Share

Bab 05. Sosok Diana

Sebagai seorang kakak tertua, seharusnya dia bisa mengayomi adik-adiknya. Memberikan contoh yang baik untuk mereka yang usianya jauh di bawahnya. Namun, nyatanya Diana memang berbeda dari sekian banyaknya perempuan di luar sana. 

Diana menikah dengan seorang pria berusia lima tahun di atasnya. Kehidupan Diana memang terbilang sangat sempurna. Bagaimana tidak, mertuanya membuatkan rumah mewah bertingkat di pinggir sawah. Dengan halaman yang cukup luas. Segala kemauanya, selalu dituruti oleh suami dan semua anggota keluarga mertuanya. 

Sayang, ketika dia mendapatkan segalanya. Diana tidak pernah ingat pada Ibu dan adik-adiknya di kampung. Dia selalu saja berpura-pura tidak punya uang, padahal dia terkadang memposting kegiatannya di  status di WhatsAp. Sampai makan mengunjungi dan beli parfum pun, dia tidak pernah ketinggalan. 

Dari pernikahannya bersama pria asal kota Garut ini, Diana dan suami dikarunia dua orang anak. Pertama perempuan dan kedua laki-laki. Yang perempuan usianya sudah menginjak sepuluh tahun dan adiknya berusia tujuh tahun.

"Aulia! Aulia, bangun! Woy, bangun ayo!" teriaknya pada anak sendiri. 

"Ih, Mama atuh, masih ngantuk. Nanti aja, ya," ucap gadis itu tanpa membuka matanya. 

Hal positif dari seorang Diana adalah, ketika dia mengerjakan pekerjaan rumah selalu gesit. Sebelum azan subuh berkumandang dia sudah bangun, membersihkan seluruh rumah mulai dari melap kaca, lantai dan mencuci piring. Namun, sebelum itu Diana membangunkan Aulia anaknya untuk menjaga adik lelakinya yang kecil. 

"Buruan! Aulia! Awas, ya kalau misal kamu gak bangun juga, Mamah cubit juga wajah kamu, Aulia!" ancamnya. 

Aulia—si gadis berusia sepuluh tahun ini menutup telinganya dengan boneka kodok miliknya. Lantaran merasa kesal akan sikap putrinya yang telah mengabaikannya, Diana bangkit dan mengambil sapu lidi dari dapur. Diana berteriak sekencang-kencangnya sampai membuat gadis itu bangkit. 

Diana menjewernya, kemudian menarik Aulia menuju kamar pribadinya. 

"Mamah atuh sakit, telinga Aulia. Mah, lepasin!" pinta Aulia. 

Diana semakin menjadi, perempuan itu mendorong anaknya sendiri, lalu menguncinya di kamar. 

"Diam di sana! Kalau misalkan masih aja bandel, Mamah gak akan ngajak kamu ke Tasik!" Lagi-lagi Diana tidak pernah menghentikan ancamannya. Pada anaknya sendiri pun seperti itu, apalagi sama orang lain? 

Entahlah. 

***

Hingga hari telah menjelang siang, Aulia masih terus menangis gara-gara Diana menguncinya di kamar. Aulia, gadis berambut panjang nan cantik ini menggedor-gedor pintu berharap ada oma atau siapapun yang lewat sehingga bisa membantunya untuk membuka pintu. 

Gadis itu mencari ide untuk meminta bantuan kepada omanya atau keluarga terdekatnya. Melihat ponsel yang tergeletak di samping adik kecilnya, Aulia pun mengambil gawai itu, kemudian membukanya. 

Beruntung, Diana tidak pernah mengunci ponselnya baik dengan sandi atau pola. Aulia berpikir keras bagaimana dia bisa mencari nomor ponsel milik saudara dekatnya. 

"Aduh, gimana, ya? Aulia bingung harus apa? Ya Allah, bantu Aulia," lirih gadis itu, mengangkat kedua tangannya. Dan mengambil ponsel milik Diana kembali. 

Tidak perlu terlalu lama bagi seorang Aulia mencari ide, gadis cantik ini memulai aksinya. 

"Hah, Aulia ada ide nih." 

"Halo, Pak," ucapnya memanggil seseorang di seberang dengan sebutan 'Pak'. 

Seseorang di seberang pun menjawab panggilan telepon darinya, menanyakan bagaimana kabar dan sedang apa dia saat ini. Namun, Aulia malah menangis ketika papanya bertanya. 

