LOGINSeharusnya dia pulang lebih malam lagi atau sekalian tidak pulang saja.
Supaya tidak melihat ketidakadilan ini. Kekesalannya menghadapi pasien dokter Natasya di cafe tadi, terasa jauh lebih mudah dari pada di sini... di rumahnya. “Non Aya ayo kita lewat belakang saja, simbok sudah siapkan makanan kesukaan non.” Cahaya yang baru saja membuka pintu pagar rumahnya, terkejut dia tak menyangka kalau simbok menunggunya di balik pintu. “Mbok mengagetkan saya saja, kenapa mbok di sini malam-malam?” Simbok tidak langsung menjawab dia malah menoleh pada mobil yang terparkir di halaman rumah, masih baru dan mengkilap bahkan platnya saja belum dipasang. “Ada tamu, Mbok?” tanya Cahaya lagi. “Mbok?” Cahaya mengerutkan kening saat simbok tak juga menjawab, wanita tua yang sudah mengabdi pada keluarganya sejak dia kecil itu hanya menundukkan kepala. Sesuatu pasti terjadi dan tentu saja sesuatu yang tak dia sukai. Tak ingin membuang waktu Cahaya melangkah cepat untuk masuk ke dalam rumah, tapi simbok yang tadinya hanya diam buru-buru mencegah. “Non Aya, non sebaiknya makan dulu. Nan-nanti mbok akan cerita semuanya,” kata wanita itu dengan gugup. Tangannya bergetar saat menarik tangan gadis muda itu menuju pintu belakang yang langsung menuju ke dapur. Cahaya tak menolak dia memang butuh makan, lebih tepatnya dia butuh tenaga untuk menghadapi apapun yang terjadi nanti di dalam rumah ini. Kening Cahaya kembali mengernyit saat mendengar suara tawa yang asing di telinganya, tapi dia tidak berkomentar hanya mengikuti langkah simbok yang membawanya ke meja dapur. “Mbok sudah buatkan gurami bakar dengan sambal dabu-dabu kesukaan non Aya,” kata simbok sambil memamerkan hasil karyanya yang seketika membuat Cahaya merasa sangat lapar. “Mbok memang yang terbaik,” kata gadis itu sambil tertawa lebar. Dengan semangat gadis itu menuangkan nasi hangat ke dalam piringnya dan tak lupa lauk yang dibuatkan simbok. Dia tidak pernah meragukan kemampuan simbok dalam mengolah makanan bahkan bagi gadis itu masakan simbok adalah masakan terenak di dunia. Cahaya sibuk sekali dengan makanannya sampai dia tak menyadari simbok yang menatapnya dengan begitu sendu. Sampai suara mobil yang sangat dia hapal memasuki halaman rumah. “Papa baru pulang?” tanya Cahaya pada simbok. Simbok berdiri dengan gugup. “Duduklah, Mbok. Saya sudah selesai makan, bukankah mbok berjanji akan mengatakan semuanya,” tuntut Cahaya. Sejenak wanita tua itu menatap keluar jendela, meski tak benar-benar bisa melihat apa yang ada di luar sana karena pintu telah ditutup. “Ehm... itu non Aya tolong jangan marah.” Cahaya menatap tak suka pada awalan kalimat simbok. “Mobil di depan adalah milik non Tari. Ba-bapak baru saja membelikannya secara tunai begitu yang saya dengar.” Kemarahan itu langsung berkobar di dada Cahaya, dia menatap simbok tajam dengan pandangan penuh penghakiman, wanita tua itu sampai harus menunduk membuat gadis muda itu merasa bersalah, matanya lalu memejam. Tidak sepantasnya dia marah pada simbok, ini bukan salahnya. “Aku akan menemui papa, siapa tahu beliau baru saja dapat tander dan-“ “Non, simbok punya sedikit tabungan dan juga perhiasan yang dulu dihadiahkan ibu, tolong ambillah untuk pengobatan ibu,” kata wanita tua itu sebelum Cahaya berdiri. Cahaya menatap nanar pada buku tabungan juga kotak berisi perhiasan yang terbuka di depannya. “Jumlahnya