Share

Dia, Yang Mudah Dihibur
Dia, Yang Mudah Dihibur
Author: Sella

Bab 1

Author: Sella
Pesan putus itu terkirim, tapi tenggelam tanpa balasan.

Sebaliknya, malah Cindy yang mengirimkan sebuah video.

Di dalam ruang VIP yang ramai, teman-teman Brian menertawakan.

“Mutia sudah mengejarmu selama tujuh tahun, berani-beraninya minta putus? Jangan-jangan dia serius, loh?”

Sambil memotong kue mangga, Brian menjawab dengan santai, “Paling hanya mengambek saja, sengaja memancing aku untuk pulang.”

“Padahal setelah ganti lampu, aku memang mau pulang, tapi semakin dia begitu, semakin nggak akan kuturutin.”

“Cuekin saja beberapa hari dulu.”

Sambil bicara, Brian menyuapkan kue itu ke mulut Cindy, “Ini produk baru dari Elise, Cobain dulu, lihat suka nggak?”

Teman-temannya langsung bersorak menggoda.

“Lagipula Mutia hanya pengganti, langsung diputuskan saja.”

“Sekarang pemeran aslinya sudah kembali, kalian nggak kepikiran mau berpacaran saja?”

“Iya, Cindy, selama ini hanya ada kamu di hati Bang Brian.”

Brian tidak menjawab, hanya menatap Cindy dengan sorot mata yang lembut.

“Apa yang kalian bicarakan? Aku dan Brian itu teman baik, persahabatan yang murni.”

Cindy pura-pura terkejut, lalu dengan manja menepuk lengan Brian.

“Cepat pulang dan hibur pacarmu. Kalau nggak, aku bakalan susah menjelaskan nanti.”

Tatapan Brian tampak sedikit kecewa, suaranya terdengar berat, “Tenang saja, aku hanya perlu ulurin tangan saja, dia pasti langsung luluh.”

Aku menonton video itu dengan tanpa ekspresi. Padahal sudah berniat melepaskan, tetap saja hatiku terasa getir.

Bagaimanapun juga, Brian adalah orang yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama dan sudah kucintai selama tujuh tahun lamanya.

Di hari Idul Adha saat semester satu perkuliahan, aku mengungkapkan perasaan padanya.

Aku tahu dia itu pria idola di kampus yang sudah menolak banyak sekali perempuan.

Aku menyatakan cinta hanya agar tidak meninggalkan penyesalan.

Namun malam itu, di bawah sinar bulan, dia menatap wajahku lama sekali, lalu tiba-tiba mengacak rambutku dan berkata, “Bodoh, seharusnya aku yang mengungkapkan perasaan duluan.”

“Kamu mau nggak jadi pacarku?”

Aku pikir diriku akan selamanya mengingat detak jantung dan kebahagiaan yang kurasakan saat itu.

Sampai suatu hari dia menciumku, lalu di tengah gairah, dia memanggil nama ‘Cindy’.

Tubuhku langsung membeku.

Itulah pertama kalinya kami perang dingin.

Tiga hari kemudian, dia datang dengan membawa kue kecil, “Itu hanya perempuan yang dulu pernah kusukai diam-diam, hanya sebatas itu.”

Melihat lingkar hitam di matanya, hatiku pun luluh dan memaafkannya.

Waktu itu aku yakin, Cindy tidak akan bisa menggoyahkan hubungan kami.

Dia hanyalah orang yang cinta sejati Brian di masa mudanya, masa lalu yang bahkan tak pernah dimulai.

Sedangkan aku adalah pacarnya, masa kini dan sekaligus masa depannya.

Selama empat tahun kuliah, aku mencintainya sepenuh hati. Setelah lulus, aku bahkan mengikutinya pindah ke kota asing ini, meski harus berpisah dari keluarga.

Brian juga memperlakukanku dengan baik.

Saat Toko Kue Elise yang viral merilis menu baru, Brian bakal langsung membelikannya untukku.

Dia bakal dengan sabar mengeringkan rambut panjangku dan memijat perutku semalaman saat datang bulan.

Tanpa banyak kata-kata manis, tapi penuh dengan kehangatan yang sederhana.

Aku pernah yakin, kami akan berjalan dari masa kampus hingga ke pelaminan, bersama seumur hidup.

Hingga setengah tahun lalu, Cindy pulang dari luar negeri.