"Pak, suruh mak buat ke rumah, ya! Bukain pintu kamar, Aulia sama si Dedek pengap, Pak pengen keluar, bisa, kan?" 

"Hah? Maksudnya gimana, Aulia? Sayang, emangnya mamah kamu ke mana? Sayang, Aulia Bapak lagi kerja, Nak. Mamah ke mana, kenapa bisa sampe ngunciin kamu di kamar sih?" 

Nada suara dari seberang kini mulai berbeda, suami Diana mulai merasakan kekhawatiran yang teramat sangat pada putri tercinta. Akan tetapi, mengingat akan jarak yang memisahkannya. Dia harus terpisah dari anak dan istrinya. 

Sesungguhnya, suami Diana tidak pernah mengetahui bagaimana kondisi sang istri di rumah. Yang dia tahu, saat sedang bersama Diana selalu baik dan tak pernah menunjukkan sifat buruknya. Akan tetapi, kala sang suami telah tiada. Barulah sifat buruknya terlihat. 

"Pak, mamah ngunciin Aulia sama si Ad—" 

Terdengar seseorang berjalan menuju ke arah kamar, Aulia mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Aulia kembali menyimpan ponsel milik mamanya di samping adiknya yang saat ini masih tertidur. Maklum saja, semalam anak itu terus menangis sampai tiba azan awal berkumandang. 

***

 "Si Adek bangun gak tadi?" tanya Diana begitu dia berhasil membukakan pintu. 

Aulia yang berpura-pura tiduran di samping samg adik tercinta, sambil menepuk-nepuk pantatnya langsung bangun dan mengatakan yang sejelas-jelasnya. Aulia juga bertanya, mengapa dia lama menbuka pintu, dari manakah dia sampai tega mengunci anak sendiri berjam-jam? 

Diana tak menjawab pertanyaan Aulia, melainkan dia menyuruh anak sulungnya ini pergi, segera membersihkan badannya dan mandi. Aulia menurut, gadis itu langsung meninggalkan kamar dengan suasana hati bermuram durja. Antara kesal, kecewa dan benci semua menjadi satu. 

Setiap ibu tentunya mereka akan bersikap adil terhadap anak-anaknya, dia akan memperlakukan anak mereka sama. Berbeda dengan seorang Diana dan kalian perlu ketahui bagaimana dia sebenarnya dan inilah sosok Diana yang sesungguhnya. 

Pada anak bungsunya, Diana selalu manis dan tutur katanya tak pernah terdengar kasar. Tetapi, pada Aulia? Setiap hari wanita aneh ini membentak anak sulungnya, ya kadang Aulia membalas sikap Diana meski pada akhirnya Aulia sendiri harus mendapatkan cubitan yang keras. 

Selesai mandi, mengganti pakaiannya dan sarapan pagi. Aulia meminta izin pada Diana untuk main ke luar bersama teman-temannya. Sekumpulan anak kecil telah berada di depan rumah, memanggil-manggil nama sahabatnya mengajak bermain. 

"Mah, boleh, ya? Plis, Mah!" Aulia memohon pada Diana, mengharap izin darinya. 

"Boleh aja, tapi ingat, ya Aulia! Kalau sampai Mak atau siapapun yang nanya pipi kamu kenapa, jangan sampe kamu bilang ke mereka kalau itu ulah Mamah, paham! Liat nanti akibatnya, kalau sampe kamu bilang, Mamah gak akan bawa kamu ke Tasik ketemu Nenek!" 

Aulia mengangguk sambil mengangkat kedua tangannya. 

"Apa ini? Ngapain pake nadah begini?" tanyanya ketus sembsri menggendong adik kecil Aulia. 

"Mah atuh, minta duit ih. Lima ribu we, da baik," ucapnya merajuk. 

Diana mengambil uang di kantong celananya dan memberikan selembar uang kertas bernilai dua ribu rupiah pada anaknya. 

"Ih pelit," gumam Aulia sambil berlalu. 

Setelah kepergian anaknya, seperti biasa Diana memandikan anak bungsunya, kemudian memberinya sarapan pagi. Selesai merapikan diri dan juga anak lelaki kesayangannya. Diana akan jalan-jalan di sekitar rumahnya sambil berjemur di bawah terik matahari. 

