“Kamu bisa bantu Aku?” Fiolina sedikit terkejut dengan tawaran Almara.
Memang, Almara berniat menjodohkan Rangga dan Fiolina agar di masa ini Rangga tidak jatuh cinta kepadanya. Jika Almara berhasil membuat Rangga jatuh cinta kepada wanita lain, maka itu akan sedikit mengurangi rasa bersalah yang Almara rasakan.
“Ya, mungkin Aku bisa coba. Aku agak ahli dalam menjodohkan pasangan,” Almara sebetulnya sama sekali belum pernah menjadi Mak Comblang. Namun, Almara cukup percaya diri. Dulu dia berhasil membuat Rangga jatuh cinta kepadanya, mungkin tidak akan sulit untuk membuat Rangga jatuh cinta kepada Fiolina. Dia hanya perlu mengingat hal apa saja yang membuat Rangga menyukainya.
“Hm ... Kamu pasti ahli dalam memahami laki – laki ya. Buktinya Kamu bisa mendapatkan Ardan.”
“Ah gak juga. Tapi bukannya layak dicoba ? Nanti Kita akan atur gimana caranya supaya Kamu bisa mendapatkan hati Rangga. Kamu percaya aja sama Aku,” Almara mengedipkan matanya dengan nakal kepada Fiolina.
“Oke siap,” Fiolina tersenyum bahagia. “Terimakasih ya, itu kita bicarakan lagi nanti, sekarang kita bahas bisnis kita dulu.”
Hampir 3 jam Almara dan Fiolina membicarakan perihal kerjasama bisnis mereka. Pada intinya, Almara dan Yoan membantu membuat kampanye peluncuran brand fashion milik Fiolina dan temannya. Fiolina sudah menjelaskan konsep yang dia inginkan. Selanjutnya Almara akan mengembangkan ide bersama Yoan.
Setelah membicarakan urusan pekerjaan, Almara dan Fiolina mengobrol ringan sebentar sebelum memutuskan untuk pulang.
Selama perjalanan ke rumah kosnya, Almara berpikir keras bagaimana cara menjodohkan Rangga dan Fiolina. Namun bodohnya, Almara tidak bisa mengingat dan memahami apa yang membuat Rangga tertarik padanya. Almara mencoba mengingat kebiasaan Rangga, makanan kesukaannya atau hobinya, namun Almara tetap tidak ingat. Almara mulai merasa menjadi istri yang sangat buruk. Mungkin dia begitu tidak peduli kepada suaminya sehingga dia tidak bisa mengingat kebiasaannya.
Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, ponsel Almara berdering. Dia menerima telepon dari Ardan.
“Sayang, yuk temani aku makan malam. Seharian ini Kamu super sibuk di kampus, lalu Kamu ketemu klien, sampai Kamu gak ada waktu buat Aku,” suara rajukan Ardan terdengar dari dalam ponsel.
“Oke, Kamu jemput aku di kos ya.”
“Aku sudah di depan kos Kamu,”
Almara berjalan ke jendela kamarnya yang berada di lantai dua dan melihat mobil Ardan memang sudah di depan gerbang rumah kosnya. Ardan bersandar di kap mobilnya sambil memegang setangkai mawar merah. Dia mengenakan kaos abu – abu muda dengan jaket semi parasut berwarna hijau limau yang tidak dikancingkan. Perpaduan dengan celana jins membuat penampilan Ardan terlihat casual namun romantis.
Ardan menatap ke arah jendela kamar Almara dan mendapati bahwa Almara juga sedang menatapnya. Ardan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Dia membuat bentuk hati dengan jari – jari tangannya dan mengucapkan kata ‘I Love You’ tanpa mengeluarkan suara.
Almara tersenyum. Dia merasa agak familiar dengan momen ini. Lalu dia teringat bahwa dulu Rangga pernah melakukan tindakan serupa. Saat itu Almara yang berusia 25 tahun sedang berada di rumah sakit pasca keracunan makanan. Seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Almara memasak ikan buntal dengan tidak benar. Kondisi Almara saat itu sangat kritis, namun beruntung nyawanya berhasil terselamatkan.
Saat Almara sedang dilanda kebosanan karena terlalu lama menghabiskan waktu di rumah sakit, seorang perawat masuk ke kamar Almara dan memberinya sebuah bouquet bunga.
“Nona Almara, barusan ada kurir yang menitipkan bunga ini untuk Anda,” terang perawat itu.
