Share

Bab 4

Author: Sella
Sejak hari itu, Brian tidak pernah pulang.

Ini adalah cara yang dia lakukan setiap kami bertengkar.

Tidak ada penjelasan, apalagi permintaan maaf, yang ada hanya sikap cueknya.

Membiarkanku terjebak dalam keraguan dan keterpurukan.

Lalu, hanya dengan sedikit bujukan darinya, kami akan kembali berbaikan.

Namun, rasa sakit ini kurasakan karena aku mencintainya.

Sekarang, aku tidak peduli lagi.

Akhirnya, aku mengemas barang-barangku. Seluruh apartemen penuh dengan barang-barang pasangan yang aku hias sendiri, tapi barang-barang yang benar-benar milikku ternyata sangat sedikit.

Ternyata aku sudah lama tidak menjadi diriku sendiri.

Setelah liburan panjang, aku pun resmi mengundurkan diri dari pekerjaan.

Atasanku langsung menandatangani surat pengunduran diri, “Mau kembali ke Kota Halma? Kamu dan Pak Brian sudah mau menikah, ya?”

Aku menggeleng, “Aku pulang sendiri.”

Atasanku pun tertawa dan menjawab, “Jangan bohong. Sahabatku itu HRD di Grup Roma. Pak Brian sudah mengajukan permohonan pindah ke kantor pusat Grup Roma di Kota Halma. Anggota keluarga juga bisa diaturkan pekerjaan. Formulir pengajuannya sudah diserahkan, tentu saja demi kamu, ‘kan?”

“Ngomong-ngomong, kamu lulusan universitas ternama, tapi malah rela jauh dari kampung halaman dan bekerja sebagai resepsionis di perusahaan sekecil ini, benar-benar rugi sekali. Untunglah, penderitaanmu akan segera berakhir.”

Aku terkejut.

Brian tidak pernah memberitahuku tentang hal ini.

Kami sama-sama jurusan desain, profesi yang kalau sibuk bisa sampai tidak kenal waktu.

Brian bilang salah satu dari kami harus lebih fokus mengurus rumah tangga, jadi aku pun menjadi orang yang dikorbankan.

Saat dia menjadi cukup terkenal di industri, aku hanyalah seorang resepsionis di perusahaan desain sebelah.

Cukup fokus mengurus rumah tangga, tapi juga cukup mengubur diri sendiri.

Anggota keluarga yang ingin dibawa Brian mungkin bukanlah aku.

Namun, aku juga tidak menjelaskan apapun.

Benar yang dikatakan atasanku, penderitaanmu akan segera berakhir.

Malam harinya, rekan-rekan departemen mengadakan acara perpisahan untukku.

Saat acara usai, dengan sedikit mabuk aku berjalan menyusuri koridor dan mendengar suara yang familiar.

Dari pintu ruang VIP yang setengah terbuka, aku melihat Brian di dalamnya. Wajahnya tampak sedikit mabuk, sebatang rokok terselip di jarinya, cahaya redup menyorot ekspresinya yang rumit.

“Menyesal nggak membawa Mutia? Nggak.”

“Awalnya aku memang ajukan pindah ke kantor pusat demi dia. Dia bertahun-tahun putus hubungan dengan keluarganya demi diriku, aku tahu itu berat baginya. Jadi, aku pikir akan menemaninya pulang ke Kota Halma.”

“Tapi begitu Cindy buka mulut, aku jadi nggak bisa menolak.”

Sahabatnya menggeleng dan berkata, “Kamu nggak pernah pikir? Cindy sudah bertahun-tahun nggak menerimamu. Nanti setelah pergi ke Kota Halma, kalian justru makin nggak mungkin bersama.”

Jakun Brian bergerak naik turun, lalu dia tersenyum getir, “Hidup ini butuh usaha maksimal minimal sekali seumur hidup dan ini yang terakhir kalinya. Kalau Cindy masih nggak menerimaku, aku akan menyerah dan menikah dengan Mutia, menjalani hidup dengan baik.”

