adanya! Dia baru percaya setelah mengalami sendiri! Bahkan setelah ia sudah bertekad untuk tidak lagi tertarik dengan asmara, hal itu malah datang dengan sendirinya bukan?
Adnan masuk ke dalam ruangannya, ada beberapa map status pasien yang tergeletak di meja, dibuka dan dibacanya satu persatu, lalu ia tutup kembali.
Ia duduk sambil bersandar di kursinya, jujur ia makin yakin dengan perasannya itu, hanya saja sekali lagi selisih umur yang menjadi penghalang utama dalam masalah ini. Selisih umur yang tidak main-main.
"Haduh, Nan! Kenapa harus dia sih, Nan?" ujarnya pada dirinya sendiri. Kepala Adnan mendadak malah jadi pusing.
Ia memijit keningnya dengan gemas, bagaimana kalau nanti anak-anaknya tahu? Apa komentar mereka? Adnan masih sibuk memikirkan bagaimana pendapat anak-anaknya ketika kemudian pintu ruang prakteknya terbuka.
"Nan!" Yudha muncul lalu duduk di hadapan Adnan. Sorot mata dokter penyakit dalam itu penuh selidik, Adnan bisa membacanya dengan jelas. Jangan bilang kalau ....
"Ada oper pasien lagi?" Adnan menatap sejawatnya itu, tampak wajah Yudha begitu kepo.
"Bukan!" tukas Yudha gemas, "Gadis yang kamu maksud itu koasmu?" tanya Yudha to the point.
Adnan sontak menegang, dari mana Yudha tahu? Atau tadi ia lihat Adnan pergi bersama Redita? Rasanya tadi area parkir sepi, atau Yudha berdiri di suatu tempat yang bisa melihat dengan jelas Redita turun dari mobilnya? Bisa jadi bukan?
"Dari mana kamu tahu?" Adnan rasa tidak ada gunanya lagi mengelak bukan? Yudha sudah tahu dan ia bukan tipe orang yang mudah dibodohi.
"Nah berarti betul!" Yudha menjentikkan jarinya lalu bersandar di kursi. Wajah Yudha sulit diartikan, antara senang, tegang dan entah apa lagi, Adnan tidak dapat membacanya.
"Aku salah ya, Yud?" Adnan tersenyum kecut, jatuh cinta pada gadis yang bahkan dengan Edo saja lebih tua Edo lima tahun!
"Tidak, hanya saja mungkin kau perlu usaha yang lebih jika ingin benar-benar mendapatkan apa yang kamu mau, Nan. Kau tahu bukan ...," Yudha tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya membuat tanda dari tangannya dan Adnan tahu betul apa artinya itu.
"Kalau laki-laki yang melamar Arra selisih tiga puluh empat tahun dari dia, sebagai orangtuanya apa yang kamu lakukan, Yud?"
"Selisih tiga puluh empat tahun, itu sama aja aku punya mantu setahun lebih muda dari aku, Nan! Lili lahiran Arra aku pas sudah tiga puluh lima tahun," guman Yudha sambil tersenyum kecut. Lagipula Adnan benar-benar aneh, kenapa juga harus gadis semuda itu yang ia incar? Ingat umur, astaga!Biasanya laki-laki kalau bahas wanita tentu hal-hal yang berhubungan dengan fisik, rupa atau bahkan tentang hal-hal berbau nakal, namun kini dua laki-laki dewasa itu membahas selisih umur, membahas puber kedua Adnan yang tidak main-main, jatuh cinta sama gadis dua puluh satu tahun."Yud, aku pusing," desis Adnan sambil tersenyum kecut, ia meremas rambutnya sambil memejamkan mata sejenak."Aku saja yang dengar dan lihat masalahmu saja pusing, apalagi kamu, Nan!" guman Yudha sambil memijit pelipisnya, sungguh masalah Adnan ini sedikit pelik. Yudha sendiri tidak tahu bagaimana nantinya reaksi anak-anak Adnan kalau tahu bapaknya jatuh cinta pada gadis ABG yang lebih pantas jadi an
Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram."Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat."Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melep
"Putra Bapak umur berapa, kalau saya boleh tahu?" guman Redita yang bingung harus bicara apa ketika kemudian sosok itu hanya membisu."Oh, tahun ini dia sudah dua puluh enam tahun," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, sudah sangat tua sekali ternyata dirinya ini."Dua puluh enam tahun dan sudah hampir selesai PPDS?" tampak Redita terkejut.Adnan hanya mengangguk pelan, "Masuk FK umur enam belas tahun dulu.""Wah hebat," Redita berdercak kagum.Adnan hanya tersenyum, rasanya malah Redita lebih pantas dengan Edo daripada Adnan, benar bukan? Rasanya Adnan benar-benar gila! Jatuh cinta pada gadis kemarin sore? Sungguh diluar kendali Adnan sebenarnya."Ah biasa saja kok, Re. Memang dia sedikit ambis sejak dulu," Adnan menghela nafas panjang, ia mulai sedikit tidak nyaman. Rasa percaya dirinya luntur seketika."Pulang sekarang?" tanya Adnan sambil meletakkan cup miliknya."Boleh kalau Bapak tidak keberatan."Adnan mengangguk i
Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh
“Kau yakin, Nan?” Yudha tersenyum setelah mendengar cerita Adnan tentang perubahan perasaan Adnan terhadap mahasiswi koasnya itu. Lucu juga ya kalau laki-laki berumur macam Adnan jatuh cinta? Rasanya Yudha jadi ingin tertawa terbahak-bahak.“Yakin lah, Yud! Kasian juga kalau dipikir Redita harus dapat suami seumuran bapaknya kayak aku gini, eh tapi tuaan aku ketimbang bapaknya Redita, Yud!” Adnan menghela nafas panjang, sebuah alasan yang tidak egois bukan?“Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."Yudha yang tengah meneguk teh hangatnya itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk mendengar apa yang tadi Adnan katakan itu. Apa? Lebih tua Adnan ketimbang bapaknya Redita? Ia tidak salah dengar kan? Memangnya berapa umur bapaknya Redita? Kenapa dengan Adnan masih tua Adnan?“Apa katamu, Nan? Lebih tua kamu ketimbang bapaknya Redita?” Yudha kembali bertanya, ia berharap bahwa ia salah dengar. Ditatapnya Adnan dengan tatapan tidak perc
Adnan menatap sosok itu dari jauh, kenapa rasanya ia ingin terus berada di sisinya? Adnan menghela nafas panjang, kenapa begitu rumit sih? Kenapa ia malah tertarik dan jatuh hati dengan sosok itu? Kenapa bukan pada Manda yang kemarin Yudha sodorkan pada dirinya itu? Atau pada rekan sejawat yang lain? Wanita lain yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan dirinya? Yang bisa diterima akal sehat mengenai perbedaan usia mereka?“Re ... kamu hampir membuaku gila!” desis Adnan gemas lalu dengan gusar melangkah masuk ke ruangannya.Adnan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas, ia masih terbayang-bayang obrolannya dengan Yudha kemarin. Cintanya tentu tidak salah, hanya saja waktu yang salah memisahkan jarak usia mereka begitu jauh. Usia yang terpaut sangat jauh sekali. Redita pantasnya menjadi anak Adnan, bukan menjadi isterinya!Ahh ... Adnan harus menang melawan semua perasaannya itu. Toh belum tentu juga kan gadis itu juga punya rasa yang s
Adnan benar-benar tidak mengerti, kenapa ia jadi seperti ini sih? Bukankah ia kemarin sudah memutuskan untuk mencoba menjauh dan membuka diri untuk Amanda, residen interna yang Yudha sodorkan? Wanita yang menurut otaknya pantas mendampingi dirinya yang berstatus duda dua anak itu. Kalau dengan gadis ini? Mana pantas sih? Ia masih terlalu muda dan belia! Sangat tidak pantas mendampingi laki-laki yang hampir masuk masa lansia seperti dia ini.“Kenapa tumben tadi cuma sendirian, yang lain pada ngapain di ruang koas?” Adnan mulai buka suara, sejak tadi hingga sekarang mereka sudah hampir sampai di lokasi, tidak ada obrolan sama sekali. Mereka larut dalam diam masing-masing.“Teman-teman sedang mengerjakan presentasi kasus untuk besok, Dok.”Adnan melirik Redita, ia tampak cantik dengan setelan scrub warna dusty pink itu. Rambutnya ia gerai dengan jepit mutiara ya menjepit rambut bagian kirinya.“Punya kamu gimana, sudah beres?&rd
Yudha tengah membaca laporan follow up yang tadi dihantarkan ke mejanya ketika kemudian iPhone miliknya berdering. Edo? Yudha yakin Edo menelepon hendak bertanya perihal papanya bukan? Tentang siapa wanita yang hendak menggantikan posisi Yuri sebagai wanita spesial di hati Adnan. Haruskah Yudha menceritakan yang sebenarnya? Atau biarkan Adnan yang bercerita sendiri pada Edo? Atau bagaimana?“Halo, gimana Do?” sapa Yudha lirih, jantung Yudha jadi berdegup kencang.“Halo Om, Edo ganggu Om Yudha nggak nih?”“Ah ... santai aja deh, memangnya ada apa, Do?” Yudha mencoba tetap tenang , rasanya perihal Redita ia tidak perlu buka suara pada Edo bukan? Itu di luar kewenangan Yudha, urusan pribadi keluarga sejawatnya, ya walaupun nanti kalau Arra menikah dengan Edo otomatis mereka jadi keluarga besar, tapi untuk sekarang rasanya Yudha tidak ada hak untuk mencampuri urusan mereka. Itu tidak etis.“Om sudah dapat info perihal wanita yang sekarang d