Dengan lantang, Cindy berkata, “Kamu benar-benar mencari pacar yang mirip denganku, ya.”

Sedikit demi sedikit, kebenaran yang kejam menghancurkan duniaku.

Ternyata, pengungkapan cintanya dulu hanya karena ingin menebus penyesalan saat Cindy tidak menerimanya.

Ternyata kue yang selalu dibeli itu adalah merek kesukaan Cindy.

Ternyata semua perhatian dan sikap manisnya hanyalah bayangan pacar ideal yang diinginkan Cindy.

Dia hanya menggunakan aku untuk menemaninya melewati kesepiannya, sekaligus tempat dia berlatih menjadi sosok sempurna di hadapan Cindy.

Aku teringat janjinya dulu.

“Mutia, setelah bersama tujuh tahun, kita menikah saja.”

“Kamu sudah meninggalkan kampung halaman demi aku, setiap hari Idul Adha berikutnya, aku pasti ada di sampingmu.”

Dan hari raya kali ini adalah tepat tujuh tahun kami bersama.

Dan jelas, dia sudah lupa.

Baguslah kalau dia sudah lupa.

Karena aku juga akan pulang untuk menikah atas perjodohan keluarga.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 20

    “Mutia, aku tahu kita sudah nggak mungkin lagi. Aku hanya mau… berpamitan dengan baik.”Wajahnya tampak sangat lesu, tapi pakaiannya tetap rapi dan bersih.Kemeja putih dan celana jeans.Pakaian yang sama seperti saat pertama kali kamu bertemu.Waktu sudah berlalu lama, dia jelas bukan lagi pemuda yang dulu sempat membuatku terkesima.Namun, melihat sorot matanya yang penuh permohonan, aku sadar, sepertinya memang belum pernah ada perpisahan yang tuntas di antara kami.Dulu, saat aku meminta putus, dia tidak benar-benar percaya.“Iya.”Aku pun mengangguk setuju.Hubungan tujuh tahun, memang seharusnya diakhiri dengan baik.Kami duduk berhadapan di sebuah kafe.Setelah lama terdiam, akhirnya dia membuka mulut.“Aku hanya ingin tanya satu hal. Kalau dulu Cindy nggak kembali dari luar negeri, kamu bakal menikah denganku?”Aku menyeruput kopi. Americano itu pahit, tapi meninggalkan rasa manis di akhir.“Iya.”“Bahkan kalaupun dia kembali, selama kamu yakin memilihku, jawabanku tetap akan s

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 19

    “Brian, selama menjabat sebagai direktur divisi desain dua, kamu berkali-kali membantu Cindy menutupi pekerjaannya yang terbengkalai. Tugas yang nggak bisa dia selesaikan, kamu alihkan ke karyawan lain, sampai mereka harus lembur setiap hari demi menutupinya. Sebagai atasan, sikapmu yang berat sebelah ini jelas sudah termasuk kelalaian.”“Yang lebih parah lagi, tiga hari lalu, desain yang Cindy serahkan ternyata hasil menjiplak karya kompetitor. Tapi, kamu bahkan nggak menyadarinya, malah demi memberinya kesempatan tampil, kamu langsung mengirimkan desain itu ke klien.”“Sekarang, setelah menemukan hal ini, klien mengajukan pembatalan kontrak dengan kita.”“Kamu sudah menimbulkan kerugian nama baik dan ekonomi perusahaan. Mengingat prestasimu di cabang Grup Roma selama ini, kami minta kamu mengundurkan diri secara sukarela.”Brian hanya mendengarkan dalam diam.Aku mengira dia akan membela diri atau setidaknya memohon diberi kesempatan kedua.Selama ini, aku tahu betul betapa pentingny

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 18

    Cindy sudah sadar bahwa dirinya kalah. Dia pikir semua triknya akan membuat Mutia tidak berhasil mendapatkan hati Indra.Apalagi membuatnya menjadi istri direktur.Sorot matanya penuh dengan perhitungan licik, jelas sekali punya ide baru.“Mau aku pergi? Bisa. Tapi harus ada kompensasi, jumlahnya harus memuaskan aku. Kalau nggak, aku akan cari media untuk membongkar bahwa Grup Roma melanggar undang-undang tenaga kerja, memecat karyawan semena-mena!”“Bukannya belakangan ini Grup Roma sedang dalam tahap pembicaraan kerja sama proyek besar? Kalau di saat genting ini muncul berita negatif, akan ada kerugian sebesar apa, seharusnya nggak perlu kujelaskan lagi, ‘kan?”Semakin membicarakannya, Cindy merasa posisinya semakin kuat.“Soal jumlah kompensasi, aku mau Pak Indra sendiri yang negosiasi denganku. Hanya kami berdua.”Melihat sorot matanya yang penuh ambisi, aku pun sadar. Ternyata dia masih belum menyerah sampai sekarang.Masih bermimpi bisa memanfaatkan kesempatan berduaan untuk memb

