Share

Chapter 8

Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!

Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya.

"Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya.

"Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ...."

"Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat.

"I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!

"Oke, nanti saya kabari."

"Kalau begitu, mari Dokter, saya balik ke ruang koas dulu," Redita bergegas  turun dari mobil Konsulennya itu.

Dengan gemas ia melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit. Terus apa gunanya tadi ia ikut dokter bedah itu keluar kalau ujungnya nggak jadi disuruh bantuin nyusun penelitian? Flashdisk tertinggal katanya, tapi laptop saja tadi juga nggak bawa! Aneh kan? Tapi mana bisa ia menolak perintah Konsulennya itu? Bisa-bisa ia benar dibuat mengulang Stase bedah satu kali lagi! Ogah! Lihat scalpel saja ia langsung tremor!

"Re ... Dari mana sih?" Tasya mengejar langkah Redita, ia salah satu koas bedah juga.

"Dikasih tugas Dokter Adnan, bantu nyusun penelitian," jawab Redita sedikit malas, nyusun penelitian apaan? Cuma diajak makan siang!

"Kok cuma kamu? Lainnya enggak nih?" Tasya melangkah di sisi Redita, mereka hendak menuju ke poli bedah.

"Mana kutahu, aku kan juga cuma disuruh." jawab Redita yang masih bertanya-tanya sebenarnya.

"Tapi untung deh aku nggak disuruh, aman!" guman Tasya sambil nyengir kuda.

Redita hanya bersunggut-sunggut sambil memanyunkan bibirnya, ia masih tidak habis pikir, kenapa tadi ia harus ikut? Atau jangan-jangan Dokter Adnan sengaja mengajaknya makan keluar? Menyusun penelitian itu hanya ia gunakan untuk modus?

Ah ... Masa sih? Mendadak wajah Redita memerah, tapi mana mungkin sih Konsulennya itu seperti itu? Sosok Dokter Adnan memang lain, kharisma laki-laki lima puluh lima tahun itu begitu luar biasa. Residennya saja kalah kok dengan pesona sosok itu. Diusianya yang sematang itu, Dokter Adnan semakin kuat wibawanya, ditambah postur tubuhnya yang masih tetap dan gagah, ia menjelma menjadi laki-laki matang yang paripurna, gambaran laki-laki dewasa yang perfect!

"Re ... Kenapa senyam-senyum? Kesambet?" Tasya menyenggol lengan Redita yang mesam-mesem sendiri itu.

"Ahh ... Nggak apa-apa!" tukas Redita lalu memalingkan wajahnya, jangan sampai Tasya melihat rona wajahnya yang bersemu merah itu.

"Nanti jalan yuk!" ajak Tasya penuh semangat.

"Kemana? Jam berapa?" tanya Redita cepat, ia sudah ada janji!

"Paragon gitu, pulang koas langsung lah bablas sana aja!" ajak Redita dengan berapi-api, ia lelah dan butuh hiburan. Stase bedah membuatnya sering Tremor dan sakit kepala.

Pulang koas? Astaga! Mana bisa sih? Dokter Adnan sudah mati-matian memaksa untuk mengantarkan dia pulang. Eh tapi kenapa dia tidak menolak saja sih? Kan dia bisa menolak? Terus dia bisa ikut Tasya meredamkan pikiran sambil Windows shopping di mall?

"Kayaknya nggak bisa deh," tolak Redita halus, kenapa malah ajakan Tasya sih yang dia tolak? Astaga, Redita!!

"Mau kemana emangnya?" tanya Tasya penuh selidik. Ditatapnya ya Redita penuh tanda tanya, tumben diajak ke mall nolak!

"Motorku bermasalah, udah janjian sama temen mau dibenerin sama dia," lah ... Kenapa Redita pakai bohong segala sekarang?

"Yaudah deh, ngajakin Situmorang aja kalau gitu," guman Tasya santai. Mereka terus melangkah menuju ruang koas.