mungkin tak banyak tapi mbok berharap bisa sedikit membantu pengobatan ibu.” Cahaya menggeleng, dia berusaha keras tersenyum tapi sepertinya dia gagal bahkan air matanya pun tak mau berkompromi, mengalir keluar tanpa dia minta. “Mbok bicara apa sih, ini milik mbok saya tidak akan menggunakannya. Papa baru saja membelikan Tari mobil harusnya sudah punya banyak uang. Iya.. papa pasti sudah menyiapkan uang untuk operasi mama.” Cahaya tak tahu apa yang salah dengan wanita tua di depannya, bukannya bahagia simbok malah menunduk dengan bahu terguncang. “Simpan lagi, mbok nanti ilang lho. Aya bicara dulu pada papa.” Cahaya berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah utama, hanya ada sang ayah dan keluarga barunya di ruang tengah, mungkin tamu yang tadi datang sudah pulang. “Aya, aku kira kamu belum pulang sini aku punya banyak makanan dan kue untukmu. Ini syukuran mobil baruku, kamu sudah lihatkan di luar.” Gadis itu dengan manis menyapa Cahaya. Untuk pertama kali dalam hidupnya Cahaya yang doyan makan apa saja menjadi benci makanan yang ada di atas meja itu. “Papa baru saja membelikan Tari mobil?” tanya Cahaya menatap lurus sang ayah yang sejak tadi menatap bangga pada gadis muda anak tirinya. “Benar, Tari tidak bisa kena panas dia butuh mobil untuk bekerja,” kata laki-laki itu tanpa benar-benar menatap Cahaya. Cahaya menghela napas panjang, sebagai anak kandung sang ayah tentu saja dia sakit hati tapi dia tidak boleh memperlihatkan emosinya. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan dia berkata, “Baguslah kalau begitu berarti papa banyak uang sekarang untuk membayar biaya operasi mama.” Tiga pasang mata itu langsung menatap Cahaya dengan tak suka, tapi dia sama sekali tak peduli dalam harta papanya juga ada jerih payah mamanya, bahkan bisa dibilang istri baru ayahnya datang ketika papanya sudah mapan. “Jadi aku bisa bilang pada dokter kalau operasi mama segera bisa dilakukan.” “Kamu apa-apaan sih Aya, papa belum punya uang. Papa membelikan Tari mobil karena dia memang benar-benar butuh mobil itu lagi pula papa sudah janji-“ “Jadi maksud papa, mama tidak butuh operasi itu, dokter pasti sudah mengatakan semua tapi papa tetap saja lebih memilih membelikan Tari mobil. Ingat Pa, dalam harta papa ada hak aku dan mama yang menemani dari nol bukan para benalu ini.” “Aya, lancang sekali mulutmu. Papa tidak pernah mengajarimu menjadi anak kurang ajar seperti ini! Minta maaf pada mama Rini dan Tari sekarang!” Cahaya menggeleng pelan, dia menatap berani pada sang ayah yang wajahnya memerah. “Papa mengajarkanku minta maaf jika melakukan kesalahan, sedangkan aku tadi hanya mengungkapkan fakta,” katanya sambil tersenyum getir. Tapi senyum itu surut saat menatap kalung yang dipakai istri baru ayahnya. Cahaya kenal betul kalung itu. itu kalung kesayangan ibunya, hadiah dari almarhum eyang putri. Apa mamanya meninggalkan perhiasannya di rumah ini. Secercah harapan muncul dalam hatinya, dia akan mengambil kembali semua milik mamanya, dia tak sudi semua harta jerih payah orang tuanya dulu habis ditangan gundik papanya. “Sudahlah, mas. aku tidak apa-apa mungkin Cahaya hanya iri saja. Aya kamu juga boleh menumpang mobil Tari untuk bekerja, benarkan, Nak.” “Iya, Ma. Aku akan mengantarmu kerja setiap hari, kalau papa punya uang lagi beliau akan segera membayarkan pengobatan mamamu dan