Share

Bab 06. Gara-Gara Lukaku Tetangga Pada Heboh

"Bu, Ibu! Tau gak sih, katanya si Neng Milen pipinya digores, ya sama adiknya sendiri?" tanya salah seorang ibu-ibu di sebuah warung dekat tak jauh dari rumah. 

"Maksudnya gimana itu? Maaf nih, ya, Ibu-Ibu saya teh gak ngerti sumpah. Jadi ceritanya Neng Milen  kenapa? Saya penasaran, Bu," sahutnya lagi. 

"Jadi begini, Bu Marni, kamaren ada seseorang yang datang ke rumahna si Neng Milen. Nah, di situ dia nemuin Neng Milen wajahnya cacat, menurut pendapat orang yang liatnya itu, katanya Neng Milen pipinya sengaja digores sama piso oleh adiknya." 

"Owalah, eh kok bisa orang itu tau kejadian sebenarnya? Emangnya Neng Milen cerita?" tanya si Bu Marni. 

Hatiku terasa panas sekali, ketika mereka memperbincangkanku di warung sana. Aku tidak tahu, mengapa bisa sampai berkata seperti itu. Sedangkan, diri ini tidak pernah sekalipun keluar rumah untuk mengunjungi atau pun bersenda gurau bersama mereka atau salah satu dari anaknya. 

Saat itu, aku sengaja berdiam diri di balik dinding rumah milik Bi Imas. Ibu memintaku untuk membeli bumbu balado dan setengah kilo minyak goreng. Akan tetapi, hampir setengah jam lebih aku di sana. Sungguh, aku takut jika nanti lewat, mereka akan menanyaiku. 

Ah, bagaimana ini? Kalau harus di sini terus nanti ibu bisa marah? Dan jika nanti mereka menanyaiku dan membongkar semuanya, Rania tidak akan memaafkanku. 

Ya Allah, berikanlah petunjukmu! 

Hari semakin sore dan aku masih belum beranjak juga dari sana. Entah, pikiranku melayang membayangkan bagaimana nasibnya saat tiba di rumah. Ibu dan Rania akan memarahiku pasti. Dan aku sangat meyakini itu. 

"Neng Milen," sapa seseorang. 

Jantungku mendadak berdegup kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Di kala hendak pergi dari tempat itu, seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku tak kuasa melihatnya ke belakang. Beribu macam pertanyaan dan rasa takut semakin menyelimuti hati ini. 

Langkahku terhenti, kemudian memberanikan diri membalikkan badan agar aku dan si pemilik suara ini saling berhadapan. Tidak sopan rasanya bila aku membelakangi lawan bicaraku. 

Dengan penuh percaya diri dan keyakinan yang kuat, aku pun menoleh dan mencoba tersenyum pada orang yang memanggilku. 

Seperti yang kuduga sebelumnya. Dia menatapku dengan tatapan aneh, kedua bola matanya terbuka lebar dan bibirnya yang merah merona ini menganga. Hum, sudah kuduga, ucapku dalam hati. 

"Bibi aya naon, panggil Milen?" tanyaku pada wanita tua ini. 

Viani adalah pangggilan ibu dan orang-orang kampung memanggilku Milen. Maka kalian semua jangan heran, ya! 

"Neng, eta wajah kamu teh kunaon? Kamu sakit atau kenapa? Astagfirullah," ucapnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan  menurutku. 

"Oh ini, enggak apa-apa kok. Hanya luka kecil aja, kemaren itu cuma gak sengaja kegores gitu," jawabku membual. 

Ya Allah, kenapa gara-gara lukaku ini para tetangga pada heboh? pikirku. 

"Kamu gak lagi berantem sama ibu atau adik kamu, kan? Bibi denger-denger soalnya ada yang bilang kamu hampir ditusuk, tapi malah kena pipinya. Neng, kalau ada masalah coba ceritakan!" balasnya menasehatiku. 

Tidak ingin berlama-lama berada di sana, khawatir nanti keberadaanku bersama Bibi itu akan mengundang banyak tetangga dan mereka tentu dengan segala kekepoannya akan menanyaiku. Maka, kuputuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. 

"Bi, maaf sebelumnya. Sepertinya Milen harus cepet pulang, karena ini udah sore juga terus ibu pasti nunggu belanjaan dari Milen, permisi!" 

