Share

Bab 2

Author: Sella
Jarum jam sudah melewati pukul dua belas malam, tapi Brian belum juga pulang.

Dulu, aku pasti akan gelisah semalaman dan tak bisa tidur.

Namun malam ini, anehnya aku malah tidur nyenyak.

Mungkin memang begitu rasanya ketika kita rela melepaskan orang yang tidak layak dipertahankan, sekaligus membebaskan diri sendiri.

Pagi-pagi sekali, aku terbangun gara-gara mendengar suara dari dapur.

Brian dengan kemeja yang digulung sampai siku, lengan kekar dan berotot itu sedang sibuk membolak-balik wajan, menghangatkan kembali semua masakan semalam.

“Hari ini aku temani kamu merayakan hari Idul Adha yang terlewat kemarin.”

Dia menjepit sepotong daging asam manis dengan spatula dan mencicipinya.

“Lumayan enak juga.”

Aku menatapnya terkejut.

Selama ini, dia selalu hidup serba teratur dan bersih, tidak pernah mau makan makanan sisa.

Kini dia menunduk, seolah menunggu reaksiku.

Barulah aku sadar, sebenarnya ini juga salah satu cara untuk membujukku.

Dia sedang menungguku luluh seperti biasanya.

Jika dulu mungkin akan berhasil, tapi kali ini aku hanya menggeleng, “Nggak perlu.”

Tidak perlu merayakan hari Idul Adha yang sudah lewat, apalagi membujukku.

Kening Brian sedikit berkerut. Dia berbalik, mengambil sepotong kue dan mendorongnya ke hadapanku dengan santai.

“Kue baru dari Toko Kue Elise, kesukaanmu.”

Aku menatap potongan kue di hadapanku, penuh dengan irisan mangga segar. Hatiku tetap saja terasa perih.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka kue manis.

Yang membuatku merasa manis selama ini adalah niat tulusnya.

Namun setelah tujuh tahun, dia ingat semua kesukaan Cindy, sementara dia tak pernah ingat sama sekali bahwa aku alergi mangga.

Aku terdiam, baru sadar betapa sia-sianya tujuh tahun yang sudah kulewati.

Tatapan matanya mulai tampak kesal, dia menahan amarahnya dan berkata,

“Sudahlah, aku sudah kasih kesempatan untuk mundur, jangan begitu keras kepala dan malah hilang semua kesempatannya.”

“Kalau bukan Cindy yang menyuruh, aku juga nggak bakal buru-buru pulang untuk membujukmu.”

“Jangan pernah ungkit soal putus lagi lain kali, paham?”

Ternyata begitu.

Bahkan usahanya membujukku pun ternyata karena Cindy.

“Brian, aku serius.”

Ujarku perlahan.

“Aku benar-benar ingin….”

Putus denganmu dan pulang untuk menikah.

Namun, kalimatku terpotong oleh nada dering khusus dari ponselnya.

“Cindy?” Suaranya langsung berubah lembut, wajahnya langsung tersenyum.

“Iya, aku segera ke sana.”

Begitu telepon di tutup, ekspresinya kembali dingin.

“Cindy ada perlu, aku harus pergi sebentar.”

Seperti biasa, dia tidak menunggu jawabanku dan langsung melangkah pergi.

Hanya saja kali ini, aku tidak lagi menatap punggungnya dengan tatapan kehilangan.

Di tengah libur panjang, karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, akhirnya aku pun pergi ke kantor.

Setelah libur selesai, aku berencana mengundurkan diri.

Aku pun merapikan dokumen lebih awal sekarang, agar nantinya proses serah terima lebih mudah.

Hingga menjelang sore, aku baru keluar dari kantor dan langsung menuju sebuah restoran viral di dekat sana.

Restoran itu bukan hanya terkenal rasanya yang enak, tapi juga karena mitosnya katanya pasangan yang berfoto bersama di sana akan lebih mudah berjodoh.

Aku sudah beberapa kali ingin pergi bersama Brian, tapi setiap kali selalu ada alasannya sehingga rencana itu tidak pernah jadi.

Sekarang, karena sebentar lagi akan meninggalkan kota ini, aku pun memutuskan datang sendiri.

Tak disangka, baru saja masuk, aku langsung melihat Brian bersama dengan Cindy.

Mereka duduk berdampingan, begitu dekat satu sama lain.