membelikanmu mobil juga,” kata Tari dengan nada membujuk yang membuat Cahaya ingin muntah. “Benar. Papa tidak akan lepas tanggung jawab. Papa sedang berusaha untuk mendapatkan uang untuk pengobatan mamamu.” Mata Cahaya langsung menyipit berusaha mencari kebenaran dalam raut wajah ayahnya. “Kamu temani papa menemui tamu penting minggu depan, dia janji akan berinvestasi untuk usaha papa.” Perkataan sang papa bukannya membuat Cahaya tenang dia malah makin ragu. Apalagi melihat senyum penuh kemenangan yang tersungging dari bibir dua wanita itu. Entah apa yang mereka rencanakan kali ini, tapi ini bukan waktunya untuk itu.Dia tidak boleh menunda waktu lagi, mamanya tak bisa menunggu lagi dan Cahaya akan melakukan apa yang tadi terlintas dalam pikirannya.“Sudah siang. Bangunlah.” “Pergilahhh… aku masih ngantukkk” Ary menggelengkan kepalanya antara kasihan dan geli melihat sang istri yang kembali memeluk gulingnya erat. “Kamu tidak mau mengecewakan mama bukan.” Kembali Ary berbisik di telinga sang istri, sebenarnya dia tak tega juga melihat sang istri yang baru beberapa jam tidur karena melayaninya, tapi dia tahu Cahaya akan marah kalau dia tak membangunkannya. Entah kenapa dihadapan sang istri, Ary berubah menjadi laki-laki lemah yang gampang luluh, berbeda sekali dengannya saat berhadapan dengan anak buahnya. Apalagi saat tangannya menyentuh perut besar sang istri, dia merasa bisa menukar hidupnya dengan senyum sang istri. “Sayang, ayo mama pasti sudah menunggu,” kembali Ary berbisik di telinga istrinya. Kali ini mata indah itu mengerjap berusaha menghilangkan rasa kantuknya tangannya terangkat ke depan dan Ary tahu apa yang akan dikatakan istrinya. “Gendong.” Kan! “Dasar manja,” kata Ary sambil tertawa tapi tak ayal juga la
Selama hidupnya belum pernah Ary merasakan ketakutan seperti ini. Dia yang dianggap sebagai anjing penjaga yang tak pernah gagal menjalankan tugasnya, nyatanya sekarang harus duduk merosot di depan ruang operasi, merasa gagal menjaga istrinya sendiri. “Den, minum dulu.” Ary mendongak dan simbok berdiri di depannya sambil menyodorkan satu gelas teh hangat padanya. “Minuman ini mungkin bisa membantu, Non Aya butuh aden, jangan sampai ikut sakit.” Wanita tua itu menatap laki-laki muda di depannya dengan prihatin, awalnya dia memang agak kurang setuju saat gadis kecil yang dia asuh harus menikah dengan laki-laki ini, laki-laki yang terkenal dalam dunia malam. Simbok yakin kalau laki-laki seperti itu suka menyakiti istrinya, tapi apa yang dia lihat sekarang menghancurkan keyakinan itu. Ary tampak hancur dan merasa bersalah. “Selama ini insting saya tidak pernah salah, tapi bodohnya hari ini saya mengabaikannya. Kalau saja saya tidak pergi… semuanya tidak akan seperti ini…” Kengeria
“ Akhirnya pintu terbuka juga.”Harusnya suara itu membuatnya senang, tapi kali ini suara itu malah membuatnya takut. Bukankah Ary pernah bilang saat hatimu ragu untuk melakukan suatu hal percayailah instingmu.Kenapa dia tidak bias melupakan pesan suaminya itu. Pegangannya pada gagang pintu menguat, dia berusaha tersenyum pada orang di depannya. “Apa kami tidak dipersilahkan masuk.” “Boleh saja, tapi cuci dan tangan kalian dulu!” Memanfaatkan dua orang tamunya yang tertawa penuh ejekan, Cahaya berusaha menutup kembali pintu rumahnya sayang sekali gerakan mereka sangat terlatih dan cepat. “Tidak sopan menutup pintu saat ada tamu.” Cahaya sempat terdorong saat kedua orang itu merangsek masuk, tapi tentu saja tenaga satu orang wanita sama sekali tak sebanding dengan dua orang laki-laki tinggi besar yang sudah akrab dengan kekerasan.Jam segini perumahan ini sepi orang, kalaupun ada orang dia tak yakin mereka berani membantunya apalagi dengan reputusi Ary seperti itu, dia tak mau
