Dari rumah ibu aku pun segera pergi ke kantor dan bekerja seperti biasanya meski sudah telat sedikit.Pukul 5 sore sepulang aku kerja, Ranti, Bunda dan Ayah sudah ada di kontrakan lagi. Mereka tengah dengan serius mengobrol sambil memakan rujak dan minuman dingin."Sini, Bang," kata Ranti.Aku pun ikut menimbrung."Bang kita udah dapat rumah baru dong." Ranti memberi kabar dengan wajah berseri-seri."Oh ya? Kok bisa?""Bisa dong dibantu broker rumah yang biasa kerja di Ayah, langsung sat sit set dapet. Ranti yakin Abang bakal cocok, karena rumahnya ada di perumahan mewah dan berkelas."Aku mengernyitkan dahi, sedikit tak paham soal broker rumah yang biasa kerja pada Ayah, maksudnya gimana? Tapi ah ya sudahlah yang penting Ranti senang, ia sudah dapatkan rumah sesuai yang ia mau."Rumahnya masih dalam tahap pembangunan sebulan lagi kita tengok lah, Bang," katanya lagi."Siap, Bos.""Oh ya pada tahu gak?" Aku bicara lagi.Mereka yang tengah berkumpul menoleh."Apa, Bang?""Toko ibu mau
"300 juta bukan uang sedikit tentunya. Saya ragu apa isi rekeningmu mencapai 300 juta," katanya nyaris merendahkan ayah.Aku menggebrak meja lagi."Jangan bicara begitu pada Ayah saya."Ayah menahan dadaku agar tak semakin liar."Oke oke baik, kalem saja anak muda, sebentar." Pria itu bangkit dan mengambil sertifikat toko dari kamarnya."Itu kan yang kalian maksud?" Dilemparkannya sertifikat itu kemudian ke atas meja.Segera kuambil dan kubaca dengan teliti."Benar, ini sertifikatnya, Yah." "Oke ambilkan saya kwitansi dan nomor rekening Anda," kata Ayah lagi.Pria itu kembali masuk untuk kedua kalinya."Sudah saya transfer 300 juta," ucap Ayah saat Pak Hanapi sudah duduk di sofa bersama kami lagi."Oke!" Pak Hanapi segera membuat kwitansi penebusan sertifikat itu."Atas nama siapa?" tanyanya."Ridho, Ridho Semesta," jawab Ayah mantap.Aku yang sedikit kaget hanya bisa mengatupkan bibir."Kenapa Ayah gak tulis nama Ayah aja?" "Biarlah, kwitansi ini nanti untuk ditunjukan juga pada i
Ranti mengatur napas sebisa mungkin saat ia sudah duduk di sebelahku.Aku tahu bagaimana perasaannya sekarang. Makanya tadi aku lebih memilih banyak diam, kubiarkan Ranti menumpahkan rasa kesalnya pada ibu.Selama ini Ranti sudah berusaha jadi menantu yang baik, tapi selalu saja salah di mata ibu alih-alih Ranti diterima."Kamu gak apa-apa Ran?" tanyaku akhirnya."Ranti tuh kesel sama ibu, kenapa sih ibu gak pernah mau nerima Ranti hanya karena latar belakang Ranti orang desa? Padahal kalau Ranti mau, Ranti bisa aja ceritakan semua yang Ranti punya.""Sabar Ran, sabar."Ranti mendengus kesal di bangkunya. Aku sendiri sampai merasa bersalah dan tak enak hati dengan perilaku ibuku yang tak kunjung beres dari dulu itu.***Hari-hari pun berlalu.Walau sudah banyak sekali pertengkaran antara ibu dan kami, tapi kami tetap menghormati beliau sebagaimana mestinya.Hari ini kami berniat ke rumah ibu lagi untuk mengambil kunci yang beberapa hari lalu belum berhasil kami ambil."Bang, kira-kir
Ibu menelan ludah. Jika biasanya ibu langsung meletuskan bom molotopnya saat beliau marah, kini mulut ibu tampak kelu terkunci."Jadi gimana, Bu? Ibu mau tetep jaga toko itu atau enggak?" tanya Ranti lagi.Ibu yang masih bimbang memutuskan makin terlihat cemas sebab terus saja didesak oleh Ranti."Ya udah," ucap beliau akhirnya dengan mata mengerling tajam."Ya udah apa?""Ibu yang jaga," jawabnya ketus sambil sekuat tenaga ibu menahan agar mulutnya itu tak lagi memaki Ranti.Ranti menjebikan bibir sedikit. "Bagus kalau gitu, lagian kan kata Ibu, Ibu gak biasa hanya diam di rumah, jadi biar Ibu tetap ada kegiatan Ibu bisa jagain toko kami."Ibu terlihat makin murka. Tapi lagi-lagi ia tak bisa apa-apa selain menahan diri agak tak terjadi perdebatan lagi dengan Ranti.Aku cekikikan dalam hati.Yakin deh nih pasti ibu lagi mikir gimana caranya terbiasa bersikap manis pada kami, agar ibu bisa merebut hati Ranti dan memperbaiki namanya di depan kami.Wah wah benar apa kata ayah mertua, ua