Meja penuh dengan hidangan yang sebenarnya tidak bisa dimakan Brian, tapi semuanya adalah kesukaan Cindy.

Selama ini, Brian tidak suka pedas dan tidak suka seafood, jadi akulah yang selalu menyesuaikan selera.

Namun ternyata, dia juga bisa menyesuaikan selera demi orang lain.

Keduanya belum menyadari keberadaanku. Dengan senyuman manis, Cindy menyodorkan sepotong ayam pedas yang sudah digigit setengah langsung ke mulut Brian.

“Enak sekali, kubagi setengah untukmu.”

Ujung jarinya nyaris menyapu sudut bibir Brian.

Dan wajah Brian perlahan memerah.

Dalam ingatanku, Brian selalu terlihat dingin dan tenang.

Ternyata, di usia dua puluh lima tahun ini, dia masih bisa menunjukkan ekspresi malu-malu seperti remaja yang baru jatuh cinta.

Semua itu hanya karena orang di hadapannya adalah orang yang benar-benar dia cintai.

“Cindy, bagaimana kalau kita foto berdua?”

Tanya Brian dengan nada suaranya yang terdengar biasa saja.

Namun, tatapan matanya terlihat penuh ketegangan sekaligus mengharapkan.

Cindy tidak langsung menjawab, hanya tersenyum sambil mendorong bahunya pelan, lalu tiba-tiba menoleh ke arahku.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 20

    “Mutia, aku tahu kita sudah nggak mungkin lagi. Aku hanya mau… berpamitan dengan baik.”Wajahnya tampak sangat lesu, tapi pakaiannya tetap rapi dan bersih.Kemeja putih dan celana jeans.Pakaian yang sama seperti saat pertama kali kamu bertemu.Waktu sudah berlalu lama, dia jelas bukan lagi pemuda yang dulu sempat membuatku terkesima.Namun, melihat sorot matanya yang penuh permohonan, aku sadar, sepertinya memang belum pernah ada perpisahan yang tuntas di antara kami.Dulu, saat aku meminta putus, dia tidak benar-benar percaya.“Iya.”Aku pun mengangguk setuju.Hubungan tujuh tahun, memang seharusnya diakhiri dengan baik.Kami duduk berhadapan di sebuah kafe.Setelah lama terdiam, akhirnya dia membuka mulut.“Aku hanya ingin tanya satu hal. Kalau dulu Cindy nggak kembali dari luar negeri, kamu bakal menikah denganku?”Aku menyeruput kopi. Americano itu pahit, tapi meninggalkan rasa manis di akhir.“Iya.”“Bahkan kalaupun dia kembali, selama kamu yakin memilihku, jawabanku tetap akan s

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 19

    “Brian, selama menjabat sebagai direktur divisi desain dua, kamu berkali-kali membantu Cindy menutupi pekerjaannya yang terbengkalai. Tugas yang nggak bisa dia selesaikan, kamu alihkan ke karyawan lain, sampai mereka harus lembur setiap hari demi menutupinya. Sebagai atasan, sikapmu yang berat sebelah ini jelas sudah termasuk kelalaian.”“Yang lebih parah lagi, tiga hari lalu, desain yang Cindy serahkan ternyata hasil menjiplak karya kompetitor. Tapi, kamu bahkan nggak menyadarinya, malah demi memberinya kesempatan tampil, kamu langsung mengirimkan desain itu ke klien.”“Sekarang, setelah menemukan hal ini, klien mengajukan pembatalan kontrak dengan kita.”“Kamu sudah menimbulkan kerugian nama baik dan ekonomi perusahaan. Mengingat prestasimu di cabang Grup Roma selama ini, kami minta kamu mengundurkan diri secara sukarela.”Brian hanya mendengarkan dalam diam.Aku mengira dia akan membela diri atau setidaknya memohon diberi kesempatan kedua.Selama ini, aku tahu betul betapa pentingny