"Tapi, Neng! Neng Milen, yah keburu pergi lagi. Padahal saya belum berhasil dapet info lagi, ini cocok ini buat jadi bahan gosip besok." 

Aku menggeleng, mendengar seruan Bibi itu. Kalian tahu enggak? Orang-orang di kampungku ini  suka sekali menggosip. Sekecil apa pun masalahnya, ketika kita bercerita kepada mereka ya sudah satu kampung bakal tahu masalah kalian. Di sini, kalian terutama aku harus bisa pinter-pinter memilih seseorang untuk dijadikan teman curhat. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya. 

***

Sesampainya tiba di depan rumah, aku melihat ibu datang dari arah dapur dengan kedua mata sayu seperti habis menangis. Dia melangkah ke arahku dan menanyakan memgapa diriku terlambat pulang. 

Kuceritakan semuanya pada ibu, setelah aku menyerahkan bungkusan plastik berisi bumbu balado dan setengah kilo minyak goreng. Beruntung, sore ini Rania belum pulang sehingga aku bisa dengan bebas menceritakan segalanya kepada ibu. 

Bagiku, ibu adalah surga dan tempat yang terbaik setelah Allah SWT kala ingin membagi kisah. 

"Apa? Jadi, gara-gara luka kamu ini tetangga pada heboh ngomongin kamu, Via? Terus kamu jawab apa, ibu harap kamu gak bilang apa-apa, Nak. Kalau tidak, Rania pasti marah besar, Sayang!" 

"Enggak, Bu. Via gak bilang apa-apa kok, meski tadi sebenerna teh bi Wening tanya. Ngedesek Via lagi," terangku pada ibu. 

"Hm, syukurlah, Nak. Sayang, Ibu harap kamu kuat, ya! Ibu berdoa semoga kamu nanti mendapatkan jodoh, seseorang yang mau menyayangimu, menerima apa adanya dengan segala kekurangan ini. Ibu yakin kamu bisa." 

Sentuhan hangat yang dia berikan untukku membuatku menitikkan air mata. Doa tulus darinya menjadikanku semakin bertambah semangat menjalani kehidupan menyakitkan ini. Lantaran waktu sudah hampir sore dan azan asar telah berkumandang di beberapa masjid. Gegas aku mengambil sapu dan menbersihkan seluruh ruangan hingga Rania datang nanti, dia tidak akan memarahiku karena rumah belum juga dibersihkan.

Dua jam sudah aku berhasil merapikan rumah bahkan mengepel lantai, kini saatnya mencuci piring. Namun, sebelum itu kuambil baju ganti dan handuk kesayanganku yang sudah tak robek bak lap pel. 

"Via!" panggil Ibu. 

"Iya, Bu. Kenapa lagi?" tanyaku sambil  menoleh padanya. 

"Kamu jangan dulu mandi deh, itu Rania udah pulang. Takutnya kalau kamu kelamaan di wc, dia marah lagi. Tau sendiri, kan gimana adikmu?" 

Kuembuskan napas perlahan, lalu melangkah ke depan melihat jam pukul berapa sekarang. Ternyata jam setengah lima lewat tiga puluh empat menit. Yah, kalau aku nunggu Rania mandi pastinya lama banget, gimana, ya? Mana hari ini belum nulis satu bab pun, keluhku. 

Setiap orang tentunya menginginkan kondisi kehidupannya baik-baik saja, tanpa ada masalah atau badai yang menerjang. Terkadang, di kala seseorang mengharap kebahagiaan Tuhan memberinya kesedihan. Begitu pun sebaliknya. Namun, percayalah di balik rasa sakitmu saat ini, kelak akan kau temukan kebahagiaannya. Percayalah. 

"Ran, mau mandi kapan? Ini udah jam lima lebih loh, kamu gak mau mandi?" tanyaku. 

Hening, tak ada jawaban. 

Kucoba sekali lagi untuk bertanya kapan dia akan mandi, daripada tidur selonjoran lihat-lihat notifikasi yang gak jelas, kan? Mending mandi. 

"Ra-Ran, ka-kapan kamu mau man." Mulutku tiba-tiba gagap, mendapati dia yang bangkit, kemudian mwnghampiriku. 

Du-duh, ini kumaha eh, Bu! Ibu tolong Via. 