Tanpa sadar, aku mengepalkan tanganku sampai sakit.

Dulu, saat Cindy baru pulang ke dalam negeri, aku mengira diriku tidak akan kalah.

Bagiku, Cindy hanyalah sekadar mimpi bagi Brian, sementara aku sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Semua pengorbanan dan kenangan itu adalah kekuatanku.

Ternyata, Brian tak pernah bangun dari mimpi itu.

Namun, apa haknya Brian berpikir bahwa aku akan selalu menunggunya di tempat yang sama.

“Mutia?” Cindy berjalan dari arah kamar mandi, sorot matanya penuh kewaspadaan.

“Kamu sudah tahu, ya? Tapi percuma, nama keluarganya sudah didaftarkan. Kesempatan ini sudah pasti menjadi milikku.”

Saat itu, barulah aku paham semuanya.

Cindy sengaja menjaga hubungan ambigu, tarik ulur seperti ini, karena yang dia incar hanyalah nilai berguna yang ada pada Brian.

Namun, tetap saja aku tidak mengerti.

“Kalau dari awal kamu hanya memanfaatkan dia, nggak pernah suka padanya, kenapa harus repot membuktikan betapa baiknya dia padamu?”

Semua postingan dan pesan provokatif di media sosial, sebenarnya tidak perlu dia kirimkan.

Dia melipat tangannya dan tertawa pelan, “Aku hanya merasa meski itu barang yang tak kuinginkan, aku juga nggak mau orang lain menggunakannya dengan nyaman.”

Tiba-tiba aku merasa begitu konyol.

Bukankah Brian juga sama sepertiku? Dia memberikan ketulusannya dengan sia-sia selama bertahun-tahun, hanya dianggap sebagai sebuah barang.

Saat aku berbalik untuk pergi, Cindy malah menghalangi jalanku.

“Sama seperti sekarang, aku juga nggak mau dia pergi dengan rasa bersalah padamu.”

Tiba-tiba Cindy menepuk tangannya dengan kuat hingga berbunyi nyaring, lalu berteriak.

Brian langsung bergegas keluar dan mendorongku dengan kasar.

“Sepertinya pacarmu agak kesal soal urusan pindah kerja,” kata Cindy sambil memegangi wajahnya yang sama sekali tidak terluka.

Kepalaku terbentuk dinding dan saat menyentuhnya, ternyata ada darah.

Namun, hanya ada kemarahan yang begitu mendalam di tatapan Brian.

“Plak!”

Belum sempat dia bertanya, aku langsung menamparnya, “Bukan aku yang menamparnya tadi, tapi sekarang iya.”

Darahku langsung meninggalkan jejak berantakan di wajah Brian.

Persis seperti hubungan kami yang sudah hancur lebur.

“Mutia, kamu benar-benar seperti wanita gila sekarang.”

Brian menoleh, wajahnya terlihat pucat.

“Bukannya mau putus? Aku sudah setuju. Jadi, siapapun yang kuajak pergi, kamu nggak ada hak untuk mempertanyakannya.”

“Aku nggak akan membujukmu lagi kali ini. Jangan sampai menangis dan memohonku untuk kembali.”

Brian melototiku, lalu memapah Cindy masuk ke ruang VIP dan membanting pintu dengan keras.

“Brak!” Suara pintu itu memisahkan kami ke dalam dua dunia yang berbeda.

Aku tidak menyangka akhir dari cerita kami akan begitu menyedihkan.

Aku berbalik perlahan dan berjalan ke arah yang berlawanan.

Luka di kepalaku terasa nyeri dan hatiku juga ikut terasa sakit.

Untungnya, luka yang paling menyakitkan dan memalukan pun pada akhirnya akan sembuh dan berlalu.

Malam itu, aku naik pesawat dan meninggalkan kota tempat aku tinggal selama tiga tahun, kembali ke jalan pulang yang sudah lama kurindukan.

Dengan gengsi Brian yang begitu tinggi, aku rasa dia tidak akan mencariku lagi.

