Share

Dua kisah

Author: Rindhu_ughi
last update Last Updated: 2021-01-14 17:29:51

Hujan yang terus menguyur kota Yogyakarta beberapa hari ini cukup lebat, seperti air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hari ini dari selepas subuh hingga menjelang dzuhur, hujan belum juga terhenti, justru diikuti petir yang saling bersahutan dan saling menyambar.

Farhan menyadari bahwa apa yang sedang dia alami adalah buah dari perbuatannya, sebuah episode terberat dalam hidupnya jika sampai dia harus menentang keinginan orang tuanya untuk menikah dengan Hima, namun dia juga tak kuasa untuk meninggalkan kekasihnya. Tapi benar kata Hima, dia hanya manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan.

Menatap hujan yang turun dengan derasnya, Farhan menarik nafas panjang bayangan kekasihnya berkelebat silih berganti, kenangan-kenangan bersamanya berputar silih berganti dari memori otaknya, apakah semua kenangan itu akan benar hanya tinggal kenangan? apakah sebuah keputusan yang benar jika dia memilih Hima demi orang tuanya? bagaimana perasaan Hima jika ia menikahinya tanpa cinta? Sepertinya keputusan apapun yang ia ambil tetap akan menyakiti semua orang. 

"Ya Allah, kenapa Kau pertemukan aku dengan kekasihku jika akhirnya aku akan menyakitinya, dan menyakiti orang tuaku?. Ujianmu terlalu sulit ya Allah, Tolong beri hamba kemudahan dan tunjukkanlah jalan mana yang harus hamba ambil."

Puas meratapi kenyataan yang ia hadapi, Farhan beranjak ke kamar mandi, mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat dzuhur, dalam sholatnya dia menangis dan memohon ampun atas apa yang telah dia lakukan bersama kekasihnya, mungkin ini cara Allah mengingatkan dia bahwa hubungan yang ia jalani dengan kekasihnya telah melenceng dari jalur agama dan norma. Tiba-tiba bunyi nyaring terdengar dari ponselnya.

'Pricilia' Ucap Farhan pelan.

Tanpa melepas sarung dan koko yang ia gunakan untuk sholat, Farhan menekan tombol hijau di layar ponsel, terdengar suara merdu yang ia rindukan.

"Hallo Mas Farhan," Ucap pricilia di seberang telpon.

"hallo Lia, kamu apa kabar, kamu baik-baik saja kan?"

"Aku baik, Mas. Ehm... Lia mau memberi tahu mas sesuatu." Ucap Pricilia Pelan dan sedikit tertahan, ada setitik keraguan disana.

"Katakanlah ada apa,"  jawab farhan dengan lembut.

"Aku . . . Aku . . .Itu . . . Aku, Aku hamil Mas." Ucap Lia dengan nada yang cukup lemah namun masih bisa terdengar oleh telingga Farhan. 

Hujan bertambah deras dan suara petir yang mengelegar, seperti menyambar jantungnya. Inilah jawab dari sebuah tanya yang selalu ia lontarkan di sepertiga malam. 

"hallo. . . Hallo . . .Mas . . ." pricilia memanggil Farhan karena hanya hening tanpa ada suara balasan dari Farhan.

"I . . .Iya Lia, aku masih disini." 

"Mas Farhan marah?"

"Tidak, kenapa harus marah?"

"Lia, hanya ingin memberitahu itu saja, Lia tetap akan membesarkan anak ini, meski Lia harus hidup sendiri tanpa kamu Mas, Lia tahu Mas Farhan di jodohkan oleh orang tua Mas kan?"

"Kamu bicara apa sih, Lia. Aku akan bertangung jawab, kita akan membesarkan anak kita bersama."

"Tapi orang tua Mas?"

"Aku akan bicara pada mereka."

"Lia tidak mau, Mas jadi anak yang tidak berbakti."

"Lalu mau kamu apa? menyuruhku menikah dengan pilihan orang tuaku? lalu aku harus menelantarkan mu dan anak kita?"

"Semoga Tuhan memberi jalan yang terbaik untuk kita Mas, Lia tutup dulu telponnya."

Pricilia telah menutup telponnya sebelum mendengar jawaban dari Farhan. Farhan meyakini bahwa saat ini pasti Pricilia sedang menangis. Farhan menarik nafas panjang, kemudian mengetikkan pesan pada Hima.

[Dia hamil anakku, Hima] pesan itu terkirim pada Hima, dan tak lama dia membalas pesan dari Farhan.

[Nikahi dia] 

Farhan memejamkan matanya setelah membaca pesan dari Hima.

[Kamu tidak marah atau kecewa?]

[Marah untuk apa? kecewa untuk apa?] 