Aku tak langsung percaya. Bagaimana kalau ini hanya akal-akalan ibu saja? Bukan maksud suudzon sama ibu sendiri, tapi kelakuan ibuku memang begitu, tak jauh dari sifat bohong dan suka menilep uang.Ranti di sampingku sama, ia pun tampak biasa saja meski ibu sedang tampak sangat bersedih."Udahlah beresin aja semuanya beresin," kata Ranti.Akhirnya hari itu aku kembali tidak masuk kerja karena harus mengurus toko yang masih berantakan.Ranti pun sama, ia ikut membantu membereskan semuanya bersama ibu._Pukul 12 siang semuanya sudah selesai, aku dan ibu istirahat di depan toko sambil membicarakan berapa jumlah taksiran barang modal yang hilang."Kayaknya ini mencapai 30 juta, barang hilang rokok utamanya, pada dirusak pula," kata Ibu.Dadaku langsung kembang kempis. 30 juta modal hilang. Tapi anehnya kenapa para pencuri itu harus merusak barang kami yang lainnya? Kenapa gak diambil aja semuanya?Beras, minyak, gula, terigu, sabun dan lainnya semua dirusak tanpa alasan.Kalau logika se
"Apa? Jadi kau pelakunya? Kau yang sudah merusak toko itu? Iya? Begitu?" Ibu mencecar."Iya!!! Memang Haris, kenapa?" Mas Haris berteriak.Aku dan Ranti saling melirik dengan sedikit menganga. Tak kusangka ternyata Mas Haris adalah pelakunya, astagfirullah manusia macam apa itu?Aku tahu pasti dia sedang marah dan kecewa pada ibu karena istrinya dibawa ke kantor polisi, tapi apa perlu dia marah lalu melampiaskannya pada barang-barang yang tak punya salah?"Anak bia*ab! Gak tahu rasa terimakasih sedikitpun. Maksudmu apa merusak toko itu Hah? Setelah istrimu menjaminkan sertifikatnya sekarang kamu juga merusak isinya. Hwah hebat, memang hebat.""Jadi maksudmu apa? Maksudmu merusak toko itu apa Haris? Apa??Jelaskan!!" desak Ibu lagi."Ibu mau tahu alasannya? Alasannya karena Haris marah dan kecewa sama Ibu. Sedikit saja kami berbuat salah Ibu sudah main jebloskan saja istri Haris ke dalam penjara, padahal selama ini kami selalu menuruti apa kata Ibu.""Dasar anak durhaka!!" Suara Ibu ma
Ibu menoleh."Loh ini emas Ibu," kata beliau kemudian seraya mengambil emas itu dari tanganku. "Kurang ajar si Kania, selain nyuri sertifikat ternyata dia juga nyuri emasku. Apa jangan-jangan dia ambil semuanya? Gawat." Ibu bergegas masuk ke dalam kamarnya.Aku dan Ranti mengekor setengah kepo.Di kamarnya ibu buru-buru membuka lemari dan mengeluarkan semua tempat perhiasan miliknya.Gila kupikir ibu hanya punya satu tempat perhiasan, tahunya ada banyak tempat perhiasan sampai bertumpuk beliau keluarkan.Aku dan Ranti sampai melongo dengan alis terangkat."Hah kemana emasku? Kemana ini? Kemana yang ini? Kemana yang di sini?" Ibu mulai panik, dibukanya satu persatu tempat perhiasan yang sudah kosong melompong itu di atas kasurnya."Kania ... kamu bener-bener ular, ular berkepala manusia yang sudah nyuri di rumahku, awas saja kau Kania." Wajah Ibu tampak murka. Merah seperti bara api.Sementara aku berusaha menahan tawa, kuingat dengan bangganya ibu pamerkan semua emas saat akan tahlil
"Gini ya Abang sayang, kontrakan ini tuh kontrakan Ranti, warisan dari nenek pihak bunda. Sebetulnya diwariskan untuk Ranti dan A Hasjun tapi A Hasjun bilang semuanya buat Ranti aja karena A Hasjun cowok dia bisa kerja keras sendiri."Keningku mengernyit menanggapinya."Serius? Kok Abang baru tahu?""Ishh ya serius atuh Bang, emang selama ini Ranti pernah bayar kontrakan?"Waduh, iya juga sih selama kami tinggal di sini emang Ranti gak pernah terlihat bayar kontrakan.Ouh pantes aja dulu pas pertamakali pindah ke sini ada tetangga nyapa kayak udah kenal banget sama Ranti."Pantesan gaji sedikit tapi selalu cukup Ran.""Itu lah alesannya, karena Ranti gak pernah bayar kontrakan, mau bayar gimana? Ini kontrakan Ranti haha." Ranti terbahak-bahak menertawakanku."Eh tapi kenapa semua orang harus bayar ke Pak Sugih? Jadinya kan Abang ngira ini kontrakan milik dia," tanyaku lagi."Sejak dikelola sama nenek dan kakek kontrakan ini emang dirawat sama Pak Sugih Bang, dulu nenek dan kakek tingg