Kebohongan tetaplah kebohongan walau terbungkus untaian kata indah dan rangkuman bunga, Pelangi pun enggan muncul kala langit kembali gelap. Dan seketika angin akan membawa badai untuk menghemapas gelombang.
Pagi hari yang cerah dengan suara kicau burung nan merdu, kilau mentari pagi menapak diantara dedaunan dan bunga-bunga pun bermekaran dengan indah.
"Hima, Ibu berangkat ke warung dulu, kasian mas mu kalau tidak ada yang bantu, nanti kalau Bapakmu pulang, tolong bikinkan minum ya."
"Iya, Bu. Lha ibu berangkat ke warung sama siapa? apa Hima antar aja, Bu?" Sejenak Hima meletakkan gunting pemotong tanaman, dan melangkah menuju tempat ibunya berdiri.
"Ga usah, Ibu berangkat sendiri aja."
"Bawa motor?"
"Lha iya, masak mau jalan kaki, gempor kaki ibu." Jawab Ibunya disertai senyum yang tersunging di wajahnya.
"Ya udah kalo gitu, Ibu hati-hati ya..." Hima mendekati Ibunya untuk mencium tangannya.
"Ibu berangkat, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah memastikan Ibunya keluar dari halaman rumah, Hima kembali mengambil gunting pemotong tanaman, dia melanjutkan lagi kegiatannya kala dia libur mengajar, merawat bunga-bunga dan tanaman di sekitar rumahnya.
"Assalamualaikum.." Suara parau dari arah belakang mengagetkannya, buru-buru dia menoleh, melihat siapa kiranya yang datang pagi-pagi seperti ini.
"Waalaikumsalam."
Farhan, pria berambut ikal berkulit putih, dengan tubuh tinggi tegap, Hima ingat Farhan adalah teman satu sekolah di taman kanak-kanak dulu.
"Farhan. . ."
"Apa kabar Him,"
"Alhamdulilah baik, kamu apa kabar?"
"Aku baik, apa aku menganggu?"
"Oh, tidak. Ada apa?"
"Aku ingin bicara padamu."
"Baiklah, Kita duduk disana." Hima menunjuk sebuah tempat yang biasa digunakan untuk bersantai diantara tanaman bunga.
Farhan mengikuti Hima dari belakang, kemudian Hima duduk dibangku kecil yang terbuat dari irisan kayu jati, di ikuti Farhan yang ikut duduk di atas bangku yang tak jauh dari tempat Hima duduk.
"Mau bicara apa?"
"Tentang perjodohan kita."
Hima menatap Farhan sekilas, terlihat dia sedang menghela nafas berat, kemudian Hima menunduk sambil memainkan jari jemarinya.
"Jadi?" Tanya Hima kemudian.
"Aku mau mengatakan sesuatu sebelum kita terlibat hubungan yang terlalu jauh."
"Katakan saja."
"Hima, sebenarnya aku .... aku. . .aku sudah mempunyai kekasih." Ucap Farhan sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Hima tersentak kaget mendengar itu, namun entah mengapa justru hatinya tenang mendengar kata-kata itu dari mulut Farhan.
"Terus mau kamu gimana?" Tanya Hima.
"Tolong dengarkan ceritaku, Him." Hima mengangguk patuh kemudian Farhan mulai bercerita tentang kekasihnya di kota Jakarta.
"Jadi kalian beda agama, itu yang membuat kamu ragu untuk mengenalkan dia pada keluargamu, dan justru kamu menerima perjodohan kita?"
Farhan mengangguk tegas dan masih dalam posisi menunduk, dia tak mau melihat apapun ekspresi Hima, karena dia takut jika ucapannya menyakiti hatinya.
"Dan kamu juga pernah tidur dengannya?" Tanya Hima meyakinkan apa yang dia dengar dari cerita Farhan.
Lagi, Farhan mengangguk.
Hima menarik nafas panjang, pandangannya tertuju pada tanaman bunga yang bermekaran, lalu dia tersenyum ketika melihat kumbang hinggap disalah satu bunga mawar yang sedang mekar.
"Lalu sekarang bagaimana? apa yang akan kamu lakukan?" Hima ingin tahu langkah apa yang akan diambil oleh Farhan dengan semua masalah yang ia hadapi.
"Aku mencintainya, Him. Kami berdua saling mencintai."
Lagi, Hima mendesah. Tak tahu apa yang harus dia katakan pada laki-laki di hadapannya ini.
"Aku ingin mengatakan itu pada bapakku, tapi aku takut akan penolakan bapak."
"Jangan jadi manusia yang meragu, Han."
