Share

Hujan yang Membasahi Hatiku

Aroma hujan masih terasa. Bau tanah menyeruak dan membuat suasana menjadi terasa segar. Hujan mengguyur semalaman. Hujan selalu saja menyisakan ingatan dalam benakku. Hujan membuatku terlelap sejak sore. Kedatangannya serupa dongeng yang selalu membuatku selalu ingin melingkarkan tubuh, mirip kucing yang sedang kedinginan. Itulah yang membuatku selalu menggagumi hujan. Hujan selalu membuatku merasa teduh, serupa hangatnya pelukan ibu. Namun, hujan semalam telah membuatku mengecewakan Sally. Semoga hujan tidak membuatmu menjauh dariku Sally.

“Maaf Sally, semalam hujan mengguyur. Aku teramat payah, hingga tertidur. Dan maaf, aku tidak bisa datang menemanimu semalam.” Pesan itu langsung kukirim kepada Sally. 

 “Sekarang hari Sabtu, nanti aku pulang lebih awal. Bisakah nanti kita ngopi, mengganti pertemuan semalam.” Sekali lagi aku mengirimkan pesan kepada Sally.

Aku tahu, Sally tidak akan membalas pesanku. Biasanya jam segini ia masih terlelap. Yah, Sally selalu saja begadang tiap malam, bahkan sampai menjelang pagi ia masih tetap terjaga. Ia baru bangun ketika pukul tujuh. Lalu mandi dan sarapan sebatas penghormatan kepada ibunya yang pagi-pagi sudah sibuk di dapur untuk membuat sarapan.

Perempuan yang mencintai malam. Itulah sebutanku sejak aku kali pertama mengenalnya. Sejak kita saling berkirim pesan dan berbagi cerita. Namun sudah dua malam, tiada pesan dan cerita. Alpa. Dan membuat hidupku terasa begitu hampa.

“Aku telah mengacaukan semuanya Pak Tarman,” keluhku.

Aku memang sengaja berangkat pagi hanya demi ingin bercerita kepada Pak Tarman perihal Sally yang sudah dua hari menghilang.

“Mengacaukan bagaimana maksudnya Mas? Loh, kok bisa begitu?”

“Iya Pak, tempo hari ia mengajakku ngopi. Namun aku tidak berangkat, sebab hujan amat deras.”

“Oalah Mas, cowok kok takut sama hujan.”

Ucapan Pak Tarman begitu memukulku.

“Ya sudah, ini diminum dulu kopinya. Sudah bapak buatkan kopi pahit, kesukaan sampean.”

“Terimakasih Pak.”

Setelah kusruput beberapa kali, aku berpamitan kepada Pak Tarman untuk kembali ke ruanganku. Namun memang benar apa yang dikatakan Pak Tarman, masak hanya karena hujan aku mengecewakan Sally. Aku begitu kejam.

“Oh iya, kebetulan aku nanti juga hanya kerja setengah hari. Mau ngopi di mana?

Aku begitu amat bahagia ketika membaca pesan Sally yang baru saja aku terima.

“Apakah kamu punya tempat favorit?”

“Oh tentu, tapi aku ingin kali ini kamu yang menentukan tempatnya. Kemarin aku sudah mau menunjukkan salah satu tempat favoritku, tapi kau tidak datang. Padahal aku mau mereferensikan kopi Toraja yang yahut.”

“Iya Sal, maafkan aku. Aku memang tidak lebih kuat dari hujan. Oke, nanti kita ketemu di Kedai Cangkir.”

“Baiklah, kirimi alamatnya. Kita lanjut nanti, bosku sudah datang.”

*

Suasana masih sepi. Memang tidak banyak yang datang ke sini jika siang-siang begini. Namun, aku justru suka bila seperti ini. Aku bisa membaca buku dengan lebih khidmat. Inilah yang membuat Kedai Cangkir ini berbeda, di café-café lain memberikan kekhasan dengan live music dan di sini memilih dipenuhi dengan buku-buku. Selain dipinjamkan, ada juga yang dijual. Aku berharap tempat ini bisa menggantikan kekecewaan semalam.

“Waw, keren. Pilihan yang amat tepat. Kamu sering ke sini?”

“Tidak terlalu sering juga. Terkadang jika aku sedang malam ke toko buku, aku pasti kemari. Habis enak, selain beli buku aku bisa ngopi di sini.”