“Oh iya Suster, terimakasih,” Almara menerima bunga itu dan melihat ada sebuah kartu ucapan di atasnya. Setelah dibuka, Almara tidak menemukan nama siapapun tertulis pada kartu itu. Dia hanya membaca sebuah pesan yang berbunyi ‘Jika Kamu bosan, coba lihat ke luar jendela’
Didorong oleh rasa penasaran, Almara berjalan menuju jendela kamarnya. Kamar Almara berada di lantai lima rumah sakit. Dari tempatnya berdiri Almara bisa melihat Rangga bersandar di kap mobilnya. Kali ini Rangga membawa Porche putih yang jarang dia gunakan. Biasanya Rangga ke kantor hanya mengendarai Audi A8 miliknya.
Rangga mengenakan kaos putih polos tanpa kerah dengan setelan jas minimalis modern berwarna abu –abu. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Saat melihat Almara menatapnya dari balik jendela, Rangga melambaikan satu tangannya sambil tersenyum manis ke arah Almara.
Rangga lalu melambaikan dan menunjuk ponselnya sendiri. Almara memahami maksud Rangga, dia meraih ponselnya lalu melihat ada pesan dari Rangga.
[Hari ini Aku sengaja membawa “kuda” putih, apa Aku sudah seperti pangeran dan cukup layak menyelamatkan Tuan Puteri dari menara?]
Almara kembali mendekati jendela, namun hanya mobil Rangga yang terlihat, sedangkan Rangga entah pergi kemana. Satu menit kemudian pintu kamar diketuk lalu Rangga melangkah masuk.
“Lho, Kamu kok bisa masuk? Ini kan di luar jam besuk,” Almara terkejut ternyata Rangga sudah sampai di kamarnya.
“Hm ... Mungkin karena rumah sakit ini adalah milikku,” Rangga dengan entengnya menjawab sambil tersenyum dan mengangkat kedua alisnya.
“Hm... Aku lupa kamu orang kaya. Jadi kamu tidak hanya punya perusahaan namun juga punya rumah sakit, mall, bandara dan lain-lain.”
“Ha Ha Ha,” Rangga terbahak mendengar pernyataan Almara. Mana mungkin dia punya bandara.
“Aku cuma punya satu perusahaan dan rumah sakit ini aja kok. Aku gak punya mall apalagi bandara,” Rangga menjelaskan dengan sabar lalu melanjutkan, ”Kamu bosan kan? Mau jalan – jalan? Kita bisa keliling taman rumah sakit ini daripada Kamu terus – terusan di kamar.”
“Oke,” Almara setuju.
Rangga mengambil kursi roda di sudut ruangan untuk Almara gunakan lalu mereka berdua keluar menuju taman rumah sakit.
“Gimana Kamu bisa tahu kalau Aku bosan?” tanya Almara dalam perjalanan menuju taman.
“Bukannya kamu sudah terima bunga dari Aku? Aku bilang kalau Kamu bosan kamu bisa melihat ke luar jendela. Dan kamu benar – benar lihat ke luar jendela, artinya kamu memang bosan. Iya kan?” terang Rangga.
“Tapi Kamu gak mencantumkan nama disitu. Gimana kalau seandainya Aku gak buru – buru melihat ke luar jendela?”
“Aku akan tunggu,” jawab Rangga
“Kalau lama?”
“Gak masalah lama, aku punya banyak waktu,”
“Kalau ternyata Aku gak pernah melihat ke luar jendela sampai Aku pulang?” Almara masih terus menanyai Rangga.
“Gak masalah. Berarti bagus karena kamu gak bosan. Aku Cuma khawatir Kamu terlalu bosan dan jadi gak semangat,” Almara akhirnya tidak bertanya lebih lanjut.
Saat mereka sampai di taman, Rangga duduk di salah satu kursi taman. Dia menggeser kursi roda Almara agar berhadapan dengan dirinya. Rangga membelai lembut rambut Almara lalu berkata, “Aku cuma mau Kamu tahu, bahwa Aku akan selalu ada buat Kamu. Saat Kamu bosan, sedih, sakit, senang, butuh teman, ataupun sedang ingin sendiri, Aku tetap ada buat Kamu.”
Almara hanya bisa tersenyum. Dulu dia melihat seorang lelaki baik seperti Rangga mengejarnya, dan dia menerima Rangga menjadi kekasihnya hanya agar bisa cepat melupakan Ardan. Tapi hingga detik ini, dia belum juga bisa melupakan Ardan. Dalam hatinya ada kebimbangan, bisakah dia terus melanjutkan hubungannya dengan Rangga padahal hatinya untuk orang lain?
“Oya, karena Kamu bosan, gimana kalau Kita nonton pesta kembang api?”
“Tapi aku masih pasien dan belum boleh kemana- mana,” sahut Almara.
“Kalau gitu kita gak perlu kemana- mana,” Rangga memutar kursi roda Almara dan beberapa kembang api sudah mulai mewarnai langit malam itu.