Redita hanya nyengir lebar, kenapa jadi ia banyak bohong gini sih? Hanya demi nanti biar jadi diantar Dokter Adnan pulang? Eh ... Lalu bagaimana dengan janjinya sama Bang Andaru? Bukankah dia yang lebih dulu menawari dia untuk diantar pulang?

Ahh ... Biarlah nanti bagaimana, Redita malah jadi pusing tujuh keliling. Ia bergegas mempercepat langkahnya kembali ke ruang koas. Nanti jam dua ia harus asistensi bukan? Masuk OK lagi, ruangan sedingin es yang sangat ia hindari itu, astaga ... menyeramkan!

***

Adnan tersenyum geli, ia benar-benar balik jadi macam anak SMA yang sedang jatuh cinta! Puber kedua itu ternyata memang benar adanya! Dia baru percaya setelah mengalami sendiri! Bahkan setelah ia sudah bertekad untuk tidak lagi tertarik dengan asmara, hal itu malah datang dengan sendirinya bukan?

Adnan masuk ke dalam ruangannya, ada beberapa map status pasien yang tergeletak di meja, dibuka dan dibacanya satu persatu, lalu ia tutup kembali.

Ia duduk sambil bersandar di kursinya, jujur ia makin yakin dengan perasannya itu, hanya saja sekali lagi selisih umur yang menjadi penghalang utama dalam masalah ini. Selisih umur yang tidak main-main.

"Haduh, Nan! Kenapa harus dia sih, Nan?" ujarnya pada dirinya sendiri. Kepala Adnan mendadak malah jadi pusing.

Ia memijit keningnya dengan gemas, bagaimana kalau nanti anak-anaknya tahu? Apa komentar mereka? Adnan masih sibuk memikirkan bagaimana pendapat anak-anaknya ketika kemudian pintu ruang prakteknya terbuka.

"Nan!" Yudha muncul lalu duduk di hadapan Adnan. Sorot mata dokter penyakit dalam itu penuh selidik, Adnan bisa membacanya dengan jelas. Jangan bilang kalau ....

"Ada oper pasien lagi?" Adnan menatap sejawatnya itu, tampak wajah Yudha begitu kepo.

"Bukan!" tukas Yudha gemas, "Gadis yang kamu maksud itu koasmu?" tanya Yudha to the point.

Adnan sontak menegang, dari mana Yudha tahu? Atau tadi ia lihat Adnan pergi bersama Redita? Rasanya tadi area parkir sepi, atau Yudha berdiri di suatu tempat yang bisa melihat dengan jelas Redita turun dari mobilnya? Bisa jadi bukan?

"Dari mana kamu tahu?" Adnan rasa tidak ada gunanya lagi mengelak bukan? Yudha sudah tahu dan ia bukan tipe orang yang mudah dibodohi.

"Nah berarti betul!" Yudha menjentikkan jarinya lalu bersandar di kursi. Wajah Yudha sulit diartikan, antara senang, tegang dan entah apa lagi, Adnan tidak dapat membacanya.

"Aku salah ya, Yud?" Adnan tersenyum kecut, jatuh cinta pada gadis yang bahkan dengan Edo saja lebih tua Edo lima tahun!

"Tidak, hanya saja mungkin kau perlu usaha yang lebih jika ingin benar-benar mendapatkan apa yang kamu mau, Nan. Kau tahu bukan ...," Yudha tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya membuat tanda dari tangannya dan Adnan tahu betul apa artinya itu.

"Kalau laki-laki yang melamar Arra selisih tiga puluh empat tahun dari dia, sebagai orangtuanya apa yang kamu lakukan, Yud?"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
dwi nurhayati
cerita nya bagus tapi terlalu banyak kalimat tudak efektif
goodnovel comment avatar
Mizcell 2021
terlalu banyak kata sih yg diulang² dan juga kata bukan yg justru mlh bikin ambigu. bnyak typo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status