Share

Dia Ibumu Bukan Pembantumu
Dia Ibumu Bukan Pembantumu
Penulis: Feay Hullah

Part 01. Tak Tahan

“Bu, Ibu!” teriak seseorang memecah keheningan di malam hari.  “Tuli apa gimana sih? Dipanggil berpuluh-puluh kali kenapa gak jawab juga sih, Ibu!!”  lagi-lagi suara itu semakin jelas terdengar olehku. 

"Mana udah malem.  Jam udah setengah dua belas lebih seperempat, masih juga  teriak-teriak. Padahal aku baru  mau tidur. Huf, tubuhku sangat lelah. Sebaiknya aku periksa aja deh.”

Aku selalu mengurus rumah dan menulis. Meski begitu, aku tidak pernah sedikit pun mengeluh. Namun sepertinya kali ini, aku akan mengeluh jika sekali lagi mendengar suara teriakan adikku—Rania Astri Safitri. Ya, dia adikku. Setiap hari aku tak pernah lepas dari suara-suara cemprengnya, dia selalu memaki Ibu kapan pun dia mau. Parahnya lagi, Rania menganggap Ibu seperti seorang pembantu. Bayangkan saja, anak mana yang tega melihat ibunya sendiri diperlakukan tidak baik. Sedih, sakit hati, tentu. 

“Kenapa lagi, Rania?” tanyaku kepada Rania yang masih saja tidak merespon. Dia melewatiku begitu saja.

“Ibu! Buruan sini!” panggilnya lagi. 

“Rania! Bisa gak kamu bersikap lebih baik? Dia Ibu kita!” kataku tegas. Namun Rania masih saja tidak memedulikanku. Dia tetap memasang wajah kekesalan. Apa yang harus aku lakukan?

Aku, Viani Brinza Millenium, berjanji untuk selalu menjaga Ibu baik dalam keadaan apa pun. Aku rela mengalah pada adikku asalkan dia tidak lagi memaki-maki Ibu. Rasanya, ingin aku pergi dari dunia ini. Ingin rasanya diri ini menghilang untuk selamanya. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibu? 

"Lebih baik kembali ke kamar, sekarang juga. Gue  ada urusan dengan Ibu!” bentaknya sekali lagi sembari menunjukkan jemari tepat di wajahku yang masih bergeming.

“Rania, tolonglah. Jangan lakukan ini!" 

Ya Allah, hamba mohon kepada-Mu! Berikanlah ibu kekuatan atas semua cobaan yang menimpa dirinya, saat ini, esok dan nanti. Hamba mohon kepada-Mu, kuatkanlah hamba dalam menghadapi hal ini, lirihku dalam hati. 

"Lo mau pergi atau … jangan sampe gue berbuat kasar, ya! Sono pergi!” Dalam diam, aku berjalan memasuki kamarku. Aku merasa tertusuk melihat perlakuan adikku. Napas yang mulai sesak, aku atur dengan baik. Aku berjalan menuju kursi, dan duduk memikirkan cara mengatasi ini.

“Bruk!”

Saat itu juga, aku terperanjat bangun dari duduk. “Suara apa itu?” gumamku. Aku bergegas menuju pintu kamar dan mengamati ruangan. “Aku harap Rania tidak melakukan hal gila.”

“Argh …." 

Namun beberapa menit saja, samar-samar aku mendengar suara rintihan seseorang yang sepertinya terjatuh. Jantungku semakin berdegup kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku bergegas langsung menuju kamar depan, di mana Rania tidur di sana. 

“Aku harus cari tahu.”

Diam-diam aku mengintip siapa orang yang terjatuh, sontak aku terperanjat ketika melihat ibu telah berada di pojok lemari dengan kondisi tubuh tengkurap. Tangan kirinya dengan lemas menahan pinggangnya. “Ibu … kau …." 

Sungguh, aku sangat tidak terima melihat Ibu diperlakukan seperti itu di depan mataku sendiri. Namun, apa daya, diri ini tak dapat membantunya. Ada hal yang menyebabkan membiarkan Ibu disiksa oleh Rania. Entah kalian akan membenciku dengan sifat Ketidak Beranianku, apa pun itu aku tak masalah. 