Kami akan memudar sepenuhnya dari kehidupan satu sama lain.

Namun, seminggu kemudian, dia malah berinisiatif mengirimiku pesan.

[Kok keras kepala sekali kali ini? Lebih baik sembunyi dan menangis daripada menghubungiku? Kamu lagi apa?]

Aku baru melihat pesan itu di malam hari setelah sibuk seharian.

Aku hanya membalasnya dengan santai, [Baru selesai tunangan.]
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 20

    “Mutia, aku tahu kita sudah nggak mungkin lagi. Aku hanya mau… berpamitan dengan baik.”Wajahnya tampak sangat lesu, tapi pakaiannya tetap rapi dan bersih.Kemeja putih dan celana jeans.Pakaian yang sama seperti saat pertama kali kamu bertemu.Waktu sudah berlalu lama, dia jelas bukan lagi pemuda yang dulu sempat membuatku terkesima.Namun, melihat sorot matanya yang penuh permohonan, aku sadar, sepertinya memang belum pernah ada perpisahan yang tuntas di antara kami.Dulu, saat aku meminta putus, dia tidak benar-benar percaya.“Iya.”Aku pun mengangguk setuju.Hubungan tujuh tahun, memang seharusnya diakhiri dengan baik.Kami duduk berhadapan di sebuah kafe.Setelah lama terdiam, akhirnya dia membuka mulut.“Aku hanya ingin tanya satu hal. Kalau dulu Cindy nggak kembali dari luar negeri, kamu bakal menikah denganku?”Aku menyeruput kopi. Americano itu pahit, tapi meninggalkan rasa manis di akhir.“Iya.”“Bahkan kalaupun dia kembali, selama kamu yakin memilihku, jawabanku tetap akan s

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 19

    “Brian, selama menjabat sebagai direktur divisi desain dua, kamu berkali-kali membantu Cindy menutupi pekerjaannya yang terbengkalai. Tugas yang nggak bisa dia selesaikan, kamu alihkan ke karyawan lain, sampai mereka harus lembur setiap hari demi menutupinya. Sebagai atasan, sikapmu yang berat sebelah ini jelas sudah termasuk kelalaian.”“Yang lebih parah lagi, tiga hari lalu, desain yang Cindy serahkan ternyata hasil menjiplak karya kompetitor. Tapi, kamu bahkan nggak menyadarinya, malah demi memberinya kesempatan tampil, kamu langsung mengirimkan desain itu ke klien.”“Sekarang, setelah menemukan hal ini, klien mengajukan pembatalan kontrak dengan kita.”“Kamu sudah menimbulkan kerugian nama baik dan ekonomi perusahaan. Mengingat prestasimu di cabang Grup Roma selama ini, kami minta kamu mengundurkan diri secara sukarela.”Brian hanya mendengarkan dalam diam.Aku mengira dia akan membela diri atau setidaknya memohon diberi kesempatan kedua.Selama ini, aku tahu betul betapa pentingny

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 18

    Cindy sudah sadar bahwa dirinya kalah. Dia pikir semua triknya akan membuat Mutia tidak berhasil mendapatkan hati Indra.Apalagi membuatnya menjadi istri direktur.Sorot matanya penuh dengan perhitungan licik, jelas sekali punya ide baru.“Mau aku pergi? Bisa. Tapi harus ada kompensasi, jumlahnya harus memuaskan aku. Kalau nggak, aku akan cari media untuk membongkar bahwa Grup Roma melanggar undang-undang tenaga kerja, memecat karyawan semena-mena!”“Bukannya belakangan ini Grup Roma sedang dalam tahap pembicaraan kerja sama proyek besar? Kalau di saat genting ini muncul berita negatif, akan ada kerugian sebesar apa, seharusnya nggak perlu kujelaskan lagi, ‘kan?”Semakin membicarakannya, Cindy merasa posisinya semakin kuat.“Soal jumlah kompensasi, aku mau Pak Indra sendiri yang negosiasi denganku. Hanya kami berdua.”Melihat sorot matanya yang penuh ambisi, aku pun sadar. Ternyata dia masih belum menyerah sampai sekarang.Masih bermimpi bisa memanfaatkan kesempatan berduaan untuk memb

