Share

Cafe dan Sebuah Impian

“Terimakasih telah menemaniku menikmati hujan.”

Pesan singkat itu kukirim kepada Sally. Entah kenapa aku selalu merasa ingin terus berkomunikasi dengan dia. Walaupun seharian aku sudah bersamanya, rasanya rindu ini selalu tumbuh dan tumbuh. Apakah setiap orang yang jatuh cinta selalu merasakan seperti ini?

“Terimakasih juga telah berkenan memotret motor adikku.”

“Oh iya, besok malam ada acara? Ngopi yuk!”

“Di mana?”

“Tempat dan waktu, kamu yang tentukan.”

“Oke. Di Café Lilo ya, pukul 19.00.”

“Oke”

“Semoga tidak hujan.”

Aku ingin tidur lebih awal, agar waktu lebih cepat berlalu. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Sally. Rasanya aku menemukan semangat baru dalam menjalani hidup sejak bertemu dengannya, bahkan aku kini sudah mulai berani melonggarkan pekerjaan. Tidak seperti dulu yang selalu membenamkan diri dalam pekerjaan. Pagi, siang, sore, bahkan malam.

Aku mengurung diri dari pergaulan dengan alasan aku sedang banyak kerjaan. Yah, itulah alasanku tiap kali ditanya oleh teman-teman. Namun hanya Alex yang bisa membaca kebohonganku. Mungkin aku harus berterimakasih dengannya. Seandainya aku tidak mengiyakan ajakannya menonton teater dulu, mungkin aku tidak akan bisa bertemu dengan Sally. Dan pastinya, aku akan terus berkutat dengan huruf-huruf yang selalu membantuku berbohong menghadapi kehidupan ini.

“Jangan lupa, nanti kita berkencan.”

Tiba-tiba pesan singkat itu membuatku tersenyum-senyum sendiri. Ah, sepagi ini kautelah memberi semangat Sal. Engkau memang malaikat  penyelamatku dari kemuraman masa lalu. Entah, jika tidak ada kau, mungkin aku akan terus membenamkan diri dalam kenangan-kenangan masa silam tanpa kutahu kapan bisa menerima kenyataan.

 “Pagi-pagi sudah senyam-senyum sendiri.” Tiba-tiba Pak Tarman mengagetkanku.

“Ah, Bapak. Biasalah orang sedang jatuh cinta.”

“Baiklah, aku tidak mau mengganggu orang yang sedang kasmaran.” Pak Tarman lalu menaruh kopi di meja, lalu segera beranjak keluar dari ruanganku seolah mengerti bahwa aku sedang tidak mau diganggu.

“Tentu. Aku akan datang Sal.”

Aku merasa benar-benar senang. Dan ia sekali lagi menyebut “kencan”.

Suasana masih sepi. Aku mematikan mesin motorku. Aku melihat ke sekeliling café. Sepi. Di dalam juga sepi, belum ada pengunjung. Aku memilih tempat duduk di atas motor sambil menunggu Sally datang. Tiba-tiba ada motor berhenti di sebelahku. Aku menoleh dan tersenyum.

“Sudah lama?” Tanya Sally.

“Belum. Baru beberapa menit yang lalu kok.”

Ia langsung bergegas dan memberi isyarat agar masuk ke dalam café. Ia langsung menuju ke meja waitress. Ia memesan cappuccino dan spaggety mie. Lalu ia memandang ke arahku, pandangan sebuah tanya.

“Ekspresso.” Jawabku singkat.

“Ekspresso, kosong Mas.” Jawab waitress singkat.

“Kalau begitu, kopi hitam saja.”

Sally kemudian berjalan keluar café dan memilih duduk di pojok. Tiba-tiba ia mengeluarkan laptop dan sebuah majalah. Ia nampak serius sekali. Aku tidak berani mengganggu. Aku memilih menyulut rokok dan melihat ke seluruh ruangan café. Melihat daftar menu yang berada di meja, dan melihat desain dari ujung-ujung.

“Sebentar ya Nugie, aku kena deadline. Aku ada janji sama temanku mengirim flash fiction malam ini.”

“Oh iya, silakan diselesaikan dulu. Maaf, boleh aku melihat majalahnya.”

Ia kemudian menyodorkan majalahnya ke arahku. Aku langsung asik menyimak dan membaca lembar demi lembar majalah yang ia sodorkan padaku. Aku tertarik dengan majalah itu. Ada rubrik yang bisa diisi oleh penulis luar. Kemudian kucari halaman redaksional, mencatat email. “Lumayan, aku coba peruntungan siapa tahu nanti tulisanku bisa dimuat. Lama juga tidak mengirim ke media.”Bisikku dalam hati.

Sesekali kuamati dia yang sedang mengetik di depan laptop. Ah, alisnya begitu tebal. Bulu matanya lentik. Dan bibir tipisnya itu, membuat senyumnya selalu nampak menawan. Namun ketika aku asik mencuri-curi pandang, ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Seolah ia tahu kalau aku sedang mengamatinya. Aku langsung salah tingkah. Aku segera saja mengalihkan pandangan ke majalah lagi. Pura-pura membaca.