Kurasakan bola mataku memanas. Mungkin jika melihat kaca, saat itu juga kedua mataku ini sudah terlihat berkaca-kaca. Aku hanya bisa menangis. Sedangkan Rania semakin gencar menyiksa Ibu. Meminta Ibu melakukan ini dan itu. Semua yang dilakukan Ibu tak pernah benar di matanya. Andaikan aku berani, ingin ku bungkam mulutnya, membalasnya balik. 

“Yang bener dong, Bu. Kaki kiri Rania sakit, itu tangan apa parutan kelapa sih, kasar bener? Kalau begini caranya, bisa-bisa kaki Rania berdarah!” bentaknya. 

“Maaf, Ran! Ibu enggak sengaja, Ibu ulangi lagi, ya. Maklum saja, Nak. Kan tangan ibu begini karena bekerja. Nanti jika sudah besar kamu—“ 

“Sudahlah Ibu. Sebaiknya  diam!”

Gadis itu menendang Ibu dengan kedua kakinya, hingga kepala Ibu terkena dinding. Jika aku berada di posisi ibu sekarang, sudah pasti menangis. Tetapi ibu? Beliau tetap tersenyum menanggapinya. Genggamanku pada gorden kamar Rania semakin kuat. Kepalaku rasanya hendak meledak, aku bingung harus apa. Di saat Rania menyuruh Ibu untuk membuatkannya teh hangat, cepat-cepat kumenyudahi semuanya. Kembali menuju kamar belakang dan berpura-pura tertidur. 

Malam semakin larut, rasa kantuk yang sedari tadi menyerangku sekarang berubah menjadi sebuah kekesalan. Pertama-tama aku kesal, karena tidak bisa membantu ibu. Kedua, bodohnya diri ini membiarkan Rania menyuruh-nyuruh ibu bak seorang pembantu. Dua hal yang sulit diubah.

|| Suatu saat kau akan menyesali atas perbuatanmu selama ini || 

"Lah, kek nya ada yang nangis deh. Apa itu ibu?" tanyaku pada diri sendiri. Lagi-lagi aku bangkit dan melepaskan selimutku, kemudian mengintip dari balik gorden kamarku.

Ternyata dugaanku benar. Ibu menangis sambil mengisi gelas dengan air putih. Akan tetapi, perasaanku tak enak saat melihat gelas yang tengah diisi air olehnya meleber ke mana-mana. Mel8hat hal itu, aku langsung bangkit dan mendekatinya. 

"Ibu kenapa?" tanyaku seraya menyingkirkan gelas yang penuh itu. "Via liat dari tadi Ibu ngelamun gitu. Ada apa? Ibu bisa cerita sama Via, Bu!" 

Kucoba membersihkan bekas air panas, kemudian memberikannya kepada Rania. Sayangnya, Ibu menolaknya. Ibu tidak membiarkanku memberikan air itu pada Rania. Ibu menginginkan dia sendiri yang menyerahkannya. 

Sama halnya dengan Ibu. Yang keras kepala tidak mau berbagi kisah, aku juga tetap tidak memberikan gelas ini. Pikiranki adalah, mau Rania marah sekali pun aku tidak peduli. Marah saja sama aku, tapi jangan pada Ibu! ucapku dalam hati. 

Ibu tidak juga menjawab pertanyaanku. Dia memintaku segera menyerahkan gelas yang tengah kugenggam. Namun lagi-lagi aku menolak. 

"Sekali lagi Ibu minta ini, Via tidak mau menyerahkannya. Via mau Ibu cerita dulu, jawab pertanyaan Via, Bu!" lirihku memohon seraya mengusap bulir-bulir air mata Ibu. 

Ibu mengembuskan napasnya pelan, "Sayang. Ibu enggak apa-apa, ya. Kamu teh gak usah khawatir. Sebaiknya tidur sana, udah malem." 