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 17

    “Aku memang bersama dengan Mutia.”Ujar Indra dengan tenang.Suaranya tidak keras, tapi punya kekuatan yang mengesankan.Kerumunan langsung hening, tapi karena kata-kata itu, mereka kembali riuh berbisik-bisik.Cindy berteriak paling kencang,“Sekarang kalian percaya, ‘kan? Mutia itu pelakor! Dasar pelakor nggak tahu malu!”Namun segera, suara orang-orang menutupi suaranya.“Apa? Mutia dan Pak Indra?”“Pak Indra belum menikah, dari mana datangnya pelakor? Dia itu pacarnya!”“Dilihat-lihat mereka berdua terlihat serasi, aku dukung mereka.”“Hanya aku yang menyadari Pak Indra memanggilnya Mutia? Padahal biasanya Pak Indra formal sekali, tapi barusan entah kenapa terdengar begitu lembut.“Aduh, iri sekali dengan Mutia. Pasti di kehidupan sebelumnya dia menyelamatkan galaksi, makanya bisa seberuntung itu.”…Cindy mendengarkan dengan tidak percaya dan membantah dengan suara serak, “Meskipun bukan pelakor, itu juga pasti dibiayai. Keluarga kaya seperti Pak Indra, mana mungkin suka sama man

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 16

    Aku menghindari tarikannya, kebetulan petugas keamanan juga datang.Melihat Brian yang terlibat, sikap petugas keamanan masih cukup sopan.“Pak Brian, bicarakan baik-baik, jangan main tangan.”Brian bahkan tidak melirik petugas keamanan itu, hanya menatapku lekat-lekat.“Mutia, kenapa nggak menjawabku?”“Jadi… itu benar? Kamu berani sekali! Mutia, berani sekali kamu!”“Jadi kamu bisa masuk ke Grup Roma dari posisi resepsionis itu karena Pak Indra, ya?”“Kamu sudah lama bersama dengan dia, makanya minta putus denganku?”“Kita sudah bersama bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu saja melepaskannya?”Namun, tak lama kemudian, nada tuduhannya berubah menjadi penuh kesedihan.Bahkan suaranya terdengar serak.“Hubungan kita yang sudah bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu mudah melepaskannya?”Perlahan, beberapa karyawan mulai berdatangan. Melihat kami bertiga yang tegang seperti itu, mereka pun menonton dengan penasaran.Setelah diam sejenak, tiba-tiba Cindy berteriak,“Kalian pasti penasaran

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 15

    “Aku janji samamu, aku bakal usulkan pada divisi desain 1 untuk memindahkanmu ke divisi desain 2. Lalu memindahkan Cindy ke divisi desain 2. Setelah kita menikah, aku akan putuskan hubungan dengan dia.”“Sudah puas?”Akhirnya, aku pun tak tahan lagi dan berkata, “Brian, tamparan saat putus kemarin masih nggak cukup menyadarkanmu?”“Kita sudah putus! Aku nggak mau kamu lagi! Apalagi menikah denganmu!”“Soal pemecatan Cindy itu semua karena ulah dia sendiri.”Brian terdiam, tidak menyangka aku akan menolak.“Aku bilang mau menikahimu, bukannya kamu paling mau menikah denganku?”Brian memandangku ragu, ada kegelisahan di matanya.Dia bahkan mengangkat tangan seolah ingin menyentuh dahiku.“Terlalu senang sampai bodoh? Mutia, aku bilang mau menikah.”Aku menghempaskan tangannya menjauh.“Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tak mau mengulanginya lagi. Kalau kamu masih nggak pergi sekarang, aku bakal panggil petugas keamanan.”Aku membalikkan badan dan menekan tombol alarm.Tiba-tiba, Cindy

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status