Di depan rumah tetangga, Diana duduk bersama tiga orang ibu-ibu di sana. Mereka membahas segala topik, mulai dari yang tidak penting sampai tidak berguna. Tertawa terbahak-bahak. 

Beberapa jam  kemudian, pada pukul setengah sebelas lewat sepuluh menit. Seseorang datang menyambangi kediaman Diana, tetapi karena melihat menantunya sedang duduk di rumah tetangga. Seseorang tersebut membatalkan nita mengetuk pintu  dan menemui menantunya. 

"Teh Diana," sapa seseorang itu. 

Suara yang tak asing di telinga Diana, ya seseorang tersebut tak lain adalah mertuanya sendiri. Mak Hana. Wanita yang memakai pakaian lusuh, berhijab ini menyapa menantunya. Meski berasal dari keturunan orang berada, Mak Hana tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya ini orang berada. 

Mak Hana selalu terlihat biasa dan bertutur kata yang sopan. Entah pada menantunya atau orang lain sekali pun. 

"Mak Hana, ada apa?" Diana langsung bangkit dan menyalami mertuanya. 

"Mak mau bicara dengan Teteh sekarang apa bisa?" 

"Bisa, Mak. Sebentar," katanya. "Bu, Ibu! Nanti kita lanjut lagi, ya gibahnya. Tadi sampe bahas soal si Rukmini, kan? Yang suaminya suka godain anak orang? Oke deh, nanti, ya." 

Ketiga ibu-ibu yang tadi bersama dengan Diana mengangguk bersamaan. Diana meninggalkan mereka dan berjalan beriringan bersama mertuanya menuju ke rumah. 

Mak Hana menceritakan maksud kedatangan dirinya ke rumah Diana. Diana terperanjat, mendengar mertuanya membahas soal Aulia. Dia kebingungan, dari mana wanita tua ini mengetahui jika anaknya dia kunci hingga pukul sembilan? Diana berasumsi jika Aulia yang melapor, namun teringat akan kepergiannya tadi bersama teman-temannya ke Lapangan Sekolah. Pikiran buruk itu dia hilangkan. 

"Mak dari mana tau, kalau Diana ngunci Aul?" Pertanyaan singkat, tetapi nada suaranya terkesan tidak enak. 

"Jelas Mak tau lah, Diana. Tadi Maman nelpon ke Samsul, katanya apa bener kamu ngunci Aulia di kamar berjam-jam? Dia terlihat khawatir loh, Diana," tutur Mak Hana menjelaskan. 

An … jadi dia tau soal aku sekap Aulia? Padahal, kan nggak sampe … argh, bener-bener ini. Btw, timana Mas Maman tau, ya? 

Diana berdiri. Usai dia melepaskan anaknya dan membiarkannya berkeliling-keliling rumah. Dia meminta penjelasan pada mertuanya, mengapa sampai suaminya tahu jika dirinya menyekap Aulia di kamar? 

"Enggak perlu tahu, Diana! Mak hanya minta sama kamu buat tidak bersikap kasar sama  anak sendiri, kasian dia lah, Diana! Masih kecil juga," imbuhnya sambil mencpba menasehati menantunya. 

Sosok Diana yang keras kepala ini dan hanya mau menang sendiri, setiap kali Mak Hana mertuanya menasehati dia selalu menyanggahnya. 

Satu pun dari kalimat yang diutarakan oleh Mak Hana terhadapnya, tidak ada yang didengar juga diresapi baik-baik. Dia bilang, kalau seandainya dia sama sekali tidak pernah bersikap kasar. Apa yang diucapkan olehnya pada kedua anaknya itu semua semata-mata karena dia sayang dan ingin anaknya yang terbaik. 

"Kamu ingin anak kamu jadi orang baik dan kamu bilang apa yang kamu katakan pada mereka itu baik juga? Diana, ingat! Kamu ini perempuan, pigur seorang ibu adalah mengasihi dan menyayangi anaknya. Kalau pun mereka bersikap nakal, ya wajar namanya anak kecil, kan? Memangnya dengan kamu berkata kasar itu semua masih dibilang baik?" 

Dasar nenek peot, demennya ceramah mulu! Enggak ibu, enggak dia sukanya ceramahin orang lagi. Apa sih maksudnya? Enggak bisa apa, liat anak sendiri bahagia? Apa-apa salah, apa-apa salah. Aneh.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status