"Via baru akan tidur setelah mendengar jawaban dari Ibu. Tapi, tunggu! Biar Via berikan gelas ini sama Rania, ya," kataku. 

Aku berniat meninggalkan Ibu seorang diri di dapur dan melangkah menuju ke kamar Rania. Aku juga mendengar Ibu berteriak meminta supaya tidak mendekati kamar adik perempuanku. Akan tetapi, sekali lagi aku mengabaikan teriakannya. 

Memangnya ada yang salah kalau kakak sendiri temui adiknya di kamar. Tidak, kan! pikirku. 

Sebelum mendekati kamar Rania, kurasakan tanganku ditarik hingga tanpa sadar aku kembali ke dapur. Uh, buat kaget aja

Saat ini jarak antara aku dan Ibu semakin dekat. Aku sengaja melakukan itu, kuingin melihat wajah Ibu dari jarak dekat. Aku heran, mengapa ibu selalu bersikap manis terhadapku ketika kutanya seputar apakah Rania menyakiti ibu atau apakah Rania menyiksa ibu? Jawabannya adalah, “Itu siksaan kasih sayang.” 

"Bu! Apa Ibu masih juga akan diam?" tanyaku. 

Tak lama kemudian, kurasakan seseorang berjalan mendekat ke arah kami. Aku meyakini bahwa itu adalah derap langkah Rania. Ah, pasti dia bakal marah-marah lagi deh. Perbincangan kami terhenti, kala Rania mengambil gelas yang ada dalam genggamanku. Matanya melotot menatap tajam kepadaku dan Ibu, menit setelahnya gadis bengis tak tahu malu menyiram teh tersebut hampir tepat mengenai wajah Ibu. Namun,  kusingkirkan Ibu hingga tumpahan teh panas itu mengenai wajah dan tanganku. Aku berteriak sekencang-kencangnya, tetapi setelah itu teriakanku kuhentikan. 

"Rania! Kamu apa-apaan sih, Nak? Kenapa kamu malah nyiram kakak kamu sendiri dengan air panas itu? Bagaimana kalau nanti kulitnya melepuh?” Ibu meniupi tanganku dan mengusap wajahku oleh kain yang telah didinginkan. 

“Bodo amat! Enggak peduli. Rasain ... itu akibatnya karena Ibu lalai melakukan perintahku!” bentaknya. 

“Dasar adik kurang ajar kamu, Ran!” umpatku. 

***

Azan subuh berkumandang di beberapa masjid di desa kami, udara dingin menyeruak hingga ke pori-pori. Terpaksa membuka mata pelan-pelan, menatap langit-langit kamarku yang sudah beberapa hari ini belum sempat dibersihkan. Et lis, kalian tahu bagaimana bentuknya. Yang pasti banyaknya sarang laba-laba, tumpukan debu dan kotoran tikus bersarang di setiap penjuru ruangan itu. Tidak hanya itu, apakah kalian tahu? Aku tidur di tempat dan dalam keadaan bagaimana? 

"Huft, gak kerasa udah azan aja," gumamku sambil menguap. 

Ruangan super kecil dengan banyaknya perabotan rumah, lemari panjang berada di sudut kananku, dan di atasnya banyak pakaian berserakan. Padahal, sudah dibersihkan setiap pagi, tetapi nyatanya semua kembali berantakan. 

Tubuhku lunglai, kakiku tak mampu lagi untuk berdiri dan menatap dunia penuh kekejaman ini. Bukan dunia yang kejam, melainkan adanya Rania dalam kehidupan aku dan ibu. Tak sengaja saat tengah membasuh wajah untuk berwudu, pipiku perih, sakit rasanya. 

Enggak, Via. Kamu harus kuat! Jangan pernah sekalipun mengeluh, walau sesungguhnya kamu tak tahan. Viani kuat, Viani Brinza Milenium anak yang kuat!  bisikku menguatkan diri sendiri. 