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 17

    “Aku memang bersama dengan Mutia.”Ujar Indra dengan tenang.Suaranya tidak keras, tapi punya kekuatan yang mengesankan.Kerumunan langsung hening, tapi karena kata-kata itu, mereka kembali riuh berbisik-bisik.Cindy berteriak paling kencang,“Sekarang kalian percaya, ‘kan? Mutia itu pelakor! Dasar pelakor nggak tahu malu!”Namun segera, suara orang-orang menutupi suaranya.“Apa? Mutia dan Pak Indra?”“Pak Indra belum menikah, dari mana datangnya pelakor? Dia itu pacarnya!”“Dilihat-lihat mereka berdua terlihat serasi, aku dukung mereka.”“Hanya aku yang menyadari Pak Indra memanggilnya Mutia? Padahal biasanya Pak Indra formal sekali, tapi barusan entah kenapa terdengar begitu lembut.“Aduh, iri sekali dengan Mutia. Pasti di kehidupan sebelumnya dia menyelamatkan galaksi, makanya bisa seberuntung itu.”…Cindy mendengarkan dengan tidak percaya dan membantah dengan suara serak, “Meskipun bukan pelakor, itu juga pasti dibiayai. Keluarga kaya seperti Pak Indra, mana mungkin suka sama man

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 16

    Aku menghindari tarikannya, kebetulan petugas keamanan juga datang.Melihat Brian yang terlibat, sikap petugas keamanan masih cukup sopan.“Pak Brian, bicarakan baik-baik, jangan main tangan.”Brian bahkan tidak melirik petugas keamanan itu, hanya menatapku lekat-lekat.“Mutia, kenapa nggak menjawabku?”“Jadi… itu benar? Kamu berani sekali! Mutia, berani sekali kamu!”“Jadi kamu bisa masuk ke Grup Roma dari posisi resepsionis itu karena Pak Indra, ya?”“Kamu sudah lama bersama dengan dia, makanya minta putus denganku?”“Kita sudah bersama bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu saja melepaskannya?”Namun, tak lama kemudian, nada tuduhannya berubah menjadi penuh kesedihan.Bahkan suaranya terdengar serak.“Hubungan kita yang sudah bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu mudah melepaskannya?”Perlahan, beberapa karyawan mulai berdatangan. Melihat kami bertiga yang tegang seperti itu, mereka pun menonton dengan penasaran.Setelah diam sejenak, tiba-tiba Cindy berteriak,“Kalian pasti penasaran

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 15

    “Aku janji samamu, aku bakal usulkan pada divisi desain 1 untuk memindahkanmu ke divisi desain 2. Lalu memindahkan Cindy ke divisi desain 2. Setelah kita menikah, aku akan putuskan hubungan dengan dia.”“Sudah puas?”Akhirnya, aku pun tak tahan lagi dan berkata, “Brian, tamparan saat putus kemarin masih nggak cukup menyadarkanmu?”“Kita sudah putus! Aku nggak mau kamu lagi! Apalagi menikah denganmu!”“Soal pemecatan Cindy itu semua karena ulah dia sendiri.”Brian terdiam, tidak menyangka aku akan menolak.“Aku bilang mau menikahimu, bukannya kamu paling mau menikah denganku?”Brian memandangku ragu, ada kegelisahan di matanya.Dia bahkan mengangkat tangan seolah ingin menyentuh dahiku.“Terlalu senang sampai bodoh? Mutia, aku bilang mau menikah.”Aku menghempaskan tangannya menjauh.“Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tak mau mengulanginya lagi. Kalau kamu masih nggak pergi sekarang, aku bakal panggil petugas keamanan.”Aku membalikkan badan dan menekan tombol alarm.Tiba-tiba, Cindy

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status