Loh ada yang dijual juga?”

“Ada, yang di sebelah sana itu dijual?” Sambil aku menunjukkan ke rak tepat di belakang Sally duduk.

“Keren juga konsep tempat ini. Siapakah orang gila yang punya tempat ini?”

“Orang gila bagaimana maksudmu?”

“Ya bagaimana tidak gila, café dipenuhi dengan buku-buku seperti ini. Ah, kauperlu membaca Filosofi Kopi-nya Dee.”

“Apa itu?”

“Carilah. Kaupasti menemukan seorang pecinta kopi yang benar-benar gila dalam cerita itu. Seperti pemilik kedai ini, tapi ini masih belum seberapa dibanding dengan tokoh Dee.”

“Ah, kamu membuatku penasaran saja.”

Tiba-tiba Sally tersenyum melihat ke arahku. Lalu ia berdiri. Aku kira ia mau menghampiriku dan duduk di sebelahku, ternyata dugaanku salah. Ia menuju rak tepat di belakangku, lalu mengambil sebuah buku.”

“Ini yang kumaksud.”

Aku tidak menjawab, aku hanya terbengong dengan buku yang disodorkan Sally. Aku langsung saja membuka buku itu dan membacanya. Sedangkan Sally hanya tersenyum melihatku yang amat serius membaca buku yang baru saja ia sodorkan kepadaku.

“Gila,”

“Dan kaulebih gila lagi, jika membiarkan kopimu dingin karena terlalu serius membaca buku itu.” ucap Sally sambil tertawa.

Aku sering ke sini, tapi aku nggak tahu kalau di sini ada buku yang  dimaksudkan Sally. Dee benar-benar gila bisa membuat cerita sekeren ini. Aku hanya geleng-geleng kepala.

“Sudah-sudah, diminum dulu kopinya.” celetuk Sally yang melihat aku sedang masuk perangkap Dee.

“Sudah, kagumnya jangan diterus-terusin. Biasa saja.”

“Bacaanmu keren Sal!” ucapku lirih sambil menatap Sally.

“Woi, jangan melihatku seperti itu, entar jatuh hati loh.”

“Aku memang telah jatuh hati kepadamu sejak malam pertama kita bertemu Sal.” Tiba-tiba kata itu nyelonong begitu saja dari mulutku.

Sally terdiam. Aku juga begitu. Aku taksadar telah mengucapkan sesuatu belum tepat dan mungkin terlalu cepat. Namun, begitulah adanya. Memang sejak malam itu, aku sudah menjadi gila karena Sally.

“Adakah yang salah?” Aku berusaha mencairkan suasana.

“Tidak ada.”

“Tapi aku serius Sal. Aku jatuh hati kepadamu. Mungkin bagimu ini terlalu cepat, tapi aku memang sudah merasakan itu sejak pertama kita bertemu. Dan bagiku, jika aku telah jatuh cinta maka aku harus mengunggapkannya. Tapi kamu tak usah khawatir. Aku tidak memintamu menjawab apa-apa, karena memang aku tidak menuntut apapun. Aku hanya sekadar ingin memberitahu tentang apa yang aku rasakan, selebihnya terserah kamu, mau menyambut perasaan itu atau membiarkannya kembali ditiup angin.”

“Itulah kenapa aku menuliskan pesan di bukumu dulu. Sebab aku sudah membaca tanda itu. Sudah ada tembok besar dan menjulang yang membentengi hatiku.”

Kata-kata Sally itu tidak membuatku bergeming sedikit pun. Entah kenapa aku menjadi lebih terpacu untuk mendapatnya. Aku yakin kalau suatu ketika bisa menaklukkan dia. Aku pasti bisa meruntuh-hancurkan tembok bertahanan itu. Namun Sally masih bersikukuh untuk membentengi diri, begitu juga aku, tetap bersikukuh akan menghancurkan tembok yang membentengi hatinya. Kita sama-sama bersikukuh dan berdialog panjang lebar sampai tak terasa sudah sore. Semua terasa begitu cepat, ingin rasanya aku berlama-lama di sini. Bersama Sally. Namun, Sally sudah ada janji dengan temannya nanti pukul tujuh.