[Karena aku tidak bisa menikahimu]

[Kau tidak pernah berjanji untuk menikahiku, Farhan. Lantas kenapa aku harus sakit hati dan kecewa? mungkin ini jawaban yang kamu tunggu]

[Trimakasih Hima]

[Sama-sama Farhan]

Farhan bersyukur, wanita yang ia jodohkan dengannya adalah Hima, sosok wanita dewasa dan bijaksana. Entah bagaimana jika dia di jodohkan dengan wanita lain belum tentu dia mau menerima keputusannya dengan hati dan kepala dingin.

Lantas sekarang bagaimana dia harus menyampaikan penolakan terhadap rencana perjodohan antara dirinya dan Hima? 

Sementara di tempat lain, Erlangga menatap perempuan yang duduk di hadapannya dengan penuh luka. Joko yang ada disampingnya pun hanya duduk diam dan hanya menatap bergantian wajah Erlangga dan Sari.

"Hujan sudah mulai reda, sekarang kamu bisa pulang." Ucap Erlangga datar, Joko tak menyangka bahwa sahabatnya ini bisa berkata demikian pada seseorang, dan lagi perempuan itu pernah menduduki tahta di hatinya cukup lama.

"Baiklah aku pulang." Ucap Sari sambil tertunduk lesu kemudian mengambil tas yang ada di sampingnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab Erlangga tanpa menatap pada Sari.

Sari keluar dari rumah Erlangga diikuti Joko yang mengantarkannya ketempat dimana mobilnya terparkir, tapi sebelum dia benar-benar masuk ke mobilnya, Sari menangkap sosok perempuan berhijab hitam memarkirkan motornya di depan rumah Erlangga, dan senyum yang ia harapkan dari Erlangga ternyata tersunging walau bukan untuknya, melainkan untuk perempuan yang baru saja turun dari motornya dan menghampirinya.

"Siapa itu, Jok?" Tanya Sari penuh rasa penasaran.

"Calon istri Erlangga." Jawab Joko asal.

"Oh." 

"Aku Pamit Jok, makasih udah anter sampe sini."

"Ga masalah, hati-hati dijalan, Sar."

"Oke."

Sari masuk ke dalam mobilnya kemudian melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang, ada sedikit rasa sakit hati sekaligus cemburu yang ia rasakan, karena kesalahannyalah ia kehilangan Erlangga, kini tak ada lagi harapan untuk ia kembali merajut benang cinta bersamanya. 

Erlangga tersenyum setelah membalas salam dari Hima, dia tak menyangka jika perempuan yang ia temui di bengkel akan datang ke rumahnya.

"Maaf Mas, tadi saya ke bengkel, tapi ternyata bengkelnya tutup, kemudian saya diberi tahu pemilik warung samping bengkelnya Mas, kalau rumah Mas disini, karena tidak terlalu jauh jadi saya langsung mampir kesini."

"Oh, Ya ga apa-apa mba, ada apa ya mba? apa motornya rusak lagi?" Tanya Erlangga sambil mempersilahkan Hima untuk duduk di teras.

"Enggak Mas, saya cuma mau balikin ini saja." Ucap Hima sambil meletakkan bungkusan mantel di meja samping dia duduk.

"Oh, dipakai aja ga apa-apa mba, saya masih ada satu lagi kok."

"Ini sedang musim hujan, biar bisa buat ganti Mas nya."

"Nama saya Erlangga, bukan mas nya."

"Oh, ya Mas Erlangga, Maaf."

"Tidak apa-apa."

"Kalau begitu saya pamit dulu mas, terimakasih mantelnya." 

Baru saja Hima bangkit dari duduknya, petir kembali menyambar disertai hujan yang tiba-tiba turun dengan deras.

"Nanti aja mbak pulangnya nunggu agak reda, mari masuk dulu mba,"

Melihat Hima kebingungan Erlangga melanjutkan bicaranya.

"Saya dirumah tidak sendirian, tuh . . . sama Joko." Lanjut Erlangga sambil menunjuk ke arah Joko yang sedang berlari menuju ke rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
semoha ucapan joko bener. hima calon istri Erlangga
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di ujung penantian   Antara Ikhlas dan Pasrah

    Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu

  • Di ujung penantian   Penyesalan Aziz

    Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg

  • Di ujung penantian   Kegalauan Melanda Hati

    Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman

  • Di ujung penantian   Firasat hati

    “Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da

  • Di ujung penantian   Keputusan Hima

    Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang

  • Di ujung penantian   Awal Perjuangan

    “Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,

  • Di ujung penantian   Perjuangan 1

    Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in

  • Di ujung penantian   Antara aku, kamu dan dia 2

    Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set

  • Di ujung penantian   Antara kamu dan dia 1

    Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status