Selesai mengambil air wudu, aku langsung menunaikan ibadah salat subuh. Seperti biasa, setelah salat aku tidak pernah tidur kembali. Kebiasaan buruk yang selama 20 tahun kulakukan kini telah ku ubah, aku tidak ingin terus larut dalam kebiasaan itu. 

Aku berjanji, nanti sebelum dia pergi sekolah. Coba nasihati dia, semoga aja dengan aku kasih nasihat pelan-pelan Rania akan mengerti. 

Mulai dari ruang tengah, kamar-kamar, semua telah ku bersihkan. Tinggal mencuci piring dan mencuci pakaian. 30 menit untuk aku menyelesaikan semuanya. Sedangkan, ibu sibuk memasak di dapur dan Rania? Hum, jangan kalian tanya lah. Gadis itu masih asik dalam mimpi, pukul setengah tujuh barulah dia akan bangun. Kalau hari libur, jam sembilan pagi. 

"Em … kenapa pakaian Rania banyak nodanya, ya? Padahal sabun dah hampir habis setengahnya. Huh," lirihku. 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih seperempat, Rania telah selesai mengganti pakaiannya dan siap berangkat ke sekolah. Sebelum membiarkannya pergi, aku berniat mengajaknya berbicara berdua tanpa sepengetahuan ibu. Rencanaku untuk menceramahi Rania akan gagal jika ibu ikut campur. 

Satu ... 

Dua ...

Bismillah, mudah-mudahan Rania mau mendengarkanku, aaamin, kataku. 

“Ran, tunggu! Aku mau bicara dulu sama kamu,” ucapku memberanikan diri memanggilnya, saat dia sedang memakai sepatu. 

Dia tak menjawab seruanku, sialnya lebih tepat Rania langsung pergi dari hadapanku. Akan tetapi, bukan Viani Brinza Milenium jika tak bikin Rania bergeming. 

“Lo mau apaan sih? Gue dah telat nih ke sekolah!” ketus Rania. 

“Astagfirullah. Sejak kapan bahasamu jadi lo gue kek gitu? Memangnya hidup di Jakarta? Inget, kamu siapa!” 

“Lo datang cuma mau ceramahi gue? Mending pergi aja deh! Malu. Kalau sampe rang tau gue punya kakak cacat macam lo!” hinanya. 

Perasaanku hancur, perih, kecewa. Semua itu bercampur menjadi satu, pertahananku mulai runtuh kala dia mengatakan kalimat itu. Apakah dia gak sadar, kalau aku begini itu semua karena ulahnya. Kulit pipi melepuh karena siraman air panas darinya. 

“Dah lah, sebaiknya lo pergi sekarang juga atau kalau tidak—“

“Kalau tidak apa, Ran? Aku mohon sama kamu untuk jangan pernah menyuruh-nyuruh ibu, meminta ibu melakukan segala permintaan konyol mu itu." Kupegang tangannya supaya dia tidak kabur seenaknya. "Rania, aku mohon sadar. Sebelum penyesalan lebih dulu datang menghampirimu. Dia ibumu, bukan pembantumu, Rania!” 

Seketika suasana menjadi hening, angin sepoi-sepoi berembus membuat handuk—penutup kepala ku sedikit terangkat. Sinar mentari di pagi itu terlihat sangat cerah, lebih cerah dibandingkan perasaanku saat ini. Rania melepaskan genggaman tangannya, dia semakin murka kepadaku. Beberapa warga yang melihat pertengkaranku hanya menatap kami dengan tatapan biasa saja. Sungguh menyedihkan sekali rasanya. Seperti sakit tidak berdarah. 

“Rania, aku mohon! Dengerin aku sekali ini aja, ini semua demi kamu, ibu dan semuanya.” 

Buk ...

Dia mendorongku dengan keras, membuat kakiku tersandung.  Dia mengancam, memaki-maki bahkan tak segan-segan menarik rambutku sampai handuk pun jatuh ke tanah. 

“Lo gak usah jadi kakak yang sok perhatian deh sama gue! Hm, lo tahu? Lo gak lebih dari sekedar sampah yang dipungut di jalanan sama wanita tua yang—" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status