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 18

    Cindy sudah sadar bahwa dirinya kalah. Dia pikir semua triknya akan membuat Mutia tidak berhasil mendapatkan hati Indra.Apalagi membuatnya menjadi istri direktur.Sorot matanya penuh dengan perhitungan licik, jelas sekali punya ide baru.“Mau aku pergi? Bisa. Tapi harus ada kompensasi, jumlahnya harus memuaskan aku. Kalau nggak, aku akan cari media untuk membongkar bahwa Grup Roma melanggar undang-undang tenaga kerja, memecat karyawan semena-mena!”“Bukannya belakangan ini Grup Roma sedang dalam tahap pembicaraan kerja sama proyek besar? Kalau di saat genting ini muncul berita negatif, akan ada kerugian sebesar apa, seharusnya nggak perlu kujelaskan lagi, ‘kan?”Semakin membicarakannya, Cindy merasa posisinya semakin kuat.“Soal jumlah kompensasi, aku mau Pak Indra sendiri yang negosiasi denganku. Hanya kami berdua.”Melihat sorot matanya yang penuh ambisi, aku pun sadar. Ternyata dia masih belum menyerah sampai sekarang.Masih bermimpi bisa memanfaatkan kesempatan berduaan untuk memb

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 17

    “Aku memang bersama dengan Mutia.”Ujar Indra dengan tenang.Suaranya tidak keras, tapi punya kekuatan yang mengesankan.Kerumunan langsung hening, tapi karena kata-kata itu, mereka kembali riuh berbisik-bisik.Cindy berteriak paling kencang,“Sekarang kalian percaya, ‘kan? Mutia itu pelakor! Dasar pelakor nggak tahu malu!”Namun segera, suara orang-orang menutupi suaranya.“Apa? Mutia dan Pak Indra?”“Pak Indra belum menikah, dari mana datangnya pelakor? Dia itu pacarnya!”“Dilihat-lihat mereka berdua terlihat serasi, aku dukung mereka.”“Hanya aku yang menyadari Pak Indra memanggilnya Mutia? Padahal biasanya Pak Indra formal sekali, tapi barusan entah kenapa terdengar begitu lembut.“Aduh, iri sekali dengan Mutia. Pasti di kehidupan sebelumnya dia menyelamatkan galaksi, makanya bisa seberuntung itu.”…Cindy mendengarkan dengan tidak percaya dan membantah dengan suara serak, “Meskipun bukan pelakor, itu juga pasti dibiayai. Keluarga kaya seperti Pak Indra, mana mungkin suka sama man

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 16

    Aku menghindari tarikannya, kebetulan petugas keamanan juga datang.Melihat Brian yang terlibat, sikap petugas keamanan masih cukup sopan.“Pak Brian, bicarakan baik-baik, jangan main tangan.”Brian bahkan tidak melirik petugas keamanan itu, hanya menatapku lekat-lekat.“Mutia, kenapa nggak menjawabku?”“Jadi… itu benar? Kamu berani sekali! Mutia, berani sekali kamu!”“Jadi kamu bisa masuk ke Grup Roma dari posisi resepsionis itu karena Pak Indra, ya?”“Kamu sudah lama bersama dengan dia, makanya minta putus denganku?”“Kita sudah bersama bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu saja melepaskannya?”Namun, tak lama kemudian, nada tuduhannya berubah menjadi penuh kesedihan.Bahkan suaranya terdengar serak.“Hubungan kita yang sudah bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu mudah melepaskannya?”Perlahan, beberapa karyawan mulai berdatangan. Melihat kami bertiga yang tegang seperti itu, mereka pun menonton dengan penasaran.Setelah diam sejenak, tiba-tiba Cindy berteriak,“Kalian pasti penasaran

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 15

    “Aku janji samamu, aku bakal usulkan pada divisi desain 1 untuk memindahkanmu ke divisi desain 2. Lalu memindahkan Cindy ke divisi desain 2. Setelah kita menikah, aku akan putuskan hubungan dengan dia.”“Sudah puas?”Akhirnya, aku pun tak tahan lagi dan berkata, “Brian, tamparan saat putus kemarin masih nggak cukup menyadarkanmu?”“Kita sudah putus! Aku nggak mau kamu lagi! Apalagi menikah denganmu!”“Soal pemecatan Cindy itu semua karena ulah dia sendiri.”Brian terdiam, tidak menyangka aku akan menolak.“Aku bilang mau menikahimu, bukannya kamu paling mau menikah denganku?”Brian memandangku ragu, ada kegelisahan di matanya.Dia bahkan mengangkat tangan seolah ingin menyentuh dahiku.“Terlalu senang sampai bodoh? Mutia, aku bilang mau menikah.”Aku menghempaskan tangannya menjauh.“Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tak mau mengulanginya lagi. Kalau kamu masih nggak pergi sekarang, aku bakal panggil petugas keamanan.”Aku membalikkan badan dan menekan tombol alarm.Tiba-tiba, Cindy

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status