"Kenapa belum pergi? Bukankah kamu bilang ada urusan penting?" Ary mendongak, wajahnya yang memang terbiasa datar itu agak pucat dan resah. Untuk pertama kalinya Cahaya khawatir pada keadaan laki-laki itu. Ary selalu kuat, dia bahkan menyaksikan langsung sang suami yang bertarung melawan beberapa orang juga saat dia harus berhadapan dengan senjata tajam maupun senjata api. Cahaya tak meragukan kemampuan fisik suaminya, itu jugalah yang membuatnya sering memukuli suaminya karena dia tahu pukulannya tak lebih dari gelitikan untuk laki-laki itu. Ary kuat dan cerdas tak dia ragukan lagi, tapi Cahaya juga tidak akan lupa kalau suaminya adalah manusia yang memiliki keterbatasan. "Kamu sakit?" Tanyan Cahaya menyentuh kening sang suami, tapi laki-laki itu malah menggenggam tangannya lembut. "Aku baik-baik saja, harusnya itu pertanyaan untukmu kamu pasti lelah dengan semua yang terjadi" Cahaya tertegun sejenak alu bibirnya tersenyum manis. "Jangan merasa bersalah selama kamu ada di s
"Kurang Ajar!!! Beraninya jalang sialan itu melawanku!!!" Gelas itu hancur berkeping-keping setelah membentur tembok dengan keras. Orang-orang yang ada di sana hanya bisa menunduk tak berani menatap wanita yang berdiri berkacak pinggang penuh amarah. "Di mana sekarang bukti-bukti itu?" Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya lalu dengan suara bergetar menjawab, "Ka-kami tidak tahu nona, tapi kemungkinan besar ada pada Ary atau polisi." "Ary?! Dia tidak mungkin melakukannya, dia..." Napas wanita itu tercekat tanpa sadar air mata mengalir di pipinya, tapi dengan cepat dia menghapus air mata itu. Ary... Dia pernah sangat mencintai laki-laki itu dan rela melakukan apa saja agar bisa menjadi istrinya. Tapi setelah mereka bertunangan dengan seenaknya Ary membuangnya, memng pertunangan itu sendiri terjadi bukan karena inisiatif Ary tapi lebih kepada paksaan darinya dan juga pak Dewa. Dulu dia berpikir tidak masalah Ary tidak mencintainya, dia punya banyak uang untuk membuat Ar
"Kok jalannya makin pelan???"Cahaya menoleh pada suaminya yang sekarang menghentikan langkah. Lengannya bahkan di tahan oleh laki-laki itu."Tunggu dulu, biarkan mereka ketemu." "Hah!!! Maksudmu mereka mau nostalgia masa lalu gitu." "Bisa jadi kalau mereka memang ada niat." Cahaya menatap suaminya dengan seksama dan dibalas dengan tatapan yang sama tajamnya dengan sang istri. "Kamu bermaksud menguji papa?" Ary hanya mengangkat bahunya saat mama Tari sudah masuk dan menutup pintu ruangan perlahan Ary menggandeng tangan Cahaya untuk mendekat, sedikit dia buka pintu ruangan supaya tahu apa yang terjadi. "Aku rasa tante Rini menyesal berpisah dari ayahmu, dia kehilangan sumber uangnya. Aku hanya ingin tahu papamu kembali tergoda padanya atau tidak." Cahaya menggeleng, tidak setuju dengan ide mereka yang kembali bersatu. Wanita itu berbahaya, dan sangat licik ayahnya bisa saja menjadi korban tipu muslihatnya sekali lagi. "Mas kenapa tidak memberitahuku kalau kamu sakit?? Apa ini