"Maksud kamu, Him?"
"Allah menciptakan segala apa yang ada di bumi, semuanya dengan cinta, semua karena Allah mencintai hamba-Nya.
"Maka bertanyalah pada sang pemilik cinta, pada sang pencipta cinta itu sendiri, hadirkan Dia di sepertiga malam, maka satu jawab akan kamu dapat."
Farhan menatap Hima, dia tertegun dengan kalimat yang terlontarkan dari mulut sahabat TK nya dulu, Farhan tak menyangka ternyata sahabat kecilnya tumbuh dengan kecerdasan dan kedewasaan yang matang, kesholihahan dan keteguhan hatinya sangat luar biasa.
"Hima, awalnya aku kira kamu akan marah, atau akan mencibir diriku yang telah melanggar perintah agama kita, nyatanya kamu malah sebaliknya, maafkan aku Him."
"Kamu tak perlu minta maaf, kamu tidak berbuat salah padaku, setiap manusia pasti pernah salah dan lupa, termasuk kamu jadi tidak ada hak bagiku untuk menghakimimu, apa lagi membencimu."
"Hima, jika ternyata aku adalah jodohmu, apa kamu mau menerima masa laluku?"
"Masa lalu itu milikmu, jika kkita memang berjodoh, maka masa depan mu yang menjadi milikku."
"Trimakasih Hima, aku akan melakukan apa yang kamu sarankan, ternyata aku datang ke tempat yang tepat, hatiku tenang setelah mendengarkan kata-katamu."
Hima tersenyum dan mengangguk pelan.
"Siapapun yang menjadi jodohmu, dia adalah laki-laki yang beruntung karena mendapatkanmu."
"Kamu terlalu berlebihan, Farhan."
"Itu kenyataan, kamu perempuan yang hebat." Ucap Farhan kemudian beranjak dari duduknya.
"Aku pamit ya Him, terimakasih untuk semua saran kamu, Ehm... Jika aku ingin ngobrol denganmu, bolehkah aku menelponmu?"
"Tentu, kamu boleh menelponku."
"Baiklah, aku pulang dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Farhan melambaikan tangannya, ketika dia sampai diluar halaman rumah Hima, kemudian melajukan motornya.
Hima ingin masuk ke dalam rumah, tapi matanya menangkap sebuah benda yang terlipat rapi diatas motornya.
'Astagfirullah, lupa mau balikin mantel.' Gumam Hima.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Bapak udah pulang?"
"Iya, dikelurahan tidak banyak pekerjaan jadi bapak sempatin pulang dulu sebentar, Ibu sudah berangkat ke warung?"
"Sudah pak."
"Bapak mau minum teh apa kopi?"
"Air putih saja, tadi di kantor sudah dibikinkan teh, tadi pagi Ibumu sudah bikinkan kopi, kebanyakan gula bapak ini." Ujar Bapak Hima sambil duduk di serambi rumah.
"Ini minumnya pak," Hima memberikan segelas air putih pada bapaknya.
"Kamu sudah bertemu Farhan? tadi dia ke kantor, minta ijin untuk ke rumah, katanya mau bicara sama kamu."
"Sudah pak, baru saja dia pulang."
"Jadi gimana?"
Hima menunduk kemudian tersenyum lembut.
"Bapak ingin tahu apa ingin tahu banget?" Ucap Hima sambil mengoda bapaknya.
"Kamu itu, di ajak ngobrol serius malah bercanda."
"Lagian bapak mau tahu aja, urusan anak muda."
"Karena ini menyangkut kehidupan anak bapak, jadi bapak harus tahu."
"Biarkan kami berjalan apa adanya dulu pak, bagaimanapun ini tentang hidup kami seterusnya, jadi tidak secepat itu kami mengambil keputusan."
"Tapi jangan lama-lama, usia kalian sama-sama sudah matang, dan ga enak juga kalau dilihat tetangga, kalau kalian sering terlihat bersama."
"Inshaalah, Hima akan menjaga diri hima dengan baik pak, atau untuk sementara Hima balik ke pondok pesantren aja?"
"Ya jangan, kamu dari kecil udah di pondok pesantren, masak sekarang mau balik lagi, baru aja kemarin kamu keluar dari pondok."
"Ya udah, bapak berikan waktu untuk Hima dan Farhan, semoga kami diberi yang terbaik."
"Amiinn, bapak juga ga mau kalau sampai kamu kecewa lagi, ndok."
Hima tersenyum, Hima patut bersyukur karena mempunyai keluarga yang bijaksana dan selalu mendukungnya.
Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu
Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg
Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman
“Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da
Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,