Baru saja aku selesai membuat kopi. Kunyalakan komputer. Seperti biasa, melanjutkan pekerjaan mengedit naskah. Tinggal 20 lembar lagi. Tadi mau aku rampungkan di kantor, tapi bertemu dengan Sally membuat hal itu kuurungkan. Kemarin sudah tidak menepati janji, jadi aku memang sengaja berangkat lebih awal. Menyambut dia, membuatnya menjadi tamu spesial.

Kubaca dengan teliti. Membetulkan tanda baca, mengganti kata, atau menyunting kalimat, semua itu sudah amat akrab. Hingga hanya tinggal beberapa lembar saja rampung pekerjaanku, tapi jam dinding di kamarku masih menunjukkan pukul 20.00. Huh. Pasti masih lama.

 “Bagaimana pertemuan dengan temannya?” Pesan singkat kukirim kepada Sally. Aku benar-benar tidak tahan menunggu lebih lama lagi.

“Ini sudah rampung semua. Kita rapat tentang buletin kampus. Maklum edisi perdana, babad alas. Harus kerja ekstra. Aku pulang dulu, nanti kukabari kalau sudah sampai di rumah.”

Tumben cepat sekali ia nongkrong. Namun aku senang, berarti waktu penantianku hanya tinggal beberapa menit saja. Pekerjaan yang tinggal beberapa lembar segera aku sikat, berharap ketika Sally sudah di rumah pekerjaan ini juga sudah rampung.

“Aku sudah di rumah, aku mandi dulu.” pesannya singkat.

“Oh iya, ini pekerjaanku juga baru saja rampung.”

Beberapa menit setelah itu, kita sudah ngobrol. Bercerita panjang lebar. Sejak ia memberikan nomor yang satu provider kini aku lebih sering telpon. Entah aku pun tidak menyangka semuanya seperti berjalan dengan lancar. Meskipun tetap saja ada sebuah kekhawatiran karena Sally selalu saja berbicara tentang tembok besar yang akan selalu memisahkan kita.

“Aku sudah mulai ngantuk. Besok jemput pukul 09.00. Jangan telat di kencan pertama kita.”

Aku betul-betul kaget dengan ajakan itu. Weekend yang menyenangkan. Walaupun tetap saja Sally bersikukuh, kalau ia tidak bisa menembus tembok yang melindungi hatinya, aku tetap tidak peduli. Aku suka dengan sebutan dia “kencan”, walau kita hanya ingin jalan-jalan saja. Yah, ia meminta tolong agar aku motret motor adiknya.

Sejak aku kenal memang ia seolah membatasi diri denganku. Namun aku selalu merasakan sebuah harapan yang ia berikan. Hal itu kuterka dari ia selalu membalas pesanku, mau menerima telponku, bahkan ia kadang yang menelpon. Ia banyak cerita tentang dirinya dan juga kekukuhan sikapnya terhadap lelaki. Ia tidak pernah mengijinkan lelaki datang ke rumahnya. Entah itu pacar, entah itu teman.

Ya, bagiku itu sebuah komitmen yang hebat. Jarang aku temukan seorang perempuan yang memiliki komitmen seperti itu. Ah, sekali lagi ia membuatku ingin terus mencintainya. Lebih dan lebih. Sebenarnya aku juga bingung dengan ajakannya itu. Aku menerka-nerka dengan kegirangan, “berarti aku diijinkan masuk ke dalam kehidupannya.” Pikirku.

Namun kenapa ia selalu memberi jarak dengan bilang bahwa tembok yang melindungi hatinya semakin kukuh. Aku taktahu mana yang benar. Bagiku, aku ingin menikmati kesempatan bersamanya. Bisa menerima pesan, mendengar suaranya, apalagi sampai jalan berdua. Oh, sungguh itu sesuatu yang indah. Aku taklagi peduli dengan kekukuhan hatinya, walaupun sesekali itu mengganggu pikiranku.

Pukul 09.00, aku sudah berada di rumahnya. Aku mulai kenal dengan orangtuanya. Papanya seorang pelukis, sedangkan mamanya ibu rumah tangga. Konon katanya, dulu pernah mengajar tari di taman kanak-kanan. Darah seni mengalir di keluarganya, makanya takheran jika ia menyukai dunia seni. Dunia yang akhirnya mempertemukan kita.

