Setiba di rumah.
"Yang. Mending kamu makan dulu deh, takut sakit. Biar aku yang cari adek kamu," katanya.
Sudah tiga hari Jo berada di kampungku, tetapi dia memginap di rumah pamannya di Tasik kota. Dia selalu membantuku dalam hal kesulitan apapun. Dia rela melakukan hal berat dwmi membantuku. Ya. Seperti sekarang ini. Mencari Rania yang entah di mana sekarang keberadaannya.
Meski aku tahu, terkadang aku hampir melupakan kesehatanku sendiri hanya demi Rania. Akan tetapi, kehilangannya jauh lebih menyakitkan dibanding luka yang kuterima selama ini. Diana dan Marcel saja belum ditemukan. Sekarang, Rania kabur dari penjara.
Mungkin, orang akan beranggapan bahwa aku adalah gadis bodoh yang selalu
Mentari bersinar sangat terang, pagi ini terasa ada yang berbeda dari sebelumnya. Suara ayam berkokok sangat nyaring dan terdengar lembut bagiku meski semakin lama semakin banyak ayam yang berkokok. Ya. Di rumahku Ibu memelihara begitu banyak ayam, tapi satu pun aku enggan untuk mengurusnya.Alhasil Ibu lagi yang terus mengurusnya.Ketika aku dan Jo sedangenikmati suasana pagi di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan yang indah. Mataku tertuju pada sebuah kemdaraan beroda dua yang memasuki pekarangan rumahku. Siapa dia? Dari bentuk pakaiannya, dia bukan seperti manusia pada umumnya."Yang. Liat itu deh!" Aku meminta Jo dan menunjukkan tanganku ke arah depan rumah."Bukannya itu bapak kam
"Buat apa maneh mempertahankan wanita yang jelas-jelas cacat seperti dia? Mending jadiin tumbal, mati-mati sekalian!" sungut si Pemuda itu.Perkataannya mepebihi petir yang menggelegar di siang bolong. Aku mencari akan supaya terlepas dari cengkraman tangannya. Tak tahu mengapa, antara tanganku dengan tangan si pemuda bertubuh sama-sama agak kurus seperti Bapak ini terasa seperti sudah terkena lem. Sulit untuk dilepaskan."Tante Mama," gumam Jo.Tante Mama adalah sebutan Jo untuk Ibu. Semenjak kami berpacaran dia selalu memanggil Ibu dengan sebutan seperti tadi. Aku menoleh padanya, lantaran penasaran dengan tingkahnya yang tiba-tiba menyebut Tante Mama. Mungkinkah Ibu su
Dua minggu kemudian …Tepat pada tanggal 22 Oktober 2019, aku bersama Jo memutuskan untuk menemui Kiai atau bisa di sebut sesepuh di kampungku. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehku, tapi detik ini juga, di malam hari kami langsung pergi ke sana tanpa sepengetahuan ibu."Pak! Mohon maaf pisan, kalau kedatangan kami teh ke sini mengganggu waktu Bapak sekeluarga," ucapku, sebelum pada inti dari percakapan kami.Bersyukur Kiai itu sangat ramah, sehingga dia menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka. "Tidak apa-apa, Nak Via. Boleh Bapak tau ada apa, Nak Via malam-malam ke sini?" tanya
"Rania, Rania! Kamu sadar, Nak!" seru Ibu."Yang, liatin ibu gih! Dia kenapa?" titahku pada Jo.Malam itu aku belum bisa untuk terbangun, seluruh tubuhku lunglai, lemah tak berdaya. Aku bisa berdiri, tapi dengan bantuan orang lain. Jo, misalnya.Dia menurutiku, berdiri lalu beranjak beberapa langkah menuju kamar Rania. Aku tidak tahu apa yang dilihat oleh Jo, hanya saja samar-samar ku dengar seperti ada perdebatan di dalam ruangan kecil itu.Duh, kok aku jadi penasaran, ya? Apa bangun aja, tapi lemes banget, gusti, batinku.Orang-orang yang semula mengerumuni termasuk Kiai Aris lambat laun me
Keberangkatan Jo harus tertunda lagi, sehingga dia memutuskan untuk dini hari saja pulang ke Surabaya.Senja telah berlalu dan usai melaksanakan salat magrib berjamaah di ruang tengah. Samar-samar aku mendengar suara anak gadis menangis. Pikiranku membuyar, aku menyudahi mengaji lalu beranjak keluar melihat keadaan di kamar depan."Siapa yang nangis, ya? Jo di mana dia?" tanyaku seorang diri.Aku mengangkat bawahan mukenaku, lantaran kesulitan berjalan kaki. Bagiku tidak masalah sih, selama tidak buka-bukaan di depan lelaki yang bukan muhrim. Lagian aku memakai celana panjang. So, tidak ada masalah bukan?D
|| Aku tak melihat dia dari rupanya. Yang membuatku bertahan adalah sikap dan hatinya. Kelembutan hatinya yang memutuskanku untuk tetap berada di dekatmu ||Sebuah mobil melaju sangat kencang, kemudian berhenti tepat di depanku. Mataku terbuka lebar saat menemukan si pemilik mobil tak lain adalah Jo, kekasihku. Sebelum bertanya kepadanya mengapa dia masih berada di sini, aku menoleh ke samping. Kebetulan di tempat Bu Sarijah ada jam dinding kecil yang terpajang di meja dekat tempat gorengan."Jam setengah tujuh. Bukannya dia harus dah pergi lima jam lalu? Kenapa ada di sini?" tanyaku setengah memelankan suara, supaya mereka tidak mendengarku."Hei," sapanya seraya menjentikkan jari.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih indah selain dia yang masih ingin tetap bersamaku. Aku bahagia sekaligus senang tak terkira, kala dia mengatakan memilih untuk tinggal di sini dulu selama ayah bundanya belum datang.Kebahagiaan itu siang ini berganti menjadi sebuah malapetaka untuk keluarga kami. Dua bulan saudara perempuanku, bernama Diana menghilang dan Aa iparku mencarinya. Hari ini jam sebelas, di tanggal 17 Mei 2018. Beberapa polisi datang ke rumah kami.'Jo di mana, ya? Apa dia belum datang atau masih tidur?' pikirku mencari-carinya di tengah para polisi yang tengah berjalan menuju ke rumahku.Seperti sudah menjadi hal yang lumrah, tiap kali, tiap detik para warga selalu saja ada yang berkerumun di depan rumahku. Entah itu untuk bertemu ibu atau sekedar duduk-dud
Setiba di Polres Tasikmalaya, aku dan Jo memapah Ibu hingga masuk ke ruang tunggu. Pak sipir memberitahu kepada Diana bahwa kami datang untuk menjenguknya. Perasaanku hancur berkeping-keping saat kulihat Ibu terus menyebut nama Diana. Seakan-akan dalam hidupnya hanya ada Diana seorang, tidak aku atau Rania sekalipun."Bu! Itu Diana," ucapku seraya menunjuk ke arah dimana Diana datang bersama bu Polisi.Sungguh malang melihat nasibnya yang sekarang mendekam dibalik jeruji besi. Dengan kondisi pucat seperti sudah setahun lebih tidak dirawat. Begitu melihat Diana yang berjalan mengarah ke kami, Ibu berlari memeluknya. Sementara aku dan Jo berdiri bersamaan."Aargh!" jerit Ibu mengaduh kesakitan.Aku menutup mulutku den