Almara terkesima melihat puluhan kembang api beragam warna dan bentuk menghiasi langit malam, saat letusan kembang api sudah berakhir, Almara menoleh kepada Rangga dan berkata, “Kamu yang menyiapkan ini semua?”
“Yup,” Rangga tersenyum dengan senyum yang bisa melelehkan semua wanita normal. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sakunya. Saat dia membuka kotak itu, tampaklah sebuah cincin yang sangat elegan dan modern. Desainnya minimalis, terdapat berlian kecil yang berkilau saat diterpa cahaya bulan.
“Almara, maukah kamu menikah denganku?”
Begitulah Rangga dulu melamar Almara. Sekalipun saat itu Almara sedang dilanda kegalauan, Almara tetap menerima lamaran Rangga dengan harapan akan semakin mudah melupakan Ardan jika dia sudah menjadi istri Rangga.
Namun saat itu adalah kesalahan dan sekarang Almara sudah kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Hubungannya dan Ardan tidak hancur, Rangga belum mengenalnya, semua sudah seperti yang dia harapkan. Namun entah mengapa ada kegetiran dalam hatinya saat mengingat adegan kala Rangga melamarnya. Ada rasa kehilangan yang tidak bisa Almara jelaskan.
Ponsel Almara berdering. Almara cepat – cepat mengangkatnya, Ardan masih menunggu di bawah dan dia malah melamun.
“Ya Halo, sebentar Sayang, Aku turun sekarang,” seru Almara tanpa melihat siapa yang menelepon karena dia menganggap itu pasti Ardan.
“Halo Almara? Ini Aku Fiolina. Hei, Aku mau kasih tau kamu kabar gembira, barusan Rangga telepon Aku ngajak makan malam berdua. OMG Aku excited banget, apa yang harus aku siapkan nih?”
DEG
“Gimana kabar kamu Fi? Lama banget deh gak ketemu. Seru jalan – jalan ke Eropanya?” tanya Sharon saat Fiolina baru datang dan duduk di hadapannya dan Almara. “Seru dong. Maaf ya telat, aku bangun kesiangan,” jawab Fiolina sambil merapikan make up nya. Mereka bertiga berjanji untuk bertemu di sebuah cafe setelah 2 bulan Fiolina berlibur di Eropa. “Eh Fi, jadi kamu sama sekali gak denger kabar apapun dari perkembangan kasus Nayra, Mama Kinanti dan Billy?” tanya Almara. “Iya lah. Aku kan ngelarang kalian cerita apapun soal itu selama aku healing di Eropa dan aku juga ngelarang semua orang untuk kasih tahu aku supaya aku gak terganggu sama masalah mereka lagi selama di sana,” jawab Fiolina. Memang benar, tiga bulan sudah berlalu semenjak penangkapan Billy, Fiolina memutuskan untuk berjalan – jalan dan tidak mendengar kabar apa pun soal kasus itu selama dua bulan terakhir. “Emangnya ada kabar apa?” tanya Fiolina kepada Almara dan Sharon yang terlihat sedikit tegang. “Billy bunuh diri
Almara menjalani kehidupan barunya sebagai seorang ibu dengan ceria. Sekalipun banyak hal yang membuatnya kaget bahkan kelelahan namun dia tetap menikmati prosesnya. Dia dibantu oleh Hardian dan juga Rangga yang super semangat merawat Rama sekalipun mereka berdua banyak melakukan kesalahan konyol.Saat Rama genap berusia satu bulan, Rangga dengan antusias memiliki ide untuk merayakan. Almara bersikeras menolak, “Gak gak buat apa sih. Namanya ulang tahun itu ya setiap tahun, tunggu umur satu tahun. Lagian emangnya kamu mau merayakan setiap bulan?”“ya gak papa dong,” kekeh Rangga.“Gak usah, pemborosan. Dan gak wajar juga jadinya.”“Hm... oke oke ya udah, aku nurut bundanya Rama aja deh,” ujar Rangga.“It’s okay. Papa dulu juga terlampau semangat gitu kok waktu baru pertama kali jadi ayah pas Almara lahir hehe,” Hardian kali ini maju untuk membela Rangga karena merasakan kesamaan nasib sebagai ayah.“Tuh kan, berarti gak cuma aku,” saut Rangga.Di tengah kecerian mereka, ponsel Rangga