"Jawab gue sekarang juga, Cacat! Apa lo ngadu sama tetangga kalau gue lukain pipi lo yang banyak jerawat ini? Hah? Jawab!" Teriakan cemprengnya berhasil membuat gendang telingaku hampir pecah. 

Aku bergeming, seluruh tubuhku kaku kala berhadapan dengan Rania. Sebenarnya aku bisa melawan Rania, tetapi kalau sampai aku melawan. Nantinya malah semakin kacau. 

"Ra-Ran, eng-enggak kok. Aku gak bilang ke siapa-siapa ini, asli. Mereka nanya pun, aku gak jawab," jawabku masih gagap. 

"Lo jangan bohong jadi orang, ya! Jangan mentang-mentang lo sekarang jadi seorang penulis, tukang ngayal, terus lo bisa bohong sama gue?" 

"Ran, sudah kubilang, kan sama kamu! Aku sama sekali gak bilang ke siapa-siapa, kamu nyakitin aku atau ibu sekali pun gak ada yang tau, plis hentikan ocehan ini. Aku mau mandi," ketusku seraya berniat hendak pergi. 

Kepergianku untuk ke toilet terhalang oleh Rania yang menarik paksa bajuku sampai robek. 

"Rania! Astaga, kamu ini kenapa sih jadi orang jahat banget, sadar, Ran!" 

Entah dari mana kekuatan ini datang, mendadak aku bisa membentak gadis itu hingga bibirnya tertutup. 

"Enggak mungkin ada asap kalau gak ada api, Via Cacat! Jadi lo jangan bohongin gue, paham! Sekali lagi lo bohong, gue akan bikin kepala lo botak gak ada rambutnya! Ancamnya. 

Plak … 

Satu tamparan keras melayang di pipinya dariku, aku tidak bisa menahannya lagi, berpura-pura diam menerima penyiksaan dari anak kecil sepertinya. 

Habis sudah kesabaranku mendengar kalimat Rania yang semakin hari semakin membabi buta. Dia tidak memedulikan siapa orang yang diajaknya bicara dan melupakan siapa dirinya sebenarnya. Terlahir dari keluarga biasa, apalagi ibu yang notabenenya guru ngaji di Kampung Ciganea seharusnya membuat Rania menyadari siapa dirinya. Dia tidak bisa harus terus menerus berlaga seperti orang berada. 

Ingin rasanya kuperlihatkan padanya di mana tempat dia. Namun, rasa iba dalam hatiku muncul setelah melihatnya mengeluarkaj bulir-bulir air di wajahnya. 

"Ra-Ran, maafin aku, ya. Aku gak ada niat buat nampar kamu tau, aku cuma bermaksud buat kamu sadar supaya. Kalau cara kamu bicara sama aku itu salah!" 

Sayangnya, peringatanku itu ternyata tak digubris. Dia mengusap air matanya, lalu menjambak rambutku keras-keras. Aku berteriak sekuat mungkin, berharap ibu segera datang dan menghentikan semuanya. 

"Emang lo pikir lo doang yang merasa benar, hah? Heh, Via! Gue tau lo kakak gue dan gue tau kalau lo ini anak sebapa sama gue. Cuma, gara-gara adanya lo di sini hidup gue jadi berantakan! Paham!" terangnya. 

Apa? Berantakan? Enggak salah bicara tuh? 

Apakah dia tidak menyadari jika kalimat yang baru saja dia ucapkan itu seharusnya aku yang mengatakannya. Bukan dia. Dia bilang hidupnya hancur, berantakan? Ya Tuhan. 

Selama ini diriku cukup bersabar atas apa yang keluarga ayah lakukan padaku. Ayah dan keluarga ayah yang saat ini entah di mana keberadaannya lebih menyayangi Rania dibandingkan aku, anak pertamanya. Dengan dia, seketika mereka melupakan keberadaanku ini. 

Namun, aku percaya pada takdir dan kekuasaan Tuhan dan Tuhan telah menuliskannya dalam Al-Quran. 

"Rania! Apa yang akan kamu lakukan sama kakak kamu, Via?" tanya Ibu. 

Bu, jangan mendekat, plis! 

"Rania, sadarlah, Ran! Kamu ini terpengaruh sama ucap—"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status