Setelah aku yakin Sally kembali fokus dengan laptopnya. Aku diam-diam mencuri-curi pandang lagi. Matanya yang begitu tajam begitu nampak ketika ia mengerutkan dahinya. Dugaanku ada kata-kata yang salah dalam ceritanya. Jika kuamati, tatapan matanya itu serupa elang yang siap menerkam mangsanya dari ketinggian. Kemudian ia kembali meregangkan keningnya, tersenyum tipis. Lalu kembali menulis lagi.

Ah, senyumnya sangat manis. Ingin rasanya aku terus memandang wajahnya. Rasanya memandang berlama-lama pun aku tidak akan pernah bosan.

“Kenapa sih melihatku seperti itu?”

Aduh, aku tertangkap basah. Aku bingung harus mengelak dengan cara apa. Aku terdiam beberapa saat, hingga akhirnya tak kutemukan lagi alasan untuk menghindar.

“Adakah yang salah bila aku mengagumi kecantikanmu?” Jawabku.

Ia tersenyum. Sungguh, senyumnya memang sangat manis.

“Ya, tidak apa-apa. Tapi jangan menatapku seperti itu?”

“Oh, iya. Sudah selesai?”

“Sudah, ini masih dalam proses ngirim. Sory lama.”

“Tidak apa Sal. Bisa berada di sini bersamamu, bagiku sudah cukup.”

Ia tiba-tiba menatapku. Tatapan yang begitu tajam. Tatapan yang meremukkan ruang pertahananku. Aku benar-benar kalah. Aku telah terjatuh.

Hening.

Tak ada percakapan di antara kami. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar salah tingkah. Aku mulai tidak nyaman duduk. Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan menyalakan rokok.

“Bagaimana tempat ini menurutmu?” ucapkan memecah kebisuan di antara kami.

“Asik. Aku suka, tapi kenapa majalah-majalah itu dibiarkan berserak di meja itu? Seolah ditaruh asal saja. Coba kalau ia diberi rak di dinding, pasti lebih menarik.”

“Jeli sekali kamu Nugie.”

“Iya, aku memang sering pergi ke tempat seperti ini. Eh, tapi bukan untuk nongkrong.”

“Lantas untuk apa?”

“Ya, untuk survei lokasi saja. Aku mengamati menu apa saja yang disajikan. Bagaimana desain ruangan dan segala pernak-pernik yang digunakan. Bagaimana pelayanannya. Dan apa yang menjadi suguhan utama di tempat itu, apakah itu menunya, tempatnya, atau pelayanannya.” Aku diam sejenak, “sebab aku ingin memiliki sebuah café atau kedai kopi, di mana nanti aku menyediakan buku bacaan dan juga menjual buku. Terus aku beri juga panggung apresiasi di sana.”

“Waw, keren. Kita kok bisa sama ya? Aku juga punya mimpi sepertimu.”

“Oh ya? Apakah itu berarti kita berjodoh?”

“Oh tidak, ingat ada tembok yang memisahkan kita.”

“Apakah tembok itu sekarang masih ada atau sudah rapuh?”

“Semakin kokoh dan tinggi malah.”

“Tapi aku yakin Sal, bahwa suatu ketika nanti aku bisa menghancurkan tembok itu dan kamu benar-benar kumiliki seutuhnya.”

Kita lalu terdiam. Hening.

Aku tidak tahu bagaimana bisa terjadi. Namun kesamaan antara aku dan Sally membuatku semakin yakin kalau ia memang diciptakan untukku. Mengapa? Ya, karena kita tidak pernah bersepakat bahkan menyusun rencana. Tetapi keinginan itu tiba-tiba saja muncul dan membuat kita terlibat pada keinginan yang sama. Aku rasa ini bukan semacam kebetulan, melainkan ini rencana Tuhan yang pastinya sudah disiapkan buat kita.

“Pasti asik. Aku setiap pagi berangkat ke café bersamamu. Lalu sambil menunggu pelanggan datang. Kita duduk di panggung apresiasi membacakan mimpi kita. Dan bila ada pelanggan datang, kita akan membiarkan mereka menunggu sambil menyimak cerita tentang mimpi kita.”

“Oh, tidak, kalau aku tidak seperti itu. Kalau nanti kita menikah, aku ingin duduk di rumah menunggu sambil mendoakanmu. Lalu sepulang dari café, aku menyodorkan secangkir kopi sambil menanyakan apakah tadi banyak pelanggan yang datang.”

“Wah, romantis sekali. Seorang peracik kopi handal yang setiap racikan kopinya dinanti banyak orang ternyata ia selalu buru-buru pulang taksabar menanti racikan kopi seorang perempuan yang sembunyi di balik punggungnya.”

Kita benar-benar terlarut dalam mimpi kita bersama. Hingga aku taksadar mulai berani memegang tangannya. Dan Sally juga merengkuh tanganku. Erat. Rasanya ingin malam ini berlangsung lebih lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status