Setelah semua siap. Kami pamit. Aku membonceng Sally. Aku memang tadi sengaja tidak membawa mobil karena aku ingin mengulang pertemuan kita, saat ia memboncengku. Lalu adiknya membawa motor sendiri. Motor yang ingin nantinya dipotret. Kata Sally motor itu mau dikirim ke sebuah majalah otomotif. Ya, adiknya memang gemar otak-atik sepeda motor. Itu sudah kuduga sejak melihat motornya yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Dan kebetulan aku juga suka motret. Aktivitas baru yang bisa membunuh kebosanan saat membaca buku-buku dan menulis.

Setelah sampai di tempat yang telah ditentukan. Aku pun memotret motor adiknya itu. Lah, Sally yang ternyata sangat demen foto menantang menjadi modelnya. Aha, menarik. Batinku. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Akhirnya aku bisa mendapatkan fotonya. Nanti akan kupandangi saat aku merindukan senyum manisnya itu.

Seusai pemotretan ia berbisik kepada adiknya. Entah ia berbicara apa. Adiknya nampak mengangguk-anggukan kepala, lalu pamit kepadaku untuk pulang terlebih dahulu.

“Sekarang kita ke mana?

“Terserah Mas saja, tapi bagaimana mana kalau kita kuliner saja?

“Oke.”

Kita pun berangkat. Aku taktahu harus ke mana. Namun aku menawarkan untuk keliling-keliling dulu sebelum memilih tempat untuk makan siang. Dan ia pun setuju. Namun saat kita sedang asik ngobrol dan berbincang. Mendung nampaknya mulai merapatkan barisan.

“Nampaknya mau hujan Sal.”

“Iya, sudah mulai mendung. Oh iya, aku waktu kecil dulu suka sekali hujan-hujan.”

“Ah, semua anak kecil juga suka Sal.”

“Mungkin, tapi entah kenapa hujan selalu membuatku tertarik. Bahkan ketika hujan aku selalu ingin menengadahkan kepalaku ke langit, agar butir-butir hujan bisa menerpa wajahku.”

Ah, romantis sekali dia. Batinku.

“Nanti jangan berteduh ya kalau hujan.”

“Wah, tapi kameraku Sal. Aku tidak apa kehujanan, tapi kameraku ini yang tidak boleh tersentuh hujan.”

“Kamu bawa jas hujan?”

“Bawa.”

“Ya, nanti kamu pakai jas hujan. Biar kameramu tidak terkena air.”

Aku hanya diam, tidak menimpali jawaban Sally. Aku merasa ada kesamaan dengannya. Aku juga selalu menyukai hujan. Entah rasanya tiap kali butir-butir air dari langit itu jatuh. Rasanya hatiku begitu teduh, seperti saat aku kecil dulu yang selalu didongengi ibu.

Hujan pun turun. Gerimis.

Aku berhenti. Memakai jas hujan. Lalu kembali kita menyusuri jalan dengan sesekali menengadahkan muka ke atas. Membiarkan rintik-rintik hujan menerka wajah kami. Namun tiba-tiba hujan semakin deras. Dan aku memilih untuk berteduh di sebuah emperen toko. Kita saling berpandangan. Baju kita sedikit basah, membuat gigil yang membuat gigi ini gemeretak. Lalu kita sama-sama tersenyum.

Tiada percakapan.

Hanya rintik-rintik hujan seolah berbicara dan menemani kita. Lalu aku berusaha memecah keheningan.

“Siapakah orang yang beruntung itu Sally?”

“Apakah aku perlu menceritakan hal itu? Kamu benar-benar ingin tahu? Kamu yakin?”

“Aku taktahu Sally. Sebenarnya jawaban itu pasti akan membuatku sakit. Namun komitmenmu menjaga hati untuk orang misterius itu membuatku ingin sekali tahu siapa dia. Sebab sesekali aku benar-benar terusik dengan kehadirannya. Karenanya aku tidak bisa merengkuh hatimu.”

“Jika memang begitu, aku tidak perlu menceritakannya.”

Lho, kenapa?”

Sesaat keadaan hening kembali.

“Aku bukan orang yang semangatnya mudah pudar Sal. Aku yakin suatu ketika bisa menjebol tembok itu.”

Ia tidak menjawab. Ia seolah tidak mendengar apa yang aku bicarakan. Ia melepas pandangannya ke arah rintik-rintik hujan itu menerba bebatuan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status