“Apa kabar Fi?” tanya Rangga kepada sosok mungil di hadapannya.Fiolina menyempatkan menyeruput minumannya sebelum menjawab pertanyaan basa – basi Rangga. Hari ini, tiga hari setelah sidang pertama kasus penikaman Almara, Rangga dan Fiolina berjanji untuk bertemu di sebuah cafe.“Aku dalam keadaan yang super baik,” jawab Fiolina, “Almara tahu kamu ketemu sama aku?”Rangga mengangguk, “Tahu dong.”“Dia gak masalah kita ketemu berdua? Gak cemburu?”“Aku sempat berpikir kalau dia mungkin bakal ngelarang aku ketemu berdua aja sama kamu, tapi waktu aku minta ijin ternyata dia gak keberatan. Dia bilang, dia yakin kamu orang baik jadi dia gfak khawatir.”Fiolina tertawa ringan, “Itu karena dia gak tahu aja dulu aku cinta banget sama kamu. Kalau dia tahu, dia pasti cemburu dan berpikir kalau aku mungkin berniat merebut kamu dari dia.”“Gak kok. Dia tahu.”“Kamu yang cerita?”“Sedikit detailnya iya. Tapi dia udah tahu sebelum aku cerita?”“Tahu dari mana?”“Hm... itu agak panjang dan kompleks
Billy menghilang. Sebagaimana Hardian, Melissa juga tinggal di rumah Ardan dan Sharon karena tak ingin sendirian. Hari – harinya diisi dengan tidur dan menangis. Ardan nyaris putus asa tak tahu harus bagaimana menghibur mamanya gar bangkit dari keterpurukan.Sidang Sharon terus berlanjut. Julio bahkan menghadirkan Frans dan istrinya sebagai saksi. Pengacara itu dengan brilian membalikkan keadaan, membuat Sharon terlepas dari segala tuduhan dan berganti status sebagai saksi.Sidang – sidang selanjutnya berubah menjadi Nayra dan Kinanti yang sudah menjadi terdakwa. Namun Billy masih menjadi buronan.“Mama, gimana kalau kita jalan – jalan? Kita bisa menikmati puncak atau pantai buat refreshing,” bujuk Sharon kepada mama mertuanya.“Yuk Ma, bagus tuh idenya Sharon. Sekalian kita rayain kebebasannya Sharon karena dia udah lepas dari fitnah dan bukan tahanan rumah lagi,” tambah Ardan.Melissa hanya tersenyum dan mengangguk, “Ya udah ayok besok kita jalan – jalan.”“Yey.... gitu dong Ma,” s
Kinanti bergegas keluar dari mobil begitu Hardian memarkir mobilnya di depan rumah. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir wanita itu sekalipun Hardian berjuta kali meminta penjelasan padanya.Almara dan Rangga yang berhenti tepat di belakang mobil Hardian menyaksikan bagaimana Kinanti keluar dari mobil dan bergegas masuk ke rumah lalu disusul Hardian yang mengikutinya dari belakang.“Ayo,” Rangga meraih tangan Almara untuk turun dari mobil setelah dia membukakan pintu.“Aku takut Rangga,” ucap Almara terbata – bata sembari menghapus air matanya sendiri.“Apa yang kamu takutin? Kan ada aku. Aku akan lindungi kamu. Mama Kinanti gak akan bisa sakitin kamu.”Almara menggeleng, “Bukan itu. Aku takut dengan kenyataan yang akan aku denger nanti. Aku terlalu gak siap.”Rangga berlutut lalu menggenggam tangan Almara, “Tapi ini harus dihadapi. Gak ada gunanya bertahan dalam keindahan tapi semuanya bohong Almara. Seperti...”“Seperti apa?”“Seperti saat dulu kamu pu
Fiolina datang bersama seorang pria muda tampan di sisinya. Dia dengan anggun berjalan ke kursi saksi. Saat melewati Rangga, dia menoleh dan menyempatkan memberikan senyuman kecil untuk lelaki itu.Julio mengernyitkan dahinya menatap Fiolina. Memang langkah wanita itu terlihat tenang dan anggun, tapi Julio merasa pakaian dan dandanannya berlebihan untuk sebuah acara sidang.Julio menghela nafas, tidak mau ambil pusing mengenai hal itu. Bagaimanapun dia paham, Fiolina adalah seorang model internasional, jadi di mana pun dia berada, dia mungkin harus mempertahankan citranya.“Ehem,” deham Julio seperti biasa memulai pertanyaan kepada Fiolina, “Saudari Fiolina, apakah benarFairy Tale Karaoke adalah salah satu bisnis milik keluarga Anda?”“Tidak benar. Fairy Tale adalah milik saya. Keluarga saya tidak memiliki bagian apapun dalam pembangunan dan bisnisnya,” jawab Fiolina dengan santai.“Begitu rupanya. Anda sering ke luar negeri untuk pekerjaan Anda sebagai